Meriahkan Ramadan, HMP Imabina Gelar Diskusi Sastra dan Religiusitas
Berita Baru Jatim, Jember – Pengurus Himpunan Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia (IMABINA) Universitas Jember mengadakan webinar dengan tema Sukma Religi dalam Bingkai Sastra Milenial di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember dengan konsep semidaring pada Minggu (25/04/2021).
Dimoderatori langsung oleh Dosen PBSI Arief Rijadi, pemateri acara tersebut yakni Kyai D. Zawawi Imron (Sastrawan Si Celurit Emas) dan Ning Khilma Anis (Novelis). Webinar berbentuk podcast tersebut dibuka oleh Wakil Dekan 3 FKIP, Sukidin melalui Zoom Meeting.
Sukidin mengapresiasi kegiatan mahasiswa PBSI tersebut. Pun Kaprodi PBSI, Rusdhianti, mengatakan bahwa mahasiswa PBSI luar biasa bukan hanya secara akademik tapi juga organisatoris.
“Kami sangat bangga memiliki generasi millenial atau Z seperti kalian, tetap berkarya dan terus berkarya, kerja belum selesai belum apa-apa,” katanya.
Dalam pemaparan awal, Zawawi Imron mengatakan bahwa sukma yang ada dalam puisi Indonesia dan cocok untuk kaum milenial, salah satunya terdapat dalam karya sastra sahabatnya yakni Sapardi Djoko Damono.
Ia juga sempat membacakan beberapa potong dajak dalam puisi berjudul “Dalam Diriku”. “Jika salah intrepetasi dalam puisi dapat merasa benar dijalan yang salah namun merasa salah di jalan yang benar itu lebih baik,” ujarnya.
Selanjutnya, Zawawi Imron juga menegaskan terkait hubungan religi dengan sastra. Ia memberikan contoh melalui akhiran dalam surat Attoriq. Persamaan bunyi “iq” di akhir surat tersebut merupakan keindahan apalagi jika dituangkan dalam bahasa yang puitik.
“Ketika kita terlalu dekat dengan keindahan bahkan hati kita penuh dengan irama keindahan, maka menulis karya sastra entah itu puisi atau lainnya tidak akan begitu sulit membuatnya karena hati kita yang indah itu merupakan salah satu cara untuk menemukan kata-kata indah. Kemudian religiutas menjadi indah sekali. Sebenarnya fenomena adalah hal yang harus cepat dijadikan karya sastra. Disetiap gerak adalah hal yang berhubungan dengan Tuhan,” pungkasnya.
Sementara Ning Khilma, ia bercerita mengenai milenial dan sastra. Sebagai contohnya dalam novel Karya Hati Suhita yang akan segera difilmkan. Menurutnya jika berbicara soal religi, maka itu merupakan nilai keagamaan atau nilai luhur dari akhlak yang baik serta perihal tanggung jawab yang diwariskan leluhur. Maka dari itu, novel yang diciptakan ia juga bercerita tentang warisan nenek moyang.
“Warisan nenek moyang tidak kalah bagus,” jelasnya.
Menurut Ning Khilma ia sejak muda mencintai membaca dan selalu berprinsip pada peribahasa jawa yakni (ojo mati tanpa aran).
“Jangan cukup menjalani hidup dengan bekerja. Jangan mati tanpa nama. Jangan mati tanpa meninggalkan karya, dari pada tenggelam dalam angan,” jelasnya. Ia juga menyebutkan bahwa karya yang bagus adalah karya yang selesai.
“Bagaimana menahan jari untuk menulis sesuatu yang manis dalam keadaan hati yang pahit,” tambahnya.