Begini Makna Filosofis Ketupat
Kolom – Ketupat identik dengan hari raya Lebaran. Meski sehari-hari mudah ditemukkan di pasaran, tapi seolah kurang afdol jika Lebaran tiada makanan yang dibungkus daun kelapa muda tersebut. Namun bagaimana sebenarnya makna yang terkandung?
Kata “ketupat” atau “kupat” berasal dari kata bahasa Jawa “ngaku lepat” yang berarti “mengakui kesalahan”. Sehingga dengan ketupat sesama Muslim diharapkan mengakui kesalahan dan saling memaafkan serta melupakan kesalahan.
Bungkus yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolak bala bagi orang Jawa. Sedangkan bentuk segi empat mencerminkan prinsip “kiblat papat lima pancer” yang bermakna bahwa ke mana pun manusia menuju, pasti selalu kembali kepada Allah SWT.
Rumitnya anyaman bungkus ketupat mencerminkan berbagai macam kesalahan manusia. Sedangkan warna putih ketupat ketika dibelah dua mencerminkan kebersihan dan kesucian setelah mohon ampun dari kesalahan. Beras sebagai isi ketupat diharapkan menjadi lambang kemakmuran setelah hari raya.
Pada masa lalu, terdapat tradisi unik yang berbau mistis, tetapi kini sudah jarang ditemukan. Ketupat dianggap sebagai penolak bala, yaitu dengan menggantungkan ketupat yang sudah matang di atas kusen pintu depan rumah, biasanya bersama pisang, dalam jangka waktu berhari-hari, bahkan berbulan-bulan sampai kering.
Biasanya, ketupat disajikan bersama opor ayam dan sambal goreng. Ini pun ternyata ada makna filosofisnya. Opor ayam menggunakan santan sebagai salah satu bahannya. Santan, dalam bahasa Jawa disebut dengan santen yang mempunyai makna “pangapunten” alias memohon maaf.
Saking dekatnya kupat dengan santen ini, ada pantun yang sering dipakai pada kata-kata ucapan Idul Fitri: mangan kupat nganggo Santen, menawi lepat nyuwun pangapunten (makan ketupat pakai santan, bila ada kesalahan mohon dimaafkan).