Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

RUU Cipta Kerja telah disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna yang digelar pada Senin (5/10/2020) di Gedung Parlemen Kompleks DPR RI, Senayan Jakarta. Senin (5/10/2020). (istimewa
RUU Cipta Kerja telah disahkan menjadi Undang-Undang dalam rapat paripurna yang digelar pada Senin (5/10/2020) di Gedung Parlemen Kompleks DPR RI, Senayan Jakarta. Senin (5/10/2020). (Istimewa)

Bagaimana Pembentukan UU Menurut Konstitusi?



Kolom Pembentukan undang-undang merupakan suatu bagian untuk mengatur aktivitas masyarakat yang terdiri atas gabungan individu-individu manusia dengan segala elemen yang terdapat di dalamnya untuk merancang dan membentuk undang-undang yang dapat diterima masyarakat luas tanpa adanya konflik merupakan suatu kesulitan dimana kesulitan ini terletak pada kenyataan bahwa kegiatan pembentukan undang-undang adalah suatu bentuk komunikasi antara lembaga yang menetapkan yaitu pemegang kekuasaan legislatif dengan rakyat dalam suatu negara.

Dalam prosesnya sendiri terkait pembentukan undang- undang terdapat suatu penyesuaian antara visi, misi dan nilai yang diinginkan oleh lembaga pembentuk undang-undang dengan masyarakat dalam suatu bentuk aturan hukum.

Pembentuk undang-undang sejak awal proses perancangan, perencanaan dan pembentukan telah dituntut agar undang-undang yang dihasilkan nantinya mampu mengakomodir segala aspek kebutuhan masyarakat.

Pertama, mampu dilaksanakan; kedua, dapat ditegakkan; ketiga, sesuai dengan prinsip- prinsip, kemanfaatan hukum, kepastian hukum, jaminan hukum dan persamaan hak-hak sasaran yang diatur; dan keempat, mampu menyerap aspirasi masyarakat.

Selain berbagai kesulitan tersebut, pembentuk undang-undangan juga selaras dengan adanya dinamika perkembangan masyarakat yang terus berubah sesuai dengan nilai-nilai yang dianggap baik oleh masyarakat.

Jadi, pembentukan undang-undang sebagai bagian dari proses pembentukan sistem hukum yang lebih luas tidaklah statis, tetapi mengalami dinamika perubahan.

Secara mendasar terletak juga kesulitannya pada permasalahan struktural dan kultural yang multi dimensi. Padahal pembentukan undang-undang ini sekarang dan di masa yang akan datang akan terus mengalami peningkatan sebagai respon atas tuntutan masyarakat seiring dengan bertambah kompleksnya perkembangan dan kondisi masyarakat.

Pembentukan Undang-Undang terpadat pada Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang (UU) ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Selanjutnya, di dalam Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 diatur bahwa setiap Rancangan Undang-Undang (RUU) dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Proses pembentukan UU diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011) sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 15/2019).

Selain itu, proses pembentukan UU juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) dan perubahannya.

Kesinambungan dari pembentukan undang-undang yang partisipatif itu sendiri terdapat dua makna yaitu proses dan substansi.

Proses adalah mekanisme dalam pembentukan undang-undang yang harus dilakukan secara transparan sehingga masyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukan-masukan dalam mengatur suatu persoalan.

Substansi adalah materi yang akan diatur harus ditujukan bagi kepentingan masyarakat luas sehingga menghasilkan suatu undang-undang yang demokratis berkarakter responsif/populistis.

Dengan demikian, antara partisipasi, transparansi dan demokratisasi dalam pembentukan undang-undang merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan dalam suatu negara demokrasi.

Adanya partisipasi masyarakat ini tidak dapat dihiraukan tanpa adanya tanggapan apapun oleh lembaga legislatif.

Terlebih lagi dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang salah satu kewenangannya adalah melakukan pengujian terhadap undang-undang, maka partisipasi masyarakat akan menjadi lebih bermakna.

Masyarakat yang kepentingannya merasa dirugikan oleh adanya undang-undang dapat mengajukan tuntutan pengujian terhadap suatu undang-undang.

Seperti apa alur pembuatan sebuah undang-undang?

Undang-undang Dasar 1945 pasal 20 ayat 1 menyebut bahwa, kekuasaan untuk membentuk UU ada di Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian di pasal 20 ayat 2 disebutkan bahwa setiap rancangan UU (RUU) dibahas oleh DPR bersama Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Untuk proses pembentukan undang-undang diatur dalam Undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan pasal 16 sampai 23, pasal 43 sampai 51 dan pasal 65 sampai 74. Berdasar ketentuan tersebut seperti inilah proses pembentukan sebuah undang-undang.

1. Sebuah RUU bisa berasal dari Presiden, DPR atau DPD.
2. RUU yang diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga terkait.
3. RUU kemudian dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) oleh Badan Legislasi DPR untuk jangka waktu 5 tahun.
4. RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan Naskah Akademik kecuali untuk RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.
5. Pimpinan DPR mengumumkan adanya usulan RUU yang masuk dan membagikan ke seluruh anggota dewan dalam sebuah rapat paripurna.
6. Di rapat paripurna berikutnya diputuskan apakah sebuah RUU disetujui, disetujui dengan perubahan atau ditolak untuk pembahasan lebih lanjut.
7. Jika disetujui untuk dibahas, RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.
8. Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus.
9. Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapat paripurna yang berisi: penyampaian laporan tentang proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan Tingkat I; pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan pendapat akhir Presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya.
10. Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak
11. Bila RUU mendapat persetujuan bersama DPR dan wakil pemerintah, maka kemudian diserahkan ke Presiden untuk dibubuhkan tanda tangan. Dalam UU ditambahkan kalimat pengesahan serta diundangkan dalam lembaga Negara Republik Indonesia.
12 Dalam hal RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak RUU disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui UU adalah:

  1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;
  2. perintah suatu UU untuk diatur dengan UU;
  3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;
  4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau
  5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Dalam UU 12/2011 dan perubahannya, proses pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 16 UU 12/2011 s.d. Pasal 23 UU 15/2019Pasal 43 UU 12/2011 s.d. Pasal 51 UU 12/2011, dan Pasal 65 UU 12/2011 s.d. Pasal 74 UU 12/2011. Sedangkan, dalam UU MD3 dan perubahannya, pembentukan UU diatur dalam Pasal 162 UU MD3 s.d. Pasal 173 UU MD3.

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, proses pembentukan undang-undang sebagai berikut:

  1. Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang disusun oleh DPR, Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”), dan pemerintah untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU.
  2. RUU dapat berasal dari DPR, presiden, atau DPD.
  3. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali untuk RUU anggaran pendapatan dan belanja negara, RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perpu”) menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.
  4. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi.
  5. RUU yang diajukan oleh presiden diajukan dengan surat presiden kepada pimpinan DPR dan usulannya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
  6. Materi muatan RUU yang diajukan oleh DPD serupa dengan yang dapat diajukan oleh presiden yang telah diterangkan di atas. RUU tersebut beserta naskah akademiknya diajukan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.
  7. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.
  8. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus.
  9. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
  10. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang berisi:
    • penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;
    • pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
    • pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugaskan.
  11. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.
  12. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan presiden diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
  13.  Apabila pembahasan RUU telah memasuki pembahasan daftar inventarisasi masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.

Bentuk-Bentuk Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan UU

Masyarakat baik secara individual maupun kelompok yang menyampaikan aspirasinya guna mempengaruhi proses pengambilan kebijakan publik di lembaga perwakilan. Sikap masyarakat ini dapat berupa dukungan, penolakan maupun masukan terhadap suatu RUU. Dukungan masyarakat adalah suatu sikap setuju dengan langkah yang diambil oleh partai politik dalam memperjuangkan aspirasinya dalam suatu UU. Penolakan masyarakat adalah sikap ketidaksetujuan terhadap adanya suatu UU karena tidak sesuai dengan aspirasi yang diinginkannya.

Sementara itu masukan masyarakat adalah berbagai pemikiran yang disumbangkan dalam rangka memperbaiki dan menyempurnakan suatu RUU. Ada enam bentuk partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU yang ditemukan dalam penelitian yaitu: 1) usulan dibuatnya UU; 2) penyampaian RUU alternatif; 3). tanggapan tertulis berupa opini, kritik maupun masukan terhadap RUU; 4) penolakan atau dukungan terhadap RUU; 5) penyampaian aspirasi/permasalahan berkaitan dengan RUU; 6) poster-poster dalam unjuk rasa baik dukungan maupun penolakan.

Partisipasi yang Harus dilakukan Masyarakat Pada Tahapan Pembentukan UU

Proses pembentukan UU pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu : tahap ante legislative, tahap legislative dan tahap post legislative. Dimana masyarakat dapat berpartisipasi pada tahap perencangan, perencanaan, hingga tahap pembentukan.

Dalam tiga tahap tersebut, pada dasarnya masyarakat dapat berpartisipasi memberikan masukannya sesuai dengan keinginannya. Masyarakat dapat berpartisipasi pada seluruh tahapan proses pembentukan UU maupun memilih salah satu tahapan saja.

Sehingga perlu adanya suatu tatanan yang seimbang antara kekuasaan legislatif dengan tuntutan transparansi, partisipatif dan demokratisasi, undang-undang yang dihasilkan akan tetap kurang responsif. Hasil yang dicapai tidak akan dapat secara optimal menampung berbagai kepentingan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

beras