Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Sekolah Sastra Tema Poskolonial Putaran 8 Sesi Kedua Usai Digelar

Sekolah Sastra Tema Poskolonial Putaran 8 Sesi Kedua Usai Digelar



Berita Baru, Jakarta — Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) kembali gelar Sekolah Sastra putaran ke-8. Acara disiarkan secara langsung di kanal Youtube Tribun Network, Sabtu (10/08). Kegiatan ini difasilitasi oleh Bantuan Pemerintah untuk Penguatan Komunitas Sastra yang dikelola Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.

Pada putaran ini, HISKI sebagai inisiator Sekolah Sastra mengangkat topik Sastra Poskolonial dengan narasumber Dr. Sudibyo, M.Hum. (Universitas Gadjah Mada) yang dimoderatori oleh Ferry Kurniawan, M.Pd.

Acara dibuka oleh Wakil Ketua III HISKI, Dr. Sastri Sunarti, M.Hum. Ia mengatakan bahwa Sastra Poskolonial merupakan salah satu pendekatan yang cukup tren dan diminati dalam penelitian teks-teks sastra.

“Kemarin kita baru saja berdiskusi dengan penulis Okky Madasari tentang dekolonisasi karya sastra dan ilmu budaya. Yang tetap menjadi tren adalah pendekatan poskolonial, bagaimana penilaian Barat tentang sastra kita,” tuturnya.

Di pertemuan ini, Sastri berharap para peserta dapat menyimak pemaparan narasumber dengan baik serta terinspirasi untuk melakukan penelitian dengan model pendekatan yang sama.

“Melalui Sekolah Sastra, HISKI berkomitmen untuk menyebarkan ilmu pengetahuan, dan menyebarkan kebaikan. Semoga ini menjadi amal bagi penyelenggara. Selamat menikmati dan selamat belajar bersama,” harapnya.

Sekolah Sastra Tema Poskolonial Putaran 8 Sesi Kedua Usai Digelar

Acara berlanjut ke pemaparan inti. Sudibyo membawakan materi presentasi dengan judul “Ideologi Komunisme (Belanda)”. Sebagai awal pembahasan, Sudibyo menerangkan ideologi konservatif-liberal, kolonial-liberal, dan ideologi etis.

“Secara garis besar penahapannya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tahap imperialisme etis, tahap pertumbuhan, dan tahap etis-konservatif. Tahap imperialisme etis yang berlangsung dari 1894–1905 ditandai oleh bertambahnya perhatian terhadap penguasaan wilayah di luar Jawa dan persiapan untuk kebijakan pembangunan,” terangnya.

Sudibyo menambahkan, Politik etis merupakan manifestasi The white Man’s Burden dalam terminologi Rudyard Kipling, yaitu tugas dan kewajiban orang-orang berkulit putih untuk mendidik dan mendewasakan bangsa-bangsa tidak berkulit putih yang berada dalam kekuasaan kolonialnya. Hal ini tampak dalam perdebatan intelektual mengenai wujud konkret kebijakan itu.

“Ada sekelompok pemikir yang menginginkan implementasi kebijakan itu secara lebih alamiah. Di pihak lain, tak kurang pula yang menghendaki pemberlakuan kebijakan tersebut dengan dasar segregasi yang tegas antara Belanda dan bumiputra. Pandangan yang pertama tampak dalam gagasan tentang politik asosiasi dan asimilasi. Sementara itu, gagasan yang kedua mengemuka dalam pandangan tentang perlunya segregasi rasial,” jelas Sudibyo.

Sudibyo juga menjelaskan pemetaan sastra poskolonial Indonesia. Menurutnya, Novel Surapati dan Robert Anak Surapati merupakan dua novel awal pascakemerdekaan yang mengkritisi perbudakan dan keindoan. Kedua novel ini menulis novel ulang novel Soerapati  karya Melati van Java, nama pena Nicolina Maria van Sloot pada pergantian abad ke-19–20. Abdoel Moeis sang pengarang menjelaskan posisi Surapati dan Robert dari perspektif Indonesia.

“Dua dasawarsa setelah penerbitan _Surapati_ dan Robert Anak Surapati, pada 1977 terbit novel Keberangkatan karya NH Dini. Novel ini kembali mengangkat tema tentang dilema Indo. Puncak penulisan karya sastra dengan latar masa penjajahan Belanda terjadi pada saat terbitnya kuartet Buru karya Pramoedya Ananta Toer pada awal tahun 1980-an. Empat novel, Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca menjadi karya sastra yang paling banyak mendapatkan apresiasi dari para peneliti dan kritikus sastra, baik dari Indonesia maupun luar Indonesia,” pungkas Sudibyo.

Selanjutnya, Sudibyo menerangkan, meski secara politis kolonialisme Belanda telah berakhir pada 1945, penulisan karya sastra tentang kolonialisme Belanda di Indonesia terus berlanjut pada masa pascakemerdekaan Indonesia sampai dengan tahun—tahun terakhir ini baik di tanah air maupun di Belanda.

“Di Indonesia terdapat motivasi yang beragam untuk menulis tentang masa lalu kolonial. Sementara itu, di Belanda ada rasa kehilangan yang luar biasa terhadap masa lalu kolonial. Problem yang mengemuka adalah tentang nostalgia, melankolia, trauma, dan pencarian identitas,” pungkasnya.

Sekolah Sastra Tema Poskolonial Putaran 8 Sesi Kedua Usai Digelar

Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara narasumber dan audiens. Sampai akhir acara, Sekolah Sastra kali ini diikuti sekitar 165 peserta di Zoom Meeting.

Sekolah Sastra merupakan salah satu program kegiatan HISKI Pusat untuk meningkatkan kompetensi dan bekal para anggota HISKI yang tersebar dari Aceh hingga Papua.

Sekolah Sastra ini rutin digelar setiap bulan di minggu pertama dan kedua. Sementara itu, untuk minggu ketiga digelar agenda Tukar Tutur Sastra.

Sebagai informasi, akan diselenggarakan pelantikan serentak 17 Ketua HISKI Komisariat pada Sabtu (10/08) malam, bertempat di RRI Jember. Sesi pelantikan akan langsung dipimpin ole Ketua Umum HISKI, Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum.

Sekolah Sastra Tema Poskolonial Putaran 8 Sesi Kedua Usai Digelar

 

beras