Jalan Terjal Pungutan Pajak di Indonesia
Berita Baru, Surabaya – Pajak merupakan sumber utama pendapatan negara dengan cara memaksa melalui intervensi undang-undang. Hampir semua negara menerapkan aturan tentang pemberlakuan pajak baik langsung maupun tidak langsung.
Namun dalam perjalanannya, pajak tidak terlepas dari sejarah perlawanan rakyat. Sejarah pajak dunia memberikan gambaran tentang pemberontakan terhadap pemberlakuan pajak yang dianggap sewenang-wenang dan tidak adil.
Ada beberapa peristiwa besar dunia yang menjadi representasi dari gagalnya praktik pemungutan pajak yang dilakukan kekuasaan, seperti peristiwa Magna Carta, Revolusi Perancis, dan Revolusi Amerika.
Lalu, bagaimana perjalanan panjang sejarah pajak di Indonesia? Apakah telah sesuai amanat konstitusi? Atau justru mendapat pertentangan hingga memantik pemberontakan?
Sejarah Perjalanan Panjang Pajak di Indonesia
Pajak di Masa Kerajaan
Jauh sebelum ditetapkannya Hari Pajak Nasional pada tanggal 14 Juli yang diambil dari awal munculnya pembahasan tentang pajak dalam rapat BPUPKI pada 14 Juli 1945, masyarakat kita sudah mengenal pajak sejak masa kerajaan di Nusantara.
Istilah yang dikenal di masa kerajaan adalah upeti, yaitu pemberian sukarela dari rakyat kepada raja yang merupakan manifestasi dari sebuah kerajaan. Upeti dapat berupa, padi, ternak, atau hasil tanaman seperti pisang, kelapa, dan sebagainya.
Lambat laun paradigma upeti pun berubah, dari yang awalnya hanya untuk kepentingan raja lalu berubah untuk kepentingan kerajaan dan rakyat. Akhirnya hasil dari upeti pun mulai digunakan nantinya menjadi salah satu sumber untuk keamanan, membangun dan merawat infrastruktur seperti jalan, saluran air dan fasilitas sosial, serta juga untuk kegiatan operasional seperti menyelenggarakan acara-acara keagamaan.
Paradigma ini berubah sejalan dengan terjadinya perubahan sistem pemungutan upeti yang awalnya sukarela kemudian berubah menjadi memaksa, tujuannya untuk melibatkan rakyat untuk memenuhi tanggungjawab secara adil. Hal ini terjadi sejak mulai masuknya pengaruh dari kolonialisme yang datang ke Nusantara.
Dalam catatan sejarah, ada beberapa kerajaan yang tidak menerapkan sistem upeti. Kerajaan-kerajaan seperti, Majapahit, Demak, Pajang, Mataram adalah kerajaan yang menerapkan sistem pembebasan pajak atau upeti. Kebebasan ini berlaku atas kepemilikan tanah yang disebut dengan tanah perdikan.
Pajak di Masa Kolonial
Pada awal kemunculannya, pemerintah kolonial masih belum memiliki birokrasi yang jelas untuk mengatur sistem perpajakan di tanah jajahannya. Sehingga mereka meneruskan sistem pajak tanah dan tenaga kerja yang telah dipakai sejak masa kerajaan.
Sistem perpajakan yang terfokus pada tanah dan tenaga kerja ini digunakan oleh pemerintah kolonial untuk mempermudah praktik eksploitatif terhadap rakyat. Sistem ini mulai diberlakukan pada tahun 1816, dikenal dengan istilah ‘Huistaks’ yang merupakan sistem pemungutan pajak yang dikenakan bagi warga negara yang mendiami suatu wilayah atau berpijak di bumi. Rakyat diwajibkan menyetor berbagai hasil bumi kepada pemerintah kolonial.
Sistem itulah yang kemudian digunakan oleh Van Den Bosch dalam melakukan praktik cultuurstelsel atau sistem tanam paksa.
Hal itu dilakukan atas kesadaran dalam pemerintah kolonial untuk mempermudah mendapat biaya besar demi kebutuhan tujuan-tujuan politik. Sehingga mereka mampu memanfaatkan sistem yang ada untuk menguasai elit lokal agar bekerja pada pemerintah kolonial.
Dalam sistem tanam paksa, petani diwajibkan menanam seperlima dari tanah mereka untuk menanam tanaman ekspor. Kemudian seperlima dari waktu mereka untuk memeliharanya.
Seiring berjalannya waktu, sistem itu berubah menjadi sistem land rent atau sewa tanah. Sistem ini dicetuskan oleh Thomas Stanford Raffles. Namun dalam prakteknya tetap saja seperi sebelumnya, hanya saja dalam praktek ini petani dibuat seolah-olah boleh menguasai tanah meskipun harus membayar sewa kepada kolonial.
Lagi-lagi pemerintah kolonial memanipulasi sistem ini karena begitu banyaknya celah, seperti cara penghitungan, pengukuran luasan, dan alokasi yang harus dibayarkan. Akhirnya keuntungan yang didapat banyak masuk ke kantong-kantong elit politik.
Sepanjang masa kolonial bisa dipastikan bahwa tidak ada timbal balik dari pembayaran pajak yang dilakukan. Pemerintah tidak memberikan fasilitas pelayanan publik dan kesehatan yang layak, semua hanya bersifat eksploitatif.
Pajak di Masa Kemerdekaan
Saat usia baru seumur jagung, pemerintah Indonesia yang baru memproklamasikan kemerdekaan mulai sadar akan sumber pembiayaan yang mandiri untuk memperbaiki perekonomian negara. Sehingga dicantumkan tentang perpajakan dalam tubuh UUD 1945 Pasal 23. Kemudian diikuti dengan dibentuknya Kementerian Keuangan yang di dalamnya terdapat Pejabatan Pajak yang bertugas mengurusi tentang pengenaan pajak di Indonesia.
Pemerintah menerapkan sistem official assesment dalam pengenaan pajak kepada masyarakat yaitu sistem pemungutan pajak dengan cara penetapan oleh fiskus (aparatur pajak). Masyarakat sebagai wajib pajak bersifat pasif, dan utang pajak akan timbul ketika Surat Ketetapan Pajak dikeluarkan.
Perubahan signifikan terlihat ketika munculnya Pajak Pendapatan pada tahun 1957, di antaranya pengenalan mekanisme membayar pajak sendiri (MPS). Mekanisme ini merupakan cikal bakal sistem self assesment yang berlaku hingga saat ini.
Ketentuan ini terus digunakan hingga tahun 1983 yang dikenal sebagai Reformasi Perpajakan. Dari reformasi ini menghasilkan UU Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan atau UU PPh. UU ini merupakan peraturan perundang-undangan pertama di Indonesia yang mengatur tentang Pajak Penghasilan. UU PPh tercatat mengalami dua perubahan di masa Orde Baru yaitu menjadi UU Nomor 7 Tahun 1991 dan UU Nomor 10 Tahun 1994.
Memasuki masa reformasi, sistem perpajakan mulai mengalami banyak perubahan, sejalan dengan spirit reformasi perpajakan. Ada dua aspek yang direformasi yaitu terkait perpajakan dan birokrasi perpajakan. Dalam reformasi perpajakan, meliputi Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai, Administrasi Perpajakan, dan Pajak Daerah.
Sedangkan dalam reformasi birokrasi meliputi penataan organisasi, peningkatan proses bisnis, dan peningkatan manajemen sumber daya manusia. Semua hal ini dilakukan untuk peningkatan pembayar pajak, pembiayaan pengeluaran sosial dan infrastruktur, serta mempermudah pelayanan perpajakan terhadap publik.
Namun, dari berbagai upaya reformasi pajak hingga reformasi birokrasi tidak mampu membongkar praktik korupsi oleh mafia pajak yang sudah sistematis dan menjadi budaya sejak dulu.
Kasus mafia pajak menjadi tumbuh subur hingga sekarang, bisa dilihat dengan peristiwa inflasi hingga mencapai 500% di masa Orde Lama, kemudian praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme di Masa Orde Baru, hingga praktek mafia pajak yang dilakukan Gayus Tambunan dan para elit politik saat ini. Apalagi ketika melihat kelayakan fasilitas sarana dan prasarana serta kebutuhan sosial yang selalu tidak menguntungkan bagi masyarakat.
Inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya pembangkang sipil masyarakat dengan cara melakukan gerakan menolak bayar pajak. Ini didasari atas kegagalan relasi transaksional antara rakyat dengan negaranya yang telah menyalahgunakan wewenang.
Dari banyaknya permasalahan yang dialami negara saat ini, itu membuktikan bahwa pajak masih terikat erat dengan pemberontakan ketika negara gagal dalam proses pelaksanaannya. Ini juga menegaskan bahwasannya reformasi perpajakan masih jauh panggang dari api.
Bagaimana menurut kalian?