Webinar HISKI Jember: Pelestarian Tembang Perlu Keberpihakan dari Pemerintah
Berita Baru, Jember – Tembang Jawa dan tembang-tembang dari berbagai daerah di Nusantara perlu dilestarikan dalam era digital ini. Upaya pelestarian tembang dapat dimulai dari diri sendiri dan lingkungan. Namun, pelestarian tembang juga perlu keberpihakan dari pemerintah, baik melalui kurikulum pendidikan maupun kebijakan kebudayaan. Demikian rangkuman Webinar HISKI Jember, yang dilaksanakan secara daring melalui zoom, Sabtu (20/5/2023).
Webinar dengan tema “Puisi dan Tembang Jawa” tersebut dilaksanakan atas kerja sama HISKI Jember dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember (FIB UNEJ), Jurnal Semiotika, Kelompok Riset Sastra Humaniora (KeRis SASHUM), Kelompok Riset Kajian Linguistik Interdisipliner dan Terapan (KeRis KALITAN), Kelompok Riset Okara: Bahasa dan Sastra Madura (KeRis OKARA), dan Kelompok Riset Budaya, Bahasa, dan Sastra Jawa (KeRis BASJAWA).
Narasumber Dr. Sri Ratna Saktimulya, M.Hum., FIB UGM, dan Dr. Asri Sundari, M.Si., FIB UNEJ, dengan moderator Dr. Asrumi, M.Hum., anggota HISKI Jember sekaligus dosen FIB UNEJ, pewara Sherin Fardarisa dan host Novianti Pratiwi, keduanya mahasiswa FIB UNEJ. Webinar dibuka oleh Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Dr. Agustina Dewi Setyari, S.S., M.Hum.
Dalam sambutannya, Agustina Dewi menekankan bahwa tembang merupakan khazanah kebudayaan Jawa yang digunakan sebagai media ekspresi diri dan penyampaian pesan kultural. Namun, seiring perkembangan zaman, menurutnya, saat ini tembang mulai ditinggalkan oleh kaum muda karena tergerus oleh perkembangan budaya populer dan budaya global. “Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi praktisi dan akademisi. Oleh karena itu, perlu upaya dan strategi yang jitu dalam menarik kembali minat generasi muda terhadap keberadaan tembang Jawa,” kata Dewi.
Sri Ratna Saktimulya (ratna.saktimulya@ugm.ac.id), narasumber pertama, memaparkan materi berjudul “Memaknai Tembang Jawa”. Perempuan kelahiran Yogyakarta ini menjelaskan bahwa tembang merupakan sarana berkesenian, yang di dalamnya mengandung unsur pendidikan. Dengan mengacu pandangan Ki Hadjar Dewantara, Saktimulya menekankan bahwa untuk menuju manusia beradab, segala gerak jiwa dan raga harus menunjukkan keluhuran dan kehalusan. “Dengan berkesenian, akan menyeimbangkan pikir, rasa, dan karsa yang diperoleh dari pendidikan. Pendidikan yang mendasar berada pada ranah keluarga,” kata Sakti, yang juga plt. Kepala Pusat Studi Kebudayaan UGM.
Kemudian Sakti memberi gambaran dengan contoh tembang “Dhuh Gusti” karya Ki Hadi Sukatno dan “Wasita Rini” karya Ki Hadjar Dewantara, yang diperdengarkan melalui audio. Tembang pertama mengajarkan sikap bersyukur kepada Tuhan atas segala ciptaan-Nya, sedangkan tembang kedua merepresentasikan jatidiri perempuan Jawa. Dalam syair tembang Ki Hadjar, perempuan Jawa digambarkan sebagai perempuan yang merdeka. Hal tersebut dimaksudkan bukan sekadar terlepas dari kuasa lelaki, melainkan juga mampu mandiri dengan memahami secara proporsional hak dan kewajibannya.
Dalam merespons auidens, Sakti menjelaskan bahwa upaya pelestarian tembang Jawa dapat dimulai dari diri sendiri, lingkungan, dan dukungan pemerintah. Menurutnya, hal ini perlu digalakkan. Diungkapkan bahwa di Yogyakarta sudah banyak kelompok-kelompok macapatan, yang secara rutin melaksanakan kegiatan nguri-nguri tembang. Bahkan, setiap selapan sekali, instansi-instansi pemerintah secara bergilir mengadakan acara nguri-uri tembang Jawa. “Biasanya para pejabat tidak hadir, dan yang hadir hanya para penggemar dan seniman. Meskipun demikian, para pejabat dan instansi terkait telah memfasilitasi dan memberi dukungan dalam upaya pelestarian tembang Jawa,” tandas Sakti, yang juga Kepala Perpustakaan Widyapustaka Pura Pakualaman.
Upaya pelestarian tembang Jawa dan tembang-tembang lain di Nusantara agar dikenal dan disukai oleh generasi muda, menurut Sakti, perlu mengikuti filosofi Ki Hadjar Dewantara, yakni ngerti, ngrasa, dan nglakoni. Menurutnya, tembang-tembang daerah perlu sering diperdengarkan, sehingga generasi muda menjadi mengerti atau memahami keindahannya. “Setelah mengerti, memahami, dan kemudian merasakan kegunaan atau kemafaatannya, maka seseorang akan tergerak untuk mempelajarinya dan menggali filosofinya, untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” jelas Sakti, yang juga menjadi Dewan Pakar Badan Pusat Wanita Tamansiswa, sekaligus aktif di organisasi profesi Manassa, Hiski, dan Adisabda.
Asri Sundari (asrisundari6@gmail.com), narasumber kedua, memaparkan materi berjudul “Lirik Tembang dalam Pewayangan: Suatu Studi Etnobotani dan Nilai Moralitas sebagai Edukasi dalam Kehidupan Masyarakat”. Perempuan kelahiran Kulon Progo ini, mengawali paparan dengan nembang, berjudul “Sumbangsih”, yang mengisahkan bahwa perempuan Jawa memiliki kuasa, yakni berupa sumbangsih atau kontribusi kepada lelaki. Kemudian Asri menyambung tembang kedua, hasil ciptaannya, berjudul “Kutha Jember Edipeni”, yang menggambarkan bahwa Jember merupakan kota kecil, namun kaya dan makmur. Tembang lain yang telah diciptakannya adalah “Alun-Alun Jember” dan “Dalan Banyuwangi”.
Dalam paparannya, Asri menjelaskan ragam tembang secara detail, mulai dari pembagian jenis tembang, pola atau syarat persajakan lirik dalam tembang, klasifikasi tembang, dan fungsi tembang. Dijelaskan pula bahwa tembang menjadi partner karawitan dan digunakan untuk mengiringi wayang. Disebutkan bahwa karawitan merupakan bentuk seni budaya tradisional masyarakat Jawa yang telah membudaya dan memasyarakat. “Seni karawitan merupakan kristalisasi nilai-nilai keindahan dan keluhuran. Seni tersebut memiliki beragam fungsi kultural, mulai dari fungsi estetis, pembangun karakter, hingga menanamakan nilai-nilai pendidikan budi pekerti,” jelas Asri, yang juga sering melaksanakan ritual ruwatan.
Lebih lanjut, Asri menekankan bahwa tembang dan karawitan merupakan pendukung utama pagelaran wayang. Dalam struktur pagelaran wayang, lirik tembang memiliki fungsi yang penting, karena harus menyatu dengan karakter dan pesan tokoh wayang. Disebutkan bahwa seni karawitan Jawa sangat komunikatif dan efektif dalam mengantarkan penghayatan pada nilai-nilai simbolik yang sakral. “Tembang, karawitan, dan wayang menjadi khazanah kultural Jawa yang telah mendapat apresiasi oleh masyarakat, di antaranya dengan nguri-uri untuk menampilkannya dalam berbagai momen, seperti peringatan hari besar, khitanan, mantenan, hingga penyambutan tamu pejabat,” jelas Asri, yang siap pentas wayang bersama sanggarnya jika ada yang nanggap.
Dalam merespons audiens, Asri mengungkapkan bahwa pelestarian tembang Jawa juga perlu keberpihakan dari pemerintah, baik melalui kurikulum pendidikan maupun kebijakan kebudayaan. Menurutnya, tanpa campur tangan pemerintah, sulit untuk melestarikan tembang Jawa secara massif. “Saya berupaya mengajarkan ke mahasiswa, di antaranya mahasiswa harus bisa nembang macapat. Tapi hal semacam itu tidak cukup. Harus ada campur tangan pemerintah. Selain itu, juga harus ada kolaborasi dengan lembaga atau institusi terkait,” tandas Asri, yang nguri-uri budaya Jawa melalui pembelajaran di kampus maupun sanggar miliknya, Sanggar Mustika Budaya.
Webinar NGONTRAS#22 yang dihadiri 220-an partisipan, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Setelah sesi penyerahan sertifikat secara simbolis oleh Dra. Titik Maslikatin, M.Hum. kepada kedua narasumber, acara ditutup oleh pewara dengan pantun.
Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.