Apa Hukum Mencium Istri Saat Puasa?
Kolom – Saat Ramadan, salah satu pertanyaan yang seringkali muncul dan ditanyakan adalah bagaimanakah hukum mencium istri ketika sedang berpuasa. Sebab, dari dulu hal tersebut memang memiliki banyak selisih pendapat. Ada yang mengatakan boleh namun ada juga yang jelas melarangnya.
Dirangkum dari berbagai sumber, memang ada perselisihan ulama tentang hukum mencium istri di siang hari bulan Ramadan. Di antaranya, Pendapat pertama, boleh secara mutlak.
Dikutip dari Muslim.or.id , Ibnul Mundzir rahimahullah mengutip pendapat ini dari sahabat ‘Umar bin Al-Khaththab, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Atha’, Asy-Sya’bi, Al-Hasan, Ahmad, dan Ishaq, bahwa mereka memberikan keringanan (memperbolehkan) orang yang berpuasa untuk mencium istri di siang hari bulan Ramadhan.
Hukum asal bercumbu dengan pasangan saat puasa dibolehkan dan tidak membatalkan puasa itu juga diperkuat sebuah hadits dari Aisyah:
كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وآلِهِ وَسَلَّمَ يُقَبِّلُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَلَكِنَّهُ أَمْلَكُكُمْ لِإِرْبِهِ
“Rasulullah mencium istrinya saat puasa, bercumbu dengan istrinya saat puasa. Tetapi beliau adalah orang yang paling kuat mengendalikan syahwatnya di antara kalian.” (HR. Imam Muslim)
Namun yang harus diperhatikan dalam hadits di atas adalah peringatan dari Aisyah bahwa Nabi Muhammad SAW adalah orang yang paling kuat mengendalikan syahwatnya di antara kalian. Tentu berbeda dengan umatnya di jaman millenial ini.
Di sisi lain, Pendapat Kedua, haram secara mutlak. Pendapat ini disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, dan Malik, sebagaimana dikutip oleh Ibnul Mundzir. Mereka mengatakan bahwa perbuatan tersebut akan menyebabkan rusaknya puasa, sehingga dilarang dalam rangka mencegah rusaknya puasa, lebih-lebih jika masih muda.
Hal itu diperkuat dengan Pendapat Ketiga, pendapat yang memberikan rincian tentang mengapa tidak diperbolehkan mencumbu istri saat puasa. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan juga salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Mereka mengatakan, jika perbuatan tersebut dapat membangkitkan syahwat, maka tidak diperbolehkan. Akan tetapi, apabila tidak membangkitkan syahwat, maka tidak menjadi masalah (boleh).
Dalil pendapat ini adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,
أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمُبَاشَرَةِ لِلصَّائِمِ فَرَخَّصَ لَهُ وَأَتَاهُ آخَرُ فَسَأَلَهُ فَنَهَاهُ فَإِذَا الَّذِي رَخَّصَ لَهُ شَيْخٌ وَالَّذِي نَهَاهُ شَابٌّ
“Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai cumbuan orang yang berpuasa, lalu beliau memberikan keringanan kepadanya. Dan ada orang lain datang kepada beliau dan bertanya mengenai hal yang sama, lalu beliau melarangnya. Ternyata orang yang beliau beri keringanan adalah orang yang sudah tua, sedangkan orang yang beliau larang adalah orang yang masih muda.” (HR. Abu Daud no. 2387 dan Ahmad no. 24631. Al-Albani berkata, “Hadits hasan shahih.”)
Pendapat ketiga inilah pendapat yang lebih kuat, yaitu membedakan antara yang berpotensi membangkitkan syahwat ataukah tidak, juga apakah masih muda atau sudah tua. Karena usia tua pada umumnya syahwatnya sudah lebih banyak berkurang. Inilah pendapat yang juga dipilih oleh mayoritas ulama.
At-Tirmidzi rahimahullah berkata,
“Para ulama dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbeda pendapat tentang hukum mencium istri bagi orang yang berpuasa. Sebagian sahabat memberikan keringanan (memperbolehkan) untuk mencium istri bagi mereka yang sudah berusia tua, dan tidak memberikan keringanan kepada mereka yang masih muda karena khawatir puasanya akan rusak (batal). Adapun mencumbu istri menurut mereka itu perkaranya lebih besar (dibandingkan mencium).” (Sunan At-Tirmidzi, 1: 387)
Sementara itu, NU juga sepakat bahwa pada dasarnya mencium istri tidak membatalkan puasa. Tetapi karena bisa membangkitkan nafsu, ejakulasi, dan interaksi seksual maka pembahasan hukumnya tidak bisa sederhana. Dikutip dari Nu Online, para ulama menggolongkan ciuman ke dalam perkara yang dimakruhkan dalam puasa, apabila ciuman itu membangkitkan syahwat. Kalau tidak membangkitkan syahwat, ciuman tidak dipermasalahkan, tetapi lebih baik tetap dihindari. (Al-Majmu’ Syarh Muhaddzab, VI. 354, Mughni al-Muhtaj, I, 431-436).