Kemelut Politik Kebencian dan Kedewasaan Politik
Oleh: Muhammad Aminulloh (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Gadjah Mada)
Berbicara tentang peristiwa bersejarah tahun 1965, saya jadi teringat bagaimana guru saya menjelaskan peristiwa 65 di dalam kelas. ”G30S/PKI adalah Gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia dengan mengakibatkan terbunuhnya Dewan Jendral yang kemudian dibuang di Lubang Buaya”.
Penjelasan itu terus melekat dalam ingatan saya, bahkan hingga saya mengampuh Pendidikan di Jurusan Ilmu Sejarah. Hingga pada satu diskusi dalam ruang perkuliahan Kapita Selekta Sejarah Indonesia, saya baru tersadar bahwa pemahaman saya tentang peristiwa 65 selama ini adalah sebuah problem historiografi Indonesia.
Nyatanya, peristiwa 65 tidak sesederhana itu untuk dijelaskan. Banyak pihak yang memiliki kepentingan dalam peristiwa tersebut terlebih untuk waktu-waktu selanjutnya hingga terjadinya pembantaian.
Semenjak itu saya kemudian mencoba bembaca lebih jauh tentang peristiwa berdarah itu. Hingga akhirnya saya berkenalan dengan buku-buku yang ditulis maupun disunting oleh tokoh-tokoh seperti Suar Suroso, Amibuddin Kasdi, G. Ambarwulan, John Roosa, Soebandrio, Bonnie Triyana, Cyntha Wirantaprawira, Eros Djarot, dll.
Namun demikian, apa yang pernah saya yakini 9 tahun yang lalu itu tidak begitu saja hilang dalam ingatan. Lalu saya membanyangkan bagaimana melekatnya ingatan masyarakat tentang peristiwa 65, yang mereka hanya mengetahui peristiwa itu dari mulut ke mulut dan dari pemutaran film G30S/PKI, yang pada masa Orde Baru diwajibkan untuk diputar.
Bahkan setelah Reformasi, kegiatan pemutaran film tersebut masih kerap dilakukan meskipun sudah benyak yang melayangkan kritik atas film tersebut. Kondisi pemahaman semacam itu yang menurut saya mengkhawatirkan jika terus dipertahankan.
Pada kesempatan ini, saya ingin menyampaikan dua hal yang berkaitan dengan bagaimana seharusnya kita mengingat dan mengunakan sejarah sebagai kekuatan nasional. Prihal peristiwa 30 September 1965, kita perlu kembali membuka lembar demi lembar sejarah dengan lebih kritis dan dewasa.
Bukan untuk sebuah tujuan peradilan melainkan untuk pendewasaan wawasan kebangsaan kita dimasa yang akan datang. Pertama, saya ingin menyampaikan bahwa selama ini kita menghadapi problem dalam menyampaikan sejarah 65 kepada anak-anak didik kita di sekolah dasar.
Banyak yang mengkritik prihal muatan materi dalam buku ajar tentang peristiwa G30S yang oleh sebagian orang dianggap tidak lebih dari sekedar proses doktrin politik. Menganggap satu kelompok sebagai pahlawan dan kelompok lain sebagai penjahatnya.
Sejak di bangku sekolah kita diajarkan tentang kebencian dan penghujatan terhadap aktor dalam sejarah. Ruang dialektika yang merangsang pikiran kritis anak didik menjadi mati. Kita perlu mengadakan perbaikan dalam konsep dan cara kita mengajarkan sejarah kepada generasi muda.
Generasi muda perlu dituntun untuk berpikir kritis tentang sejarah, sehingga mereka dapat mengambil nilai penting dalam pendidikan sejarah. Kualitas tenaga pengajar dan ketersediaan buku refrensi perlu ditingkatkan dan perlu menjadi perhatian khusus, terlebih di tingkat SLTA karena di usia itu adalah usia yang cukup penting dalam pembentukan pola pikir.
Kedua, saya ingin sampaikan soal politisasi Sejarah 65. Hampir setiap tahun kita mendengar peristiwa tersebut digunakan sebagai strategi politik menjelang pemilihan umum. Terutama soal ideologi komunisme yang dianggap sebagai pemicu peristiwa 65 yang berdarah.
Menuduh komunis terhadap lawan politik demi menjatuhkan elektabilitas politiknya adalah cara yang sering digunakan. Mau dilihat dari sudut manapun, hal tersebut merupakan bentuk pendidikan politik yang tidak sehat untuk dipertontonkan di ruang publik dan dikonsumsi masyarakat awam.
Yang menarik adalah cara politik semacam itu sering kali berhasil menarik dan menurunkan suara lawan politik. Jadi tidak mengherankan jika politik semacam itu terus berulang setiap tahun karena ternyata masih banyak masyarakat yang tidak mengerti agenda itu.
Menurut saya hal ini adalah salah satu bukti bahwa poin pertama di atas, tentang Pendidikan sejarah yang mendewasa benar-benar belum tercapai. Kita tidak berhasil menjadi lebih dewasa setelah membaca peristiwa 65.
Kita masih diselimuti politik kebencian dalam memahami sejarah 65. Politik kebencian inilah yang menjadi problem kita bersama dewasa ini. Jika hal ini tidak kita sadari bersama dan kita coba merubah sudut pandang kita dalam memahami sejarah, maka bukan tidak mungkin potensi konflik di Indonesia akan terus tinggi.
Kita selalu merasa takut dengan isu kebangkitan Komunisme di Indonesia. Sehingga orang-orang yang mengambil keuntungan dengan isu tersebut terus saja memunculkan isu itu setiap tahun. Jika kita generasi muda tidak tersadar dan mulai berpikir kritis memahami ini, selamanya kita akan terus dipermainkan dengan isu-isu tersebut setiap tahunnya.
Nyatanya, jika kita mau kritis, sebagai konsep kenegaraan ataupun sistem ekonomi, komunisme tidak layak dan tidak cocok untuk diterapkan di Indonesia, bukan karena peristiwa 65 yang telah melibatkan Partai komunis tetapi karena secara teoritis komunisme adalah konsep yang cacat.
Sebagai konsep berpikir, komunisme tidak akan pernah bisa kita hilangkan dari muka bumi ini karena itu berkaitan dengan karakter dan pola pikir manusia. Bahkan orang yang tidak mengenal komunispun punya kemungkinan untuk memiliki karakter dan pola pikir seperti komunis.
Sebenarnya hal yang perlu kita lakukan bukanlah menghilangkan komunisme tetapi kita perlu memperkuat pemahaman generasi muda tentang pancasila sebagai konsep berpikir dan pendidikan karakter yang kritis bukan sekedar hafalan nilai-nilai Pancasila. Jika panca sila telah dipahami betul dan diterapkan, komunisme pasti akan tergerus dengan sendirinya.
Pemerintah tidak perlu mengeluarkan tenaga yang besar untuk membendung paham komunisme atau menghilangkannya dengan penjarahan buku-buku atau tindak represif terhadap gagasan-gagasan yang dianggap mengancam pemerintahan, karena dengan sendirinya masyarakat yang memegang teguh agamanya dan memiliki cara berpikir yang kritis akan mematahkan paham komunisme di Indonesia.
Pemerintah hanya perlu menjaga agama-agama itu tetap mendapatkan keadilannya dan menjaga demokrasi dengan memberikan ruang yang cukup bagi tumbuhnya pikiran-pikiran kritis generasi muda.
Hari ini perlu menjadi perhatian pemerintah adalah menciptakan suasana politik yang lebih dewasa dan mengurangi kebijakan-kebijakan politik yang kontroversial.
Hal ini penting, karena sebenarnya yang mampu memicu munculnya paham-paham yang keras di Indonesia adalah kondisi politik yang kerap kali pemberontakan ketidakdewasaan dalam bernegara, keadilan yang makin dipertanyakan dan banyaknya kebijakan kontroversial.