Membaca Fiezu Himmah dalam Antologi Puisi Perempuan yang Susah Menangis
Fiezu Himmah dan buku Puisi perempuan yang susah menangis adalah satu tarikan nafas yang tidak bisa dipisahkan, semuanya subjek hidup yang terus berkait lindan.
Perempuan yang susah menangis menemaniku saat perjalanan di malam hari dari Terminal Tawang Alun, Jember menuju Kota Pahlawan, Surabaya.
Sebelumnya, visual poem atau visualisasi puisi yang berjudul Gadis kecil dan kapal kertas menjadi viral berseliweran di beranda instagramku, awal aku tertarik pada judulnya, “perempuan yang susah menangis”. terlintas dalam pikiranku; aku harus membacanya dalam keadaan sadar. Ternyata dugaanku betul, Fiezu memang mempunyai ketajaman rasa yang tepat mengenai palung hati paling dalam.
Ada tiga judul puisi yang aku sukai dalam antologi puisi besutan Fiezu Himmah perempuan yang susah menangis. Pertama di halaman 28, Ibunya Anak Rantau. Kedua, Perempuan yang Susah Menangis halaman 90 dan puisi terakhir yang berjudul Ungkapan Terbuka.
Di puisi Ibunya Anak Rantau mampu memanggil-manggil rasa feminimku pada ibu ketika berada ditanah rantau. Seperti biasa, memulangkan rindu pada ibu adalah sebuah peristiwa tragis yang selalu datang. Kemudian, Puisi Perempuan yang susah menangis merupakan ruh buku puisinya Fiezu. Perempuan dari segala keterbatasannya mencanangkan mimpi-mimpi, mengabaikan suara-sura perih yang mendengungkan telinga. Dunia perempuan digambarkan oleh Fiezu dengan metafora sederhana walaupun aku tau Fiezu mempunyai imajinasi rasa yang tidak sederhana.
Darahku mendidih ketika membaca puisi Ungkapan Terbukanya Fiezu, ia mengajakku membaca kebangsaan dengan spirit kemanusiaan. Aku bersaksi Fiezu Himmah adalah perempuan yang konsisten di jalan kemanusiaan yang sahih, karena mampu mendokumentasikan kemanusian di negara ini dengan karya sastranya.
Terakhir, Jika masih ada sosok perempuan di bumi pertiwi ini yang susah menangis melihat ayahnya meninggal, apakah masih kuat memasung airmatanya ketika suaminya melepas peluk untuk berangkat duluan ke Surga?