Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Bergandengan Tangan, Menekan Kasus Pernikahan Dini dan Kekerasan Seksual di Jatim
Pelatihan Implementation and Enforcement of Laws; Norms and Value; Safe Environtments; Parent and Caregiver Support; Income and Economic Strengthening; Response and Support Services; Education and Life Skills (INSPIRE). (Dok. Foto: Beritabaru.co)

Bergandengan Tangan, Menekan Kasus Pernikahan Dini dan Kekerasan Seksual di Jatim



Berita Baru, Surabaya – Kasus Kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia bak fenomena gunung es. Catatan yang dirilis Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tanggal 8 Maret 2022, ada 338.496 laporan kasus kekerasan berbasis gender (KBG) terhadap perempuan yang terverifikasi sepanjang tahun 2021. Angka ini meningkat sekitar 50 % dari laporan tahun 2021 yang berjumlah 226.062 kasus.

Sedangkan catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia pelanggaran hak anak pada tahun 2021 juga masih cukup tinggi. Berdasarkan data pengaduan masyarakat, pada tahun 2019 terdapat 4.369 kasus, pada 2020 ada 6.519 kasus dan 2021 mencapai 5.953 kasus.

Secara lebih spesifik, data kekerasan terhadap perempuan dan anak di Jawa Timur yang terjadi sepanjang bulan Januari 2020 sampai bulan September 2021 sejumlah 1.041 kasus. Dari 1.041 kasus yang terjadi, presentase paling tinggi adalah kekerasan seksual yaitu 442 kasus/42,46%.

Data ini membuktikan bahwa kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan yang paling banyak dialami oleh perempuan baik anak maupun dewasa di Jawa Timur. Data tertinggi kedua adalah kekerasan psikis dengan jumlah korban yaitu 410 kasus/39,39%. Lalu tertinggi ketiga adalah kekerasan fisik dengan jumlah total 390 kasus/37,46%.

Kondisi itu kian diperparah dengan data proporsi perempuan usia 20 – 24 tahun yang berstatus kawin sebelum umur 18 Tahun. Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 2019 mencatat di Provinsi Jatim berada di angka 11,1%. Lebih tinggi 0,19% dari angka rata-rata nasional 10,82%. Sedangkan untuk tahun 2020 Provinsi Jatim berada di angka 10,67%, lebih tinggi 0,32% dari angka rata-rata nasional 10,35%. (BPS).

Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, sepanjang 2019 ada sebanyak 11.211 kasus pernikahan di bawah umur. Angka itu setara 3.29 persen dari total 340.613 pernikahan. Pada tahun 2020 meningkat menjadi sebanyak 17.214 kasus pernikahan dibawah umur atau setara 5,7 persen dari total 302.684 pernikahan. Pengajuan dispensasi Perkawinan lebih banyak dari pihak perempuan.

Restu Novi Widiani, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak dan Kependudukan Jawa Timur, menuturkan bahwa permasalahan itu mesti segera ditangani. Ia menegaskan bahwa tingginya angka kasus kekerasan berbasis gender dan pernikahan dini merupakan tugas bersama.

“Di tahun 2024, angka itu harus ditekan menjadi 8,5 persen. Dan ini tugas berat. Makanya ini tugas lintas sektor yang harus bekerja sama untuk menurunkan angka-angka tersebut,” katanya saat ditemui Beritabaru.co, Rabu (27/04/2022).

Bergandengan Tangan, Menekan Kasus Pernikahan Dini dan Kekerasan Seksual di Jatim
Direktur Lembaga Pelatihan dan Konsultan Inovasi Pendidikan Indonesia (LPKIPI), Lutfi Firdausi. (Dok. Foto: Beritabaru.co)

Kondisi itu, membuat Lembaga Pelatihan dan Konsultan Inovasi Pendidikan Indonesia (LPKIPI) menggelar pelatihan Implementation and Enforcement of Laws; Norms and Value; Safe Environtments; Parent and Caregiver Support; Income and Economic Strengthening; Response and Support Services; Education and Life Skills (INSPIRE).

Pelatihan yanh bertajuk “Mitigasi Resiko Kekerasan Berbasis Gender dan Perlindungan dari Eksploitasi dan Perlakuan Salah Seksual ini diikuti oleh pelbagai elemen baik instansi pemerintah maupun lembaga masyarakat.

Dalam kegiatan yang berlangsung selama tiga hari di Hotel Santika Premiere Surabaya, 25 – 27 April 2022 kata Luthfi Firdausi, Direktur LPKIPI, menjadi momentum penguatan kapasitas dan pembekalan pengetahuan serta pemahaman peserta.

Penguatan kapasitas itu lebih-lebih dikhususkan kepada empat kabupaten di Provinsi Jawa Timur yang memiliki angka tertinggi. Di antaranya adalah. Kabupaten Trenggalek, Kabupaten Bondowoso. Kabupaten Lumajang. dan Kota Malang.

“Supaya mereka tetap aware bahwa kekerasan berbasis gender itu masih tinggi. Yang kedua juga agar tetap aware bahwa tingkat perkawinan anak di Jatim itu masih tinggi. Terutama Kabupaten Bondowoso dan Kabupaten Trenggalek itu kejar-kejaran angkanya,” jelas Lutfi.

Dalam pelatihan itu peningkatan kapasitas kepada stake holder dilakukan. Peserta diharapkan mampu untuk melakukan pencegahan meningkatnya kekerasan berbasis gender dan perkawinan anak. Berdiskusi, menganalisa, melacak akar penyebab dan masalah, serta mencari solusi pun menjadi kegiatan wajib selama tiga hari.

Lutfi menjelaskan bahwa tingginya angka kekerasan berbasis gender dan pernikahan dini menyiratkan masalah yang kompleks. Mulai dari budaya hingga persoalan ekonomi dan psikologi. Ia menerangkan bahwa penyebab dari pernikahan dini itu berakibat pada tingginya angka perceraian.

“Karena psikologi belum siap, kognitif belum siap, mereka harus putus sekolah, jadi banyak diantara mereka akhirnya bercerai. dan kalau sudah punya anak itu kasian. ibunya masih muda, anaknya masih muda,” terangnya.

Ia mengatakan pernikahan dini itu biasanya juga disebabkan oleh perekonomian keluarga. Para orang tua beranggapan, kata Lutfi melanjutkan, bahwa menikahkan anak itu bisa lepas tanggung jawab pengasuhan. Padahal, efek yang terjadi, katanya, justru semakin menambah beban orang tua.

Ikhtiar untuk Menekan Kasus

Lutfi menyebut, bahwa pelatihan itu diharapkan mampu memberikan pemahaman kepada peserta untuk menganalisa dan mengurangi resiko kasu-kasus tersebut. Pasalnya dalam pelatihan itu pserta juga memperoleh keterampilan untuk melakukan mitigasi resiko kekerasan berbasis gender, perlindungan dari eksploitasi dan perlakuan salah seksual.

Di samping itu, kata Lutfi, peserta dapat menindaklanjuti dengan mendukung ketersediaan pedoman dan mekanisme pencegahan dan penanganan layanan terpadu kekerasan berbasis gender, perlindungan dari eksploitasi dan perlakuan salah seksual.

“Peserta juga dapat menyusun rencana aksi daerah untuk penghapusan kekerasan berbasis gender dan perkawinan anak,” katanya kepada Beritabaru.co, Rabu (27/4/2022). Upaya-upaya pencegahan dan penanganan kasus tersebut juga terus dilakukan baik di tingkat pusat maupun di daerah.

Lutfi menerangkan strategi lain yang sudah dilakukan yakni bergerak di pesantren. Ia menyebut ada empat pesatren di empat kabupaten yang menjadi tempat pendampingan. Di pesantren itu, anak-anak muda diberi pemahanan, life skill, hingga memantik mereka untuk berfikir kritis melihat cita-cita ke depan.

Sehingga dengan kemampuan anak-anak muda yang dilatih ini mampu membagi dan sharing pengalaman dengan anak-anak sebaya. “Jadi mulai dari santri di pesantren, forum anak di desa, forum anak di kabupaten, dan forum anak di tingkat provinsi jatim ini.” Ia mengaku tak hanya sosialisasi, melainkan pelatihan, diskusi, dan sharing.

“Sharing pengalaman-pengalaman di lingkungan mereka ketika ada kasus-kasus, kadang juga membuat sistem rujukan di tingkat desa, di tingkat pesantren ketika ada kasus-kasus pernikahan anak, maupun kekerasan berbasis gender,” jelas Lutfi.

Segendang sepenabuhan, Novi menerangkan bahwa pelbagai ikhtiar telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur. Salah satu ikhtiar itu adalah Surat Edaran(SE) yang dikeluarkan Gubernur Jawa Timur.

Dalam SE tersebut, kata Novi, mendorong semua perangkat daerah di kabupaten/kota untuk segera melakukan upaya penurunan. Di samping itu, penandatanganan pakta integritas lintas elemen pun pernah dilakukan.

“Pakta integritas itu ditandatangani dengan semua yang berkepentingan, termasuk lembaga masyarakat, pengadilan agama, untuk bersama-sama menurunkan perkawinan anak, mensosialisasikan, melaksanakan sampai mengevaluasi,” terangnya.

Ia juga menerangkan bahwa pemerintah tak bisa bergerak sendirian. Menurutnya bergandengan tangan dengan elemen masyarakat juga penting. “Seperti lembaga yang dekat dengan masyarakat. Ada Muslimat, Fatayat, Aisyiah. Itu juga dirangkul untuk menurunkan angka kasus kekerasan berbasis gender dan perkawinan anak,” imbuhnya.

Upaya pencegahan kekerasan seksual, kata Novi, harus terus ditingkatkan melalui forum-forum sosialisasi dan edukasi tentang ancaman kekerasan seksual dan perkawinan anak. Tak hanya itu, peran dari masyarakat, terutama tokoh masyarakat dan orang tua juga sangat penting untuk mengurangi angka kekerasan seksual dan perkawinan anak.

“Peran orang tua sangatlah penting dalam menjaga anak-anaknya dari hal-hal yang dapat menjerumuskannya pada kekerasan seksual. Kalau keluarganya tidak berkualitas, keluarganya tidak punya ketahanan yang bagus maka kejadian itu akan terjadi di masyarakat,” katanya.

Bergandengan Tangan, Menekan Kasus Pernikahan Dini dan Kekerasan Seksual di Jatim

Di Bondowoso, kata Aminatul Hamidah, LP3K Kabupaten Bondowoso, strategi itu terus dikampanyekan. Ia mengaku telah bersinergi dengan Kementerian Agama dan Dinas Pendidikan Kabupaten Bondowoso. Sekolah Siaga Kependudukan (SSK), Pelatihan Kecakapan Hidup untuk Anak, serta Pendampingan untuk Calon Pengantin menjadi strategi yang dilakukan.

“Sehingga hari ini kita terus berkeliling ke sekolah-sekolah untuk untuk kampanye termasuk SSK,” kata Aminatul. Ia menjelaskan SSK itu di dalamnya merupakan pengintegrasian materi-materi pelajaran tentang kesehatan reproduksi, tentang pendewasaan usia perkawinan. “Ada juga duta kependudukan, pojok kependudukan di setiap sekolah yang melakukan program ssk itu.”

Di samping itu. Animatul juga menggunakan pendekatan ibu-ibu. Ia menyebutkan bahwa di Kabupaten Bondowoso memiliki Sekolah Perempuan untuk Peningkatan Kualitas Hidup. Ia menyadari bahwa salah satu musabab tingginya kasus pernikahan dini dilatarbelakangi oleh cara berpikir. Selama sebulan satu kali, ibu-ibu itu bertemu. Mereka mendapatkan materi peningkatan kualitas hidup.

“Karena membentuk mindset itu tidak mudah. Jadi di sekolah itu, termasuk juga membangun mimpi ibu. kalau ibunya sudah gak punya mimpi ya mungkin susah juga. tapi kalau seorang ibu punya mimpi untuk anak-anaknya, kami semua yakinlah, itu bisa diminimalisir. Ya memang hasilnya tidak sebentar. karena itu membangun mimpi, membuka mindset sambil juga memberikan wawasan dan pemahaman,” harapnya.

beras