54 Tahun KOPRI: Refleksi Corak Gerakan Perempuan Nahdliyin
oleh: Dinda Khairunnisa
Selamat ulang tahun Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Putri (Kopri) ke-54.
Kopri merupakan salah satu representasi gerakan perempuan Indonesia yang berlandaskan paham kebangsaan dan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah An-Nahdliyah.
Dinamika sepanjang PMII berdiri hingga genealogi Kopri bertumbuh merupakan satu kesadaran penuh bahwa perspektif Gender perlu hadir di tengah-tengah organisasi Kemahasiswaan ini. Meskipun tidak tercakup dalam manuskrip-manuskrip sejarah berdirinya PMII. Akan terlalu munafik rasanya jika penulis sok memahami betul tentang arah gerak ataupun sejarah berdirinya Kopri.
Namun sudah selayaknya penulis sadar dan memafhumi dirinya sebagai insan yang belajar dengan tanpa mengurangi rasa ta’dzim kepada para pendiri. Termasuk salam hormat pada sahabat Mahbub Junaidi Ketua Umum pertama yang mendedikasikan dirinya untuk perhelatan panjang, sahabat Mahmudah Nahrowi Departemen Keputrian pertama, sahabat Ismi Maryam Ketua Umum Pengurus Pusat Pertama Badan Kopri. Serta tak luput, hormat alfaqir kepada seluruh Ketua Kopri dari masa ke masa dan segala dialektika yang mengiringi perjalanannya hingga hari ini.
Ikhtiar untuk membaca adalah suatu keharusan sebagai tanggung jawab ideologis bagi penulis secara pribadi dan seluruh kader PMII pada umumnya. Untuk itu catatan kecil ini menjadi misi kecil kami untuk memupuk tanggung jawab ideologis ini agar senantiasa beriringan dengan perkembangan zaman.
Lantas, dalam membangun sistem yang berkeadilan gender siapakah yang harus membersamai Kopri melaksanakan tanggung jawab ideologis ini terlepas dari kesadaran yang mestinya muncul dari dalam diri kader putri? Jawabannya adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang sama. Itulah alasan mengapa perspektif kolaboratif mestinya dimiliki oleh kader-kader PMII.
Lantas, apa bedanya Kopri dengan gerakan perempuan lain? Gerakan perempuan yang menggiring arus atau mengikuti arus? Pertama, gerakan perempuan barat yang berorientasi pada kebebasan jelas memiliki perbedaan dengan corak gerakan perempuan Indonesia pada umumnya.
Pada tahun-tahun feminisme berkembang di barat, sejatinya sebelum penjajah datang ke Indonesia dengan membawa nilai-nilai yang menurut masyarakat pada masa itu “keren” namun sejatinya Indonesia telah memiliki ekosistem kompleks mengenai persamaan hak.
Meski perhelatan ini tidak bisa dipukul rata karena sistem kasta. Namun perbedaan ini jelas tidak berorientasi pada identitas seksual secara mutlak. Masih terjadi dinamika yang memungkinkan perempuan untuk survive serta cenderung memiliki perspektif maskulin dalam menjalani hari-harinya.
Kedua, Kopri jelas memiliki arah gerak yang berbeda dengan gerakan perempuan lainnya. Secara ideologis jelas bahwa gerakan Kopri tentu tidak berorientasi mutlak pada kebebasan yang disebut dalam paham feminisme liberal. Terdapat nilai-nilai teologis dalam gerakan Kopri. Nilai-nilai Pancasila dan Islam Ahlussunnah Wal Jamaah yang tidak pernah menjelaskan kebebasan mutlak. Hal itu dikarenakan sifat dari hak asasi manusia yang luas serta terbatasi oleh hak asasi manusia lain.
Maka idealnya gerakan Kopri berorientasi pada 3 (tiga) prinsip nilai dasar pergerakan: Hablu minallah, Hablu min An-nas dan Hablu Min Al-Alam. Ketiganya terdapat di dalam Al-Qur’an, Hadist, kitab-kitab klasik dan Pancasila.
Lantas mengapa harus Kopri? Apakah tidak cukup di PMII saja? Jawabannya telah dijelaskan oleh Dr. Ja’far Assagaf (Asosiasi Ilmu Hadis Indonesia Bidang Riset dan Pengembangan Ilmu dan Dosen IAIN Surakarta):
الحق بلا نظام يغلبه الباطل بالنظام
“kebenaran yang tidak terorganisir (maka) kebatilan yang terorganisir akan mengalahkannya”
Dalam perhelatan politik sebelum tahun-tahun Kemerdekaan pun sejatinya mulai terbentuk kesadaran kolektif perempuan untuk kemerdekaan, ketika terorganisir gerakan ini menjadi gerakan yang tidak terbendung. Pada titik ini pula akan ada banyak orang yang berusaha memonopoli.
Alasan klasik bahwa perempuan mestinya mengerjakan rumah adalah salah satu taktik penggembosan kekuatan besar ini. Maka, jika PMII ingin semakin menguat, kader-kadernya tidak perlu lagi teradu domba dengan perbincangan usang pelemparan isu dan kewajiban antara perempuan dan laki-laki. Ada cukup banyak permasalahan yang bisa diselesaikan secara kolektif, sungguh perbincangan liberalis bukanlah nyawa dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia apalagi Korps putrinya. Karena pembebasan yang berlandaskan pada teologis adalah kewajiban luhur kita.
Maka, Kopri sebagai representasi dari corak gerakan perempuan NU perlu membangun sinergi dengan berbagai pihak untuk membangun sistem gerakan perempuan Islam Indonesia yang progresif.
Selamat mengenang sejarah dan merefleksikannya, Korps Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Putri ke-54.