Tukar Tutur Sastra ke-13, HISKI Bincangkan Kupas Perspektif Sastra Lokal dan Nasional
Berita Baru, Jakarta – Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) usai gelar Tukar Tutur Sastra edisi ke-13 pada Sabtu, (18/01/2024). Acara digelar melalui Zoom Meeting serta disiarkan secara langsung di kanal Youtube HISKI dan Tribun Network.
Acara yang berlangsung dari pukul 10.00 hingga 12.00 WIB ini menghadirkan tiga narasumber dari tiga daerah di Indonesia yang mengeksplorasi keanekaragaman sastra dan budaya masing-masing.
Dimoderatori Dr. Endah Imawati, M.Pd, ketiga pemateri tersebut adalah Dr. Agustan, M.Pd. (Ketua HISKI Komisariat Sulawesi Tengah), Dr. Yosi Wulandari, M.Pd. (Ketua HISKI Komisariat Universitas Ahmad Dahlan), dan Dr. Ahmad Bahtiar, M.Hum. (Ketua HISKI Komisariat UIN Jakarta).
Sebelum paparan ketiga narasumber, acara dibuka dengan sambutan Sekretaris Jenderal HISKI Pusat, Dr. Yeni Artanti, M.Hum. Dalam sambutannya, Yeni menyampaikan bahwa program Tukar Tutur Sastra merupakan forum diskusi ilmiah yang tidak hanya mempertemukan para pengajar dan penikmat sastra, tetapi juga memperkaya wawasan tentang dinamika sastra dan budaya lokal di Indonesia.
“Tukar Tutur Sastra menjadi jembatan antara tradisi sastra lokal dengan perkembangan sastra modern. Kami berharap diskusi ini dapat mendorong pelestarian budaya melalui pendekatan sastra, serta dapat mempererat silaturahmi sesama anggota HISKI dan meningkatkan kecintaan kepada sastra. Selamat bertukar tutur sastra,” sambutnya.
Narasumber pertama, Agustan membawakan materi “Pewarisan Sastra Lokal Melalui Alih Wahana Permainan Tradisional Anak Kaili ke dalam Seni Pertunjukan”. Ia menekankan, untuk membuat permainan tradisional lebih kekinian dan kontekstual, diperlukan sebuah format dan penanaman baru yang lebih kreatif.
“Permainan tradisional hari ini harus SINTING; SINgkron dan tidak keTINGgalan. Mengapa permainan tradisional? karena empat alasan: berakar dari budaya lokal, akrab dengan masyarakatnya, edukatif dan menghibur,” urai Agustan.
Agustan juga menjelaskan, alih wahana yang lebih kekinian membuat permainan tradisional tidak tenggelam dalam arus globalisasi. Dalam praktik kerja dan proses kreatifnya, Agustan mengungkapkan ada delapan tahapan dalam mengalihwahanakan permainan tradisional ke seni pertunjukan.
“Pertama, observasi dan identifikasi permainan. Kedua, kajian permainan (proses analisis). Ketiga, kadar kesastraan (puitika). Keempat, adaptasi dalam pertunjukkan (teater). Kelima, finalisasi. Keenam, pertunjukkan (art product). Ketujuh, evaluasi (materi & media). Kedelapan, transmisi/transformasi),” tuturnya.
Etnis Kaili sendiri merupakan salah satu suku yang mendiami sebagian besar Provinsi Sulawesi Tengah, khususnya Kabupaten Donggala, Sigi hingga Kota Palu.
Berlanjut ke pembicara kedua, Yosi Wulandari, membawakan paparan berjudul “Membongkar Mitos Merantau: Perspektif Kritis dalam Karya-karya Gus tf Sakai”. Ia memaparkan, tradisi merantau dalam budaya Minangkabau merupakan fenomena sosial budaya yang telah mengakar sejak berabad-abad. Secara historis, merantau menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Minangkabau.
“Tradisi merantau masyarakat Minangkabau tercermin dalam filosofi ‘karatau madang di hulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu, di rumah baguno balun’ (seperti pohon karatau di hulu, berbuah berbunga belum, merantau bujang dahulu, di rumah berguna belum),” ujarnya.
Dalam presentasinya, Yosi menelaah tiga karya Gus tf Sakai yang berjudul Perantau, Ketam Batu dan Kaki yang Terhormat dengan tiga pendekatan: post-struktural, permainan bahasa dan dekonstruksi.
“Merantau sebagai sebuah teks memiliki kemungkinan yang tidak stabil. Merantau hadir dalam karya Gus tf Sakai sebagai sesuatu yang hadir dalam sistem sosial sehingga maknanya tidak tunggal. Permainan bahasa menghadirkan anomali dalam karya-karyanya yang dapat ditelusuri dengan pendekatan post-struktural,” tuturnya.
Gus tf Sakai merupakan penulis kelahiran Minangkabau dan bukan seorang perantau. Yosi melanjutkan bahwa kemampuan Gus tf Sakai menggunakan bahasa menunjukkan adanya kondisi instabil sekaligus menegosiasikannya.
“Selain menawarkan makna baru, aporia makna merantau dalam karya Gus tf Sakai juga menunjukkan keresahannya agar tradisi merantau dengan makna perpindahan fisik tidak melulu menjadi keharusan bagi laki-laki Minangkabau,” pungkasnya.
Sementara untuk narasumber ketiga, Ahmad Bahtiar, membawakan materi berjudul “Berhaji dalam Sastra Indonesia”. Bahtiar mengungkapkan jika karya-karya sastra yang dipakainya adalah novel-novel sebelum kemerdekaan atau masa kolonial.
“Haji menjadi penting sebab ia adalah ibadah yang paling penting, paling dibicarakan dan paling ditulis. Haji juga berperan penting dalam konteks spiritual, status soail, legitimasi dan studi,” terangnya.
Bahtiar mengatakan bahwa tema haji banyak ditulis dari beragam etnis dan perspektif. Ia juga menuturkan alasan memilih novel untuk mencermati fenomena haji, mengutip Teeuw (dalam Kuntowijoyo: 2004), karena novel dapat melihat persoalan sosial dalam individu.
“Adapun yang menjadi sumber data dalam presentasinya. Pertama, dua novel sebelum kemerdekaan yang berasal dari Sastra Melayu-Tionghoa (Tjerita Nyai Dasima dan Hikayat SIti Mariah). Dua novel lagi terbitan Balai Pustaka (Percobaan Setia dan Di Bawah Lindungan Kabah),” ungkapnya.
Potret haji dalam empat novel di atas, lanjut Bahtiar, tidak hanya berkait pada persoalan agama dan spiritualitas saja, melainkan juga dari aspek sosial dan budaya.
Seusai pemaparan narasumber, acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara audiens dengan narasumber yang dipandu oleh moderator. Sampai akhir acara, webinar ini diikuti oleh 235 peserta dan ditonton sebanyak 443 kali di kanal Youtube HISKI dan Tribun Jatim.
Sebagai informasi tambahan, acara Tukar Tutur Sastra ke-13 kali ini merupakan agenda perdana HISKI Pusat di awal tahun 2025 yang dinahkodai oleh Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum. Di sepanjang tahun 2024, Tukar Tutur Sastra terselenggara setiap bulan sekali pada minggu ketiga.