Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store
Rahmat Faisal Koordinator KontraS Surabaya. Foto: Denza/ Suarasurabaya.net.

KontraS Surabaya Sebut Polisi Langgar HAM dan Demokrasi



Berita Baru Jatim, Surabaya — Pada 20 Oktober 2020, terdapat 169 dari ribuan orang yang tergabung dalam Gerakan Aksi Tolak Omnibus Law (GETOL) melakukan aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law di gedung Grahadi, Surabaya menjadi korban penangkapan oleh aparat kepolisian. Hal tersebut diketahui berdasarkan rilis pers oleh Kabid Humas Polda Jawa Timur Trunoyudo Wisnu Andiko.

KontraS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindakan Kekerasan) Surabaya menyebutkan bahwa aparat kepolisian telah melakukan tindakan sewenang-wenang pada masyarakat sipil dan menjadi ancaman bagi Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi.

“Berdasarkan pada pemantauan (lapangan dan media), laporan masyarakat. serta keterangan korban penangkapan, diketahui telah terjadi beberapa tindak pelanggaran yang dilakukan oleh aparat kepolisian saat melakukan penangkapan,” ungkap Faisal, Koordinator dalam rilis persnya yg diterbitkan pada Kamis, (22/10/2020).

Selain itu, KontraS mengaku bahwa telah menemukan tindakan penyalahgunaan wewenang dalam proses penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepolisian sebagai berikut:

  1. Penyalahgunaan wewenang aparat kepolisian dalam pengamanan unjuk rasa terjadi dalam bentuk penangkapan keadaan masa aksi yang baru akan melakukan aksi, mereka yang menggunakan baju hitam, hingga kepada masyarakat sipil yang tidak melakukan aksi (berada disekitar lokasi unjuk rasa). Penangkapan secara sewenang-wenang ini selain berdampak kepada penghilangan hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi korban, juga berdampak pada pemberian stigma bahwa mereka yang ditangkap adalah pengunjuk rasa yang akan melakukan kerusuhan.
  2. Selain melakukan penangkapan, aparat kepolisian juga melakukan tindakan penggunaan kekuatan berlebih hingga berdampak pada tindak kekerasan yaitu pemukulan kepada salah satu peserta aksi yang ditangkap.
  3. Seperti halnya dalam penangkapan 08 Oktober silam, aparat kepolisian Polrestabes Surabaya kembali melakukan pelanggaran berupa menghalang-halangi akses informasi mengenai data korban penangkapan, tindakan tersebut kemudian berdampak kepada sulitnya tim advokasi dalam memberikan bantuan hukum.

Dari beberapa temuan tersebut, KontraS Surabaya menilai bahwa kerja-kerja aparat kepolisian mengalami kemerosotan dan masih jauh dari kata profesional dan akuntabel.

“Selain berdampak kepada semakin tingginya potensi pelanggaran HAM, tindakan-tindakan aparat kepolisian tersebut juga akan berdampak kepada hilangnya kepercayaan publik terhadap aparat kepolisian dan penegakan hukum di Indonesia,” ungkap Faisal.

Berdasarkan sederetan peristiwa tersebut, KontraS menuntut kepada Kepolisian Daerah Jatim dan Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya untuk:

  1. menghentikan semua proses hukum yang dikenakan kepada para demonstran yang mengikuti aksi tolak Omnibus Law pada tanggal 20 Oktober 2020;
  2. menyampaikan permohonan maaf dan mengakui bahwa aparat kepolisian telah melakukan tindak kekerasan, penangkapan, dan intimidasi kepada masyarakat umum serta peserta unjuk rasa selama aksi menolak Omnibus Law di Grahadi;
  3. melakukan evaluasi secara menyeluruh dan langkah-langkah perbaikan terhadap kinerja seluruh anggota aparat Polda Jawa Timur dan Polrestabes Surabaya;
  4. memberhentikan secara tidak hormat kepada seluruh petugas yang terlibat dalam peristiwa tindak kekerasan, penangkapan dan intimidasi, serta memproses kasusnya sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku, dan
  5. memenuhi hak korban dengan memberikan kompensasi, dan rehabilitasi yang layak demi kemanusiaan.