Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Apa Arti Makna Kemenangan Sejati? Sebuah Refleksi Pikiran, Perilaku, dan Tindakan yang Sejalan

Apa Arti Makna Kemenangan Sejati? Sebuah Refleksi Pikiran, Perilaku, dan Tindakan yang Sejalan



oleh: Samsul Hadi


Hari Kemenangan, atau yang kita kenal sebagai Idul Fitri, selalu menjadi momen paling dinanti oleh umat Muslim. Kenapa? Selain jadi ajang silaturahmi dan makan jajanan sepuasnya, ini juga hari di mana kita merayakan keberhasilan menjalani ibadah Ramadan di bulan penuh perjuangan, baik lahir maupun batin.

Seperti yang sering kita dengar dari para ustaz dan ulama, Idul Fitri adalah kemenangan setelah sebulan penuh melatih diri dalam ibadah, menahan lapar, haus, dan segala godaan duniawi. Konon katanya, setelah Ramadan, kita kembali suci seperti bayi yang baru lahir. Eits, tapi jangan salah paham! Suci di sini bukan berarti bisa bebas berbuat seenaknya lagi, bukan? Hahaha.

Sebelum kita terlalu larut dalam euforia lebaran, yuk kita ingat kembali pelajaran berharga dari Ramadan. Ada tiga fase penting dalam bulan penuh berkah ini.

Sepuluh hari pertama, Allah SWT melipatgandakan pahala bagi mereka yang bersungguh-sungguh beribadah. Jadi, kalau kemarin kita rajin tarawih dan tadarus, semoga pahalanya sudah terkumpul banyak! Hahaha. Selanjutnya, Sepuluh hari kedua, Allah SWT menurunkan rahmat-Nya sebagai bentuk kasih sayang kepada hamba-Nya yang terus berbuat baik dan memperbaiki diri. Sepuluh hari terakhir, Inilah momen puncak, di mana Allah SWT memberikan maghfiroh ampunan bagi mereka yang benar-benar bertaubat.

Setelah sebulan penuh latihan ini, pertanyaannya: Bagaimana dengan sebelas bulan berikutnya? Seharusnya kita menjadi pribadi yang lebih baik, bukan hanya dalam hubungan dengan Tuhan, tapi juga dengan sesama manusia. Seperti yang pernah dikatakan oleh Gus Mus, seorang Muslim itu harus shaleh secara spiritual dan juga shaleh secara sosial. Nah, apakah kita bisa? Tentu saja bisa!

Karena ibadah di bulan Ramadan bukan sekadar melatih diri secara spiritual, tapi juga sosial. Dengan zakat, kita belajar berbagi dengan mereka yang membutuhkan. Dengan puasa, kita ikut merasakan bagaimana kehidupan orang-orang yang serba kekurangan, sehingga tumbuh empati dalam diri kita.

Tapi setelah Ramadan berlalu, apakah kita masih peduli dengan sesama? Apakah kita tetap ingat berbagi, menjaga lisan, dan menahan diri dari kebiasaan buruk? Jangan dijawab dulu, cukup direnungkan di hati, ya.Hahaha. Atau justru setelah lebaran, kita kembali ke setelan pabrik seperti awal lagi sebelum ramadhan. menjadi pribadi yang serakah, egois, dan individualis?

Lantas, Apa Makna Kemenangan Sejati?

Kalau kita pikir lebih dalam, kemenangan Idul Fitri bukan sekadar tentang diri kita yang kembali “bersih”, tapi juga tentang bagaimana kita menerapkan nilai-nilai Ramadan dalam kehidupan sosial.

Namun, realitas saat ini berkata lain. Kita sering dipertontonkan dengan kondisi yang jauh dari ideal. Banyak kebijakan yang membingungkan, bahkan merugikan rakyat. Transparansi dalam pemerintahan masih dipertanyakan. Ketika masyarakat ingin menyuarakan pendapat, justru yang terjadi adalah tindakan represif. Belum lagi, kasus korupsi yang terus bermunculan, seperti sinetron tanpa akhir. Bukan bercanda, ya. Ini adalah kenyataan yang pahit.

Jadi, kemenangan apa yang sebenarnya kita rayakan? Apakah kita benar-benar menang, atau hanya merasa menang sesaat? Apakah kemenangan ini nyata, atau hanya kemenangan ilusi? Mungkin refleksi terbaik setelah Idul Fitri adalah bagaimana kita bisa menjadikan nilai-nilai Ramadan sebagai prinsip hidup. Kemenangan sejati bukan hanya soal spiritualitas pribadi, tapi juga tentang bagaimana kita menjadi shaleh sosial, membangun kesadaran dan kepedulian untuk kebaikan bersama.

Setelah ini, kita mau tetap menang dalam arti sebenarnya, atau hanya sekadar merayakan kemenangan yang semu? Lantas, perjuangan seperti apa yang harus kita jalankan? Jangan lupa, kemenangan bukan berarti pesta pora, belanja baju baru, menikmati makanan lezat, atau saling mencari validasi atas pencapaian individu.

Perlu di ingat kita ini bukan hanya ditugaskan untuk ibadah vertikal saja, tapi juga sebagai Khalifah fil Ardli yakni pemimpin di muka bumi yang bertanggung jawab serta memberi kasih sayang kepada seluruh makhluk. Kemenangan tidak cukup jika hanya dimaknai secara individual sekadar menahan hawa nafsu dan meningkatkan ketakwaan. Lebih dari itu, kita juga harus bertanggung jawab atas peran kita sebagai pemimpin di bumi ini.

Jalan menuju kemenangan sejati bukan hanya dengan menjalankan ritual keagamaan, tetapi juga dengan kesadaran berpikir kritis dan logis dalam memahami realitas sosial yang sedang mencengkram rakyat. Jadi, setelah Idul Fitri ini, kita mau menjadi bagian dari perubahan atau tetap berpuas diri dengan kemenangan yang semu?

Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamit Tharieq

beras