RUU Sistem Pendidikan Nasional: Solusi atau Problematika?
Oleh: Jundu Muhammad Mufakkirul Islami*
Pendidikan selalu menjadi perhatian publik, pendidikan selalu saja memunculkan berbagai problematika baru ataupun inovasi -novasi baru yang diterapkan guna menunjang keberlangsungan pendidikan yang terus berpacu dengan perkembangan zaman.
Pendidikan sejatinya merupakan sebuah investasi masa depan, pengembangan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang baik salah satu faktornya berasal dari ranah pendidikan yang baik pula.
Pendidikan memiliki pengertian harfiah yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU No.20 tahun 2003).
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwasannya pendidikan menjadi dasar dari perkembangan karakter peserta didik dan mengembangkan potensi di dalam dirinya.
Pendidikan seharusnya selalu menjadi fokus utama dalam setiap rencana pembangunan, perubahan kurikulum pada pendidikan bukan solusi utama dalam perbaikan pendidikan Indonesia ke arah lebih baik.
Tercatat dalam sejarah selama 77 tahun Indonesia merdeka, sudah terjadi 13 kali perubahan kurikulum. Pada tahun 1947 ada kurikulum rencana pembelajaran, pada tahun 1964 berubah menjadi rencana pendidikan dasar dan kurikulum sekolah dasar tahun 1968.
Lalu pada masa orde baru, saat kekuasaan presiden soeharto terjadi 6 kali pergantian kurikulum, yaitu kurikulum Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) tahun 1973, kurikulum SD tahun 1975, kurikulum 1975, kurikulum 1984, kurikulum 1994, dan revisi kurikulum 1994 pada tahun 1997.
Pada masa saat ini sudah terjadi 4 kali perubahan kurikulum, yaitu Rintisan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004, Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) tahun 2006, kurikulum 2013, dan terakhir kurikulum merdeka pada tahun 2022. Tapi pada nyatanya bagaimana pendidikan Indonesia saat ini?
Sesuai survei yang dilakukan World Population Riview 2021 menempatkan Indonesia pada peringkat 54 dari 78 negara. Pemeringkatan itu kita masih kalah jauh dengan beberapa negara tetangga asia tenggara seperti Singapura yang menempati posisi 21, Malaysia yang menempati posisi 38, dan Thailand pada posisi 46.
Dari uraian diatas jelas bagaimana perubahan kurikulum tidak menjawab atas berbagai masalah dan problematika pendidikan yang ada di Indonesia dan tidak pula menjadikan pendidikan Indonesia jauh lebih baik.
Padahal pada UU No. 20 tahun 2003 pengganggaran 20% dari dana APBN/APBD khusus untuk pendidikan seharusnya mampu untuk memperbaiki pendidikan Indonesia melalui segi infrastruktur ataupun segi kualitas sistem tersebut.
Sejak 2009 hingga tahun 2020 penggunaan anggaran untuk pendidikan saja sudah mencapai Rp 4.348,6 triliun. Angka sebesar itu lalu dipergunakan untuk apa saja ketika memang pendidikan Indonesia tidak menunjukkan kualitas yang terus meningkat.
Penganggaran 20% dari dana APBN/APBD merupakan amanat dari Undang Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam pasal 49 ayat 1. Dari amat tersebut seharusnya perencanaan tentang pendidikan terus meningkat dengan tanggungjawab yang masih dimiliki oleh pemerintah.
Selain itu pemerintah memiliki tanggung jawab berupa gaji dan tunjangan yang diberikan terhadap guru. Tapi pada nyatanya kesejahteraan guru masih saja menjadi permasalahan pelik pendidikan Indonesia yang tidak kunjung usai hingga hari ini.
Bukan hanya standar pendidikan, standar kualifikasi guru, hingga kompetensi yang dimiliki pun juga masih menjadi tanda tanya walaupun sudah tertera dengan jelas dalam undang undang sistem pendidikan nasional ataupun guru dan dosen.
Lalu bagaimana pemecahan solusi yang diberikan pemerintah? Rancangan Undang Undang Sisdiknas menjadi salah satu jawabannya.
Rancangan Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional seperti dikutip pada laman kemendikbud.go.id., mas Menteri Nadiem Makarim mengatakan bahwasannya RUU sisdiknas merupakan jawaban dari permasalahan kesejahteraan guru selama ini.
Hal itu terjadi karena tunjangan yang diterima oleh guru akan ada hingga pensiun sesuai dengan yang diatur dalam pasal 145 ayat (1). Bukan hanya itu saja RUU ini juga merubah sistem wajib belajar yang dari 12 tahun menjadi 13 tahun dengan satu (1) tahun prasekolah dengan maksud memenuhi standar pemerintah pusat dan pemerataan pendidikan.
Ditambah lagi RUU ini juga dirancang dengan maksud agar permasalahan pendidikan yang begitu pelik dan sangat kompleks mampu terurai dan terselesaikan satu persatu.
Tapi mari kita lihat lebih jauh dan mendalam, RUU Sisdiknas ini merupakan gabungan tiga undang undang menjadi satu (Omnibuslaw) agar tidak adanya tumpang tindih kebijakan antara satu peraturan dengan peraturan lainnya merupakan sebuah solusi yang solutif atau menjadi problematika baru pada pendidikan Indonesia.
Tiga undang undang yang dijadikan satu adalah undang undang no.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, undang undang no.14 tahun 2005 tentang guru dan dosen, dan undang undang no.12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.
Tapi apakah penggabungan tiga undang undang ini menjadi jawaban akan berbagai permasalahan? 4 hal yang tersorot dalam RUU ini, yaitu kurangnya partisipasi publik, RUU yang terkesan tergesa gesa untuk dibahas, tunjangan profesi guru yang dihapuskan, dan terakhir adalah hilangnya jenjang pendidikan seperti Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
4 hal yang tersorot ini menjadi seakan akan adanya sebuah problem di dalam solusi yang ditawarkan oleh pemerintah. Bukan hanya kali ini saja pemerintah menawarkan sebuah solusi dengan menyertakan problematikanya, sebelumnya ada peta jalan pendidikan Indonesia yang menghilangkan frasa agama di dalamnya, lalu RUU ini sebelum direvisi yang menghilangkan frasa madrasah. Terlalu sering pemerintah melakukan hal seperti itu.
RUU ini harus mampu dikaji secara mendalam oleh berbagai pihak termasuk kita sebagai seorang mahasiswa. Kita terlisik mulai dari sorotan yang pertama tentang minimnya keterlibatan publik.
Dalam merancang sebuah undang undang, publik juga harus serta aktif dalam memberikan masukan, kritikan, saran, hingga usulan. Tapi dalam RUU ini sangat minim adanya keterlibatan public, seperti yang dikatakan oleh ketua dewan pengawas Aliansi Penyelenggara Pendidikan Indonesia (APPI) bahwasannya RUU ini premature karena minimnya melibatkan publik.
Selaras dengan hal tersebut, RUU ini dinilai sangat tergesa gesa untuk dibahas dan dimasukkan ke dalam prolegnas sehingga masih banyak hal yang seharusnya perlu pengkajian secara mendalam, tapi terlewat begitu saja.
RUU ini terhitung tergesa tega karena di dalam RUU ini belum memuat secara mendalam tentang bagaimana kajian problematika dan kondisi pendidikan Indonesia saat ini yang seharusnya menjadi dasar adanya RUU ini.
Selain itu pula, belum adanya cetak biru atau grand design dari RUU ini yang mampu untuk dijelaskan secara rinci tentang pendidikan Indonesia dan tranparansi tim penyusun yang tidak terbuka di depan umum semakin membuat masyarakat menyakini hal tersebut.
Hal yang tersorot selanjutnya adalah dalam permasalahan tunjungan yang diterima oleh guru. Dalam penjelasannya, mas Menteri Nadiem mengatakan RUU ini menjadi jawaban atas permasalahan kesejahteraan guru, tapi apakah hal tersebut menjadi jawaban nyata? Dalam Rancangan Undang Undang tersebut malah menghapus adanya tunjangan guru yang sebelumnya tercantum dalam bagian kedua hak dan kewajiban pada pasal 14 Undang Undang No.14 tahun 2005.
Sedangkan pada RUU tidak tercantum hak dan kewajiban tersebut khususnya tentang hak mengenai tunjangan yang diterima oleh guru. RUU tersebut hanya menjelaskan tentang tunjangan yang akan diterima oleh guru/dosen yang sudah menerima tunjangan sebelumnya sesuai dengan yang diatur oleh UU sebelumnya.
Lalu bagaimana ketika guru yang belum mendapatkan tunjangan sesuai dengan UU sebelumnya? Apakah tidak akan mendapatkan? Apakah akan menyelesaikan permasalahan kesejahteraan guru? Apakah akan menuntaskan permasalahan gaji guru honorer pula yang sangat butuh akan tunjangan? Permasalahan tunjangan dan kesejahteraan guru belum usai, tetapi RUU ini juga mengandung problematika pada kasus kompetensi guru itu sendiri.
Undang undang yang lama (UU No.14/2005) dengan jelas memuat tentang bagaimana delapan (8) kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru. Tapi RUU yang baru tidak memuat hal tersebut, bukan hanya tentang kompetensi tapi juga tentang kualifikasi yang harus dimiliki oleh guru itu sendiri. lalu bagaimana ketika terjadi kekosongan atas dua hal itu.
Apakah sertifikasi guru melalui pendidikan profesi guru (PPG) mampu menciptakan kompetensi dan kualifikasi itu secara nyata? Lalu bagaimana kualitas pendidikan setelah ini ketika memang kualitas guru saja tidak menjadi hal penting dan patut untuk menjadi perhatian pemerintah? Selain dalam hal kualitas guru, RUU ini juga merubah standart pendidikan nasional itu sendiri. RUU hanya menjelaskan bahwasanyya sistem pendidikan kita terpaku pada input, proses, dan capaian tanpa menjelaskan secara rinci seperti apa.
Sedangkan pada undang undang sebelumnya (UU No.20/2003) sangat rinci bagaimana standart pendidikan nasional itu meliputi 8 hal yaitu, isi, proses, kompetensi lulus, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilian pendidikan. Mari kita bandingkan dari 2 hal tersebut, RUU hanya berfokus bagaimana masukan dari pendidikan itu mulai dari pendidik dan peserta didik, lalu proses pendidikan berfokus pada kurikulum, pelaksanaan pembelajaran, dan pengelolaan pendidikan dan terakhir mengenai capaian yang hanya pada pendidikan formal dan kesetaraan saja.
Sedangkan UU sebelumnya mengatur secara rinci bagaimana keterlibatan adanya proses, kompetensi lulusan, tenaga pendidikan, sarana dan prasarana yang menjadi salah satu standart pendidikan Indonesia itu sendiri. hal tersebut menjadi tanda tanya besar, apakah pemerintah ingin melepas tanggung jawabnya kembali?
Untuk kesekian kalinya pemerintah melepaskan tanggung jawab atas standart pedidikan Indonesia yang masih berada pada ranah jawasentris. Artinya seperti apa? Pemerintah hanya fokus pembangunan pendidikan pada daerah jawa yang notabenenya merupakan daerah maju.
RUU yang baru masih menemui banyak polemik yang terus menerus tidak usai. Hilangnya pemerintah atas tanggung jawab pendidikan dalam RUU tersebut juga patut disayangkan karena sejatinya pemerintahlah yang memiliki kewajiban untuk menghidupi dan hidup dalam pendidikan Indonesia itu sendiri.
Lalu dari berbagai polemik tersebut apakah RUU Sistem Pendidikan Indonesia ini merupakan solusi atau problematika baru dari pendidikan Indonesia saat ini? Harus ada kajian kajian terus menerus akan hal ini guna meningkatkan kualitas pendidikan Indonesia ke depannya.