Bahas 222 Puisi Maritim, HISKI Komisariat Universitas Negeri Jakarta Gelar Tukar Tutur Antologi Puisi Tarian Laut
Berita Baru, Jakarta — Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat UNJ bekerja sama dengan Universitas Negeri Malang, Universitas Khairun, Universitas Indonesia, dan Tribun Network gelar Tukar Tutur buku antologi puisi “Tarian Laut” pada hari Rabu, (22/2/2023).
Disiarkan langsung via YouTube oleh Tribun Network, bincang buku tersebut menghadirkan tiga narasumber sekaligus kurator, yaitu Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. (Universitas Negeri Malang), Prof. Dr. Gufran Ali Ibrahim, M.S. (Universitas Khairun), Prof. Manneke Budiman, M.A., Ph.D. (Universitas Indonesia) dan Dr. Endah Imawati, M.Pd. (Tribun Network).
Buku antologi puisi Tarian Laut ini berisi 222 puisi dengan tema dan topik kemaritiman, dieditori oleh Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum., Dr. M. Yoesoef, M.Hum., Dr. Ida Nurul Chasanah, M.Hum., dan Sudartomo Macaryus, M.Hum.
Pada akhir pengantarnya, tim editor menyampaikan, “Puisi adalah samudra kata. Indah, kaya, dinamis, dan memesona. Berlaksa keindahan tersimpan dalam samudra kata. Berlaksa pesona terpatri dalam gelombang kata. Samudra kata mengenergi menggenangi pembaca. Dua ratus dua puluh dua genangan, menyatu dalam samudra raya kata. Samudra raya kata ini merepresentasikan kehadiran bersama di hamparan taman samudra Nusantara yang kaya dan memesona.”
Juri pertama, Manneke mengatakan bahwa kebanyakan penulis masih memersepsikan laut dalam konteks yang lebih kultural daripada bersifat politis. “Secara kultural kita menyadari laut, secara politis tidak ada keberpihakan perasaan kepada laut,” ujarnya.
Manneke menambahkan bahwa kebanyakan penulis masih dalam taraf mencelupkan jari (masih memunggungi) dan belum mengarungi lautan.
“Tetapi secara umum, 222 sajak yang ada semuanya memperlihatkan adanya ikhtiar yang dilandasj oleh keinginan kuat untuk kembali menyambung relasi dan bercakap dengan laut. Meskipun cara-caranya masih gamang, dan perlu ada artikulasi yang kuat,” tambahnya.
Sementara itu, Gibra mengungkapkan setiap penulis memiliki tingkat pencapaian puitika masing-masing. “Saya memosisikan diri sebagai pembaca sebagaimana pada teori resepsi sastra. Pilihan-pilihan frasa dan kata mengupayakan terciptanya imaji,” ujarnya.
Lebih lanjut, juri ketiga, Djoko Saryono menjelaskan bahwa masih banyak kegagapan orang daratan memandang laut ke dalam puisi.
“Orang-orang agraris yang memandang laut dengan perasaan cemas dan eksopis. Meskipun namanya puisi maritim, mereka belum semuanya melihat laut secara positif. Meskipun yang dibicarakan laut, tetapi diksi dan metafor yang dipakai cenderung bahasa orang daratan,” terangnya.
Djoko Saryono melanjutkan bahwa masih banyak penulis yang memakai mitos-mitos orang daratan dalam puisi lautan. “Ke depan, kita harus membalik paradigma. Ini tidak mudah dan perlu waktu panjang untuk menginternalisasi perasaan laut,” tuturnya.
Djoko Saryono juga menambahkan bahwa dari 10 puisi telah dipilih 5 yang menurut para juri sudah berhasil menceburkan diri dalam dunia maritim dan menampik dunia daratan.
Selanjutnya, Manneke sebagai pembaca 5 puisi terbaik tersebut mengatakan bahwa puisi-puisi yang terpilih sudah berhasil bahkan melampaui dunia maritim.
“Lima puisi yang telah dipilih melalui proses baca cermat para juri ini mampu membangun dialog intens dengan laut dan mampu membuka pintu kesadaran dan pengetahuan tentang laut. Kelima puisi terpilih adalah “Anak Bajo di Buku Sekolah” oleh Ari Ambarwati, “Kelomang Bercangkang Plastik” oleh Dina D. Kusumayanti, “Pou Hari” oleh Sastri Sunarti, “Di Pantai Ini” oleh I Gusti Ayu Agung Mas Triadnyani, dan “Tetototame” oleh Sri Yono,” pungkasnya.
Mengakhiri “Tukar Tutur”, Prof. Manneke Budiman membacakan puisi karya Ari Ambarwati berjudul “Anak Bajau di Buku Sekolah” yang mememberikan kejutan estetis.