Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kisah Kesulitan Ibadah Haji Sebelum Abad 19

Kisah Kesulitan Ibadah Haji Sebelum Abad 19



Berita Baru, Kolom – Haji merupakan rukun Islam yang kelima. Karenanya, haji merupakan satu hal yang wajib dilakukan bagi Muslim yang memiliki kemampuan, baik secara finansial meliputi ongkos perjalanan dan ongkos untuk keluarga yang ditinggal, maupun kemampuan secara fisik berupa kesehatan yang prima.

Haji di masa lalu ini sangatlah sulit mengingat jamaah haji menghadapi berbagai aral melintang. Kesulitan ini bisa dilihat dari seluruh aspeknya, mulai waktu tempuh, biaya, proses perjalanan, dan kendala lain seperti faktor alam yang tidak menentu.

Soal waktu tempuh, tentu perjalanan haji di masa lalu membutuhkan waktu yang jauh lebih panjang. Jika hari ini dengan pesawat terbang hanya menghabiskan waktu dalam hitungan jam saja dari Indonesia ke Jeddah, perjalanan haji dahulu paling tidak menempuh waktu bulanan dengan menggunakan kapal laut.

Saking lamanya perjalanan itu, sejarahwan Asia Tenggara Eric Tagliacozzo menulis buku yang membahas mengenai perjalanan haji itu dengan judul The Loungest Journey: Southeast Asian and The Pilgrimage to Mecca (Oxford: 2013).

Dadi Darmadi dalam Jurnal Studia Islamika Volume 25, November 2018, mencatat bahwa pilihan judul buku itu yang berarti “perjalanan terjauh” ataupun “perjalanan terlama” seolah ingin menyampaikan bahwa sejarah haji yang ia tulis menggambarkan betapa jauhnya perjalanan para jemaah haji dari wilayah paling jauh dari pusat agama Islam.

Di masa sebelum abad 19, sebagaimana ditulis Prof Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008), Muslim Nusantara yang hendak berhaji biasanya menumpangi kapal dagang, bukan kapal khusus penumpang. Kapal ini akan berlayar dari Nusantara menuju Aden, sebuah kota pelabuhan di Yaman Utara. Baru selanjutnya perjalanan dilanjutkan dari Aden ke Jeddah. Perjalanan ini ditempuh dalam waktu setidaknya enam bulan. Hal ini tidak lain karena saat itu pelayaran bergantung pada faktor alam, yakni musim angin.

Mengingat kapal yang digunakan untuk perjalanan haji adalah kapal dagang, tentu sebetulnya kapal tersebut telah penuh dengan muatan dagang mereka. Tak ayal, hal tersebut menyulitkan calon jamaah haji itu bergerak. Bahkan untuk sekadar menjalankan shalat pun tidak ada tempat.

Lebih dari itu, nakhoda kapal juga ada yang tidak menaruh sikap kurang simpatik terhadap para jamaah. Bahkan ada yang sampai melakukan tindakan kekerasan fisik hingga membuang barang-barang jamaah ke laut begitu saja. Tak ayal, hal tersebut menimbulkan pertikaian hingga perkelahian.

Meskipun demikian, ada juga nakhoda kapal yang menaruh hormat kepada jamaah haji. Biasanya, yang berlaku demikian ini nakhoda kapal milik orang Arab. Hal ini tidak lain karena ada ikatan perasaan keagamaan.

Belum lagi soal buang hajat, baik hajat kecil maupun besar, yang juga sulit. Mereka terpaksa melakukannya di tempatnya bernaung. Untuk makan, para jamaah juga harus mencari dan mengurusnya sendiri saat bongkar muat barang. Dari situ sudah tampak fasilitas yang sangat tidak memuaskan. Apalagi soal kesehatan, tentu sangat jauh panggang dari api.

beras