Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Anak-anak Sampah, Mengais Sisa-sisa ke-JAYA-an
Ilustrasi Foto: konfrontasi.com

Anak-anak Sampah, Mengais Sisa-sisa ke-JAYA-an



ANAK-ANAK SAMPAH
“Mengais sisa-sisa ke-JAYA-an“

oleh: Muhammad Nur Wahid

Aku pernah mendengar cerita dari orang-orang kulit putih macam Duerte Barbosa yang seorang Portugis itu, bahwa dulu orang-orang bumi putra adalah pelaut yang tangguh. Antonio van Diemen, Gubernur Jendral Hindia Belanda di Jawa pada tahun 1638 menulis dalam laporannya bahwa pernah suatu ketika kapal-kapal dagang besar bumi putra dari Banten dan Mataram mampu meloloskan diri dari blokade Hindia Belanda di Indonesia Timur.

Bahkan jauh sebelum itu, Willem Lodewijcksz, penulis kisah pelayaran pertama bangsa Belanda ke wilayah Hindia Timur di bawah pimpinan Cornelis de Houtman pada tahun 1595-1597, mengatakan bahwa orang-orang bumiputra memperkerjakan orang-orang india dan gujarat sebagai awak kapal.

Dari situ aku menangkap bahwa bangsaku bukanlah bangsa rendahan macam yang sering orang kulit putih tuduhkan. Bahkan bangsa penjajah itu sendiri yang mengatakan bahwa orang bumiputra adalah bangsa yang besar dan kaya. Tom Pires, dalam laporannya yang ia tulis pada tahun 1512-1515 dengan jujur mengatakan, bahwa orang-orang bumiputra yang tinggal jauh di pedalaman memiliki kekayaan yang tiada habisnya. Kekayaan ini yang kemudian mengundang bangsa kulit putih untuk menguasainya, yaitu rempah-rempah. Dan orang-orang pesisirlah yang mengenalkan kekayaan itu dengan menjajakannya di kota-kota pelabuhan. Termashurlah rempah-rempah. Tergodalah orang-orang kulit putih untuk merampasnya dari orang-orang bumiputra.

Lalu aku berpikir. Dalam diamku. Dalam keterbatasanku. Akankah aku bisa menggenggam kembali semua itu. Kini bumiputra sedang terjajah. Terjajah untuk kedua kalinya. Setelah berabad-abad lamanya negri ini dikuasi Belanda dan sempat sebentar ditindas Jepang. Kini kami kembali terjajah dan kehilangan segalanya.

Gunung tinggi menjulang menyimpan emas dan kekayaan lainnya berupa air, kayu, batu, dan masih banyak lagi. Namun tak satupun kami orang pribumi menikmatinya. Emas itu telah diborong oleh orang-orang asing kenegerinya masing-masing. Mereka menjadi kaya, sementara kami tetap saja miskin. Pohon-pohon hutan telah banyak habis ditebang. Diangkutnya keluar negeri dan dijual kembali kepada orang bumiputera. Bahkan airpun mereka bawa pulang kenegaranya dan dijajakan kembali di negri ini dengan mahal. Mereka menjual kembali ke negeri dimana mereka menjarahnya dari tangan bumiputra.

Rasa-rasanya udara negeri ini semakin membuatku sesak nafas karena penuh dengan tangis kepedihan dan jerit rintih bumiputra yang kelaparan. Aku masih berusaha berdiri tegak menengadah langit yang semakin congkak. Semburat merah menghajar langit timur sedari tadi mentertawakan nasibku. Ayam jantan berkokok untuk membangunkan sebagian kaum bumiputra yang tertidur.

“Ketahuilah, matahari bukan terbit karena ayam jantan berkokok, akan tetapi ayam jantan berkokok karena matahari telah terbit”, kata lelaki tua dengan songkok hitam miring di kepala. Entah darimana datangnya, aku sendiripun tidak tahu. Ia tiba-tiba muncul begitu saja. Namun suara parau itu cukup menamparku dari tidur yang teramat panjang. Yang aku ingat bahwa kata-kata itu mirip sekali dengan apa yang pernah diucapkan oleh Putra Sang Fajar.

Di atas tumpukan sampah sisa-sisa kejayaan masa lalu aku berteriak membentak langit, “Berhentilah kau mengirim mendung, walau ia datang dengan membawa hujan. Benarlah bila hujan menawarkan kesejukan bagi tanah-tanah gersang dan ranting-ranting kering. Benarlah hujan mengundang pelangi yang melengkung indah bagai jembatan bidadari. Namun niat baikmu itu justru mengundang kaum penjajah untuk terus menjarah kekayaan alam bumi pertiwi. Hentikan wahai langit, subur bumiku bukan untuk kaum bumiputera, subur bumiku untuk tuan-tuan di negri nan jauh disana. Kami, kaum bumiputra hanya mendapat sampah sisa-sisa”.

Langit terlihat murka. Wajahnya muram, kemudian ia kumpulkan hitam. Gemuruh angin menyapu ranting dan daun-daun kering. Guntur menggelegar, itulah murka langit yang perkasa.

“Berhentilah memaki langit nak. Bukan ia yang harusnya kau persalahkan, tapi kenapa kau dan kaummu yang harusnya bangkit dan melawan malah diam mematung pasrah”, kata lelaki tua itu membentak.

Awan mendung memanggil hujan. Jatuhlah butiran air mengisi botol-botol kosong yang berserak tak beraturan. Kantong-kantong plastik terisi penuh dengan air langit. Sungai-sungai kecil tercipta seketika. Tanpa hulu, tanpa muara. Mengalir begitu saja menyusuri gunungan sampah. Tak ada bukit hijau, yang ada hanya lereng yang penuh sampah sisa-sisa.

Gubukku yang sempit terasa semakin menghimpit karena penuh sesak dengan barang-barang rongsokan. Aku berteduh dari kemarahan langit. Ia menghajarku dengan gemuruh air yang terus menerpa atap reot terbuat dari seng bekas. Sesekali guntur menyambar, seolah ingin menegaskan bahwa murka langit benar dan nyata adanya. Tiba-tiba aku teringat dengan pak tua itu. Dimana dia. Menghilang begitu saja. Perlahan aku tengok keluar, dan tak ketemui batang hidungnya.

Malam semakin malam. Gelap semakin mencekam. Tak ada rembulan. Tak ada semburat bintang. Yang ada hanya nyanyian kodok di sela-sela tumpukan plastik sisa-sisa kejayaan. Kini yang bisa kulakukan hanya menunggu pagi. Menanti semburat merah sinar mentari. Dimana harapan itu lahir kembali. Meskipun harus mengais sisa-sisa, namun setidaknya aku masih bisa bertahan dalam gersangku.

Dalam gelapku, dalam kesendirianku, dalam lamunanku, dalam mimpiku, dalam gundahku, dalam gersangku, aku kehilangan Tuhan. Dan pak tua itu kembali muncul dengan tiba-tiba. Songkoknya masih saja miring kekiri. Namun tubuhnya tak terlihat basah. Aku mengusap mata seakan tak percaya. Mungkin ia bukan dari golongan manusia. Tak berucap sepatah katapun ia langsung meraih tanganku. Menyeretku keluar dari gubuk reot yang sudah mau roboh ini. Tubuhku basah dihajar air hujan. Aku menggigil kedinginan. Anehnya, aku pasrah tanpa perlawanan.

“Bangun, kemerdakaan republik ini tidak diraih dengan tidur”, bentak lelaki tua itu.

Dengan sedikit sadarku. Kubuka mata dengan perlahan. Kulihat disekitar. Tak ada hujan. Namun sampah dimana-mana. Puntung rokok jatuh tak pada tempatnya. Kertas-kertas semburat takberaturan. Bantal dan guling keluar dari orbitnya. Buku-buku berserakan seolah telah habis pesta literasi. Hanya selimut yang menempel erat pada tubuh ini.

Dengan merampas selimutku, lelaki tua itu berkata, “Jalan revolusi adalah bangkit dan melawan. Bangkit dan bangunlah. Lawan kemalasanmu. Matahari sudah mulai meninggi. Sebentar lagi sinarnya akan semakin cerah. Bangun dan bangkitlah, segeralah menghadap Tuhanmu”.

Kini tak ada lagi penghalang. Hangat itu hilang seketika. Dingin menembus kulit hingga ketulang. Aku terbangun dari tidur panjang. Kuseret tubuh malas ini. Kubasuh mukaku dengan air wudlu. Ku ajak ia bersujud menghadap Tuhanku. Tuhan yang menciptakan siang dan malam.

Aku teringat nasehat orang tua itu. Ia adalah bapak dari ayahku. Ia pernah berkata kepadaku tentang sisa-sisa kejayaan masa lampau. Sisa-sisa kejayaan keluarga kami. Dalam satu kesempatan ia bertutur, “Dulu kita pernah kaya, dan sekarang menjadi miskin. Sebab apa? Sebab petani tidak boleh hidup direpublik ini”.

Belakangan aku baru paham setelah melihat gedung tinggi diseberang jalan sana. Itu dulu sawah keluarga kami. Kini tanah yang dulu menjadi sumber penghidupan kami, harus disulap menjadi gedung perkantoran megah plat merah. Tanah itu dirampas paksa dengan ganti rugi yang sangat murah. Kakek harus menjualnya karena tidak ingin dituduh anti pembangunan.

Sebagai kompensasinya keluarga kami dipekerjakan disana. Sebagai pegawai rendahan. Karena kakek sudah terlalu tua untuk itu maka bapak yang menggantikannya. Beliau ditempatkan dibagian administrasi umum, sebagai juru ketik. Mendapat gaji tetap. Meski itu jauh dari kata cukup mengingat biaya hidup terus meningkat. 

Kini tak ada lagi panen, penantian itu sekarang berganti nama menjadi “gajian”. Dalam resahku, setelah sujud kepasrahanku. Aku berdo’a kepada Tuhan. Agar “panen” tetap menjadi “panen”. Dan “panen” tak berubah menjadi “gajian”. Bukan sampah yang kami inginkan. Bukan limbah yang kami harapkan. Namun rumah produksi besar dimana kita, kaum bumiputra menjadi tuan. Rumah produksi itu bernama sawah milik kami sendiri. Bukan gedung tinggi dan pabrik-pabrik milik majikan yang datang belakangan dan menjarah kekayaan bumi pertiwi.

Anak-anak sampah. Hanya mendapat limbah. Sampah pembangunan dan limbah kesrakahan. Sampai kapan kami seperti ini. Menjadi kacung dirumah sendiri. Mungkin sampai nanti. Sampai kami benar-benar mampu berdiri dibawah kaki sendiri. Dan keberanian itu yang akan mengusir para penjajah untuk tidak lagi membuang sampah produksinya disini. Di negri yang katanya gemah remah ripah loh jinawi.

Dalam resahku, dalam sujud kepasrahanku. Aku berdo’a kepada Tuhan. Berilah kami kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan. Kekuatan untuk lepas dari jerat penindasan. Dalam resahku, dalam sujud kepasrahanku. Aku memohon kepada Tuhanku. Semoga esok akan datang pagi yang cerah. Pagi dimana semua harapan itu ditumpukan. Saat semburat merah dilangit telah pecah menjadi biru terang tanpa awan hitam. Disanalah anak-anak sampah akan kembali kejalanan. Bukan untuk mengais kantong-kantong plastik dan botol-botol kosong. Tapi mendayung perahu menuju pulau impian. Pulau dimana bumiputra bisa menjala ikannya dengan murah tanpa menunggu bantuan subsidi BBM. Pulau dimana padi-padi menguning tanpa campur tangan pemerintah dengan bantuan pupuk murah.

Dalam resahku, dalam sujud kepasrahanku. Aku berdo’a kepada Tuhanku. Kami generasi patah hati yang tak ingin mati sebagai budak manusia. Kami adalah orang-orang yang merdeka. Tak ada seorangpun yang berhak menjajah kami. Kecuali Tuhan yang menguasai hidup mati. Dalam resahku setelah sujud panjangku. Aku menanti diujung pagi. Meninggalkan malam yang gelap untuk menyambut sinar merah Bathara Surya. Sinar yang membawa sejuta harapan kemenangan untuk kami. Kaum bumiputra.

beras