Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Alam, Perempuan, dan Cerita di Pangkalan Budaya ke-4 Lesbumi Jember

Alam, Perempuan, dan Cerita di Pangkalan Budaya ke-4 Lesbumi Jember



Berita Baru, Jember – Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) NU Kabupaten Jember, Jawa Timur, beserta sejumlah komunitas sastra dan budaya menggelar diskusi bertajuk ‘Pangkalan Budaya’ ke-4 di Kafe Kanca Kona pada Sabtu, 5 Februari 2022.

Mengambil tema Ekofeminisme dan Ruang Gerak Perempuan Madura dalam Cerita, forum tersebut menghadirkan sejumlah sastrawan, akademisi, dan budayawan Jember, sekaligus sastrawan asal Madura, Muna Masyari, sebagai pembicara utama.

“Forum ini bertujuan untuk melihat sejauh mana karya sastra kita, utamanya yang dihasilkan oleh penulis asal Madura, membicarakan relasi perempuan, alam dan eksploitasi terhadap keduanya,” ujar Siswanto, Ketua Lesbumi Jember.

Ia menambahkan, rupanya cukup sulit mencari karya sastra penulis Madura yang secara spesifik mengusung tema itu. Sejauh ini, ia mengaku baru menemukannya dalam cerpen-cerpen karya Muna Masyari dan Nurillah Achmad. Utamanya, tampak pada konflik yang diusung cerpen berjudul Pamengkang karya Muna Masyari (Kompas, 7 November 2021).

Yang menarik, Muna Masyari justru menyilakan pembaca merepresentasikan cerpen itu dari berbagai sudut pandang. Pasalnya, ia secara spesifik justru tidak bermaksud sejauh itu dengan mengusung semangat ekofeminisme dalam karyanya.

“Terkadang representasi pembaca memang bisa lebih luas dibanding niat penulis, saya sendiri, dalam cerpen itu, sebenarnya ingin menuliskan bagaimana kapitalisme telah menancap sebegitu dalamnya sehingga orang-orang kini memandang ‘tanah’ dari sisi materi saja, tak lagi sebagai hal yang turut menkontruksi identitas dan budayanya,” ujarnya.

Di sisi lain, ekofeminsime sebagai bagian dari gerakan feminisme, kata Saras Dewi, aktivis dan dosen Filsafat Universitas Indonesia dalam sebuah forum diskusi daring yang digagas Magdalena pada 23 Januari 2020 lalu, memang berupaya menunjukkan hubungan antara eksploitasi serta degradasi lingkungan hidup dan subordinasi dan opresi terhadap perempuan.

“Perempuan merupakan korban dari suatu sistem yang bertumpu pada ketimpangan dan eksploitasi. Demikian juga yang terjadi pada alam, gerakan ekofeminisme di dunia muncul sebagai reaksi protes terhadap ketimpangan itu,” ujar penulis Sembahyang Bhuvana itu.

Senada dengan Muna Masyari, pada dasarnya Nurillah Achmad juga tidak bermaksud sejauh itu dengan mengusung spirit ekofeminisme dalam karyanya. Menurutnya, ia hanya ingin menuliskan kegelisahannya mendapati eksploitasi lingkungan di sekitarnya.

“Apakah kemudian karya saya bisa dikategorikan sebagai bagian dari gerakan ekofeminsime, saya bersyukur, hanya, saya ingin menuliskan kegelisan mendapati ekspolitasi terhadap alam di sekitar saya,” ujarnya.

Gus Ali, sastrawan sekaligus CEO penerbit Buku Inti, memandang lepas dari apapun istilah yang disematkan kepada cerpen-cerpen karya Muna Masyari dan Nurillah Achmad, gagasan dan cara penyampaian yang ditawarkan keduanya sangat menarik dan turut memperkaya penulisan cerpen di Indonesia.

“Bukan hanya memandang perempuan dan alam sebagai korban ketimpangan sistemik, tapi juga mencatat perlawanannya. Narasi ini harus terus dicari dan dibangun,” ujarnya. (*)

beras