Bicarakan Seni Tradisi sebagai Media Pengembangan Identitas Multikultural, HISKI Komisariat Sumatera Selatan Gelar Diskusi
Berita Baru, Palembang – HISKI Komisariat Sumatera Selatan menyelenggarakan Diskusi Terpumpun yang digelar pada hari Jumat, (18/11/2022) di Hotel Swarna Dwipa Palembang.
Para narasumber Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum. (UNJ), Dr. Cahyaningrum Dewojati, M.Hum. (UGM), Dr. Siti Gomo Attas, M.Hum. (UNJ), dan Sudartomo Macaryus, M.Hum. (UST) memaparkan hasil riset yang telah dilakukan dalam bidang seni tradisi dalam kaitannya dengan pengembangan industri kreatif untuk mendukung pengembangan pariwisata. Bertindak sebagai moderator Drs. Alpansyah, Ph.D., dari Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan.
Pada kesempatan tersebut Novi Anoegrajekti, menyerahkan kenang-kenangan buku Sastra Maritim kepada Dekan FKIP UNSRI dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata. Buku tersebut memuat tulisan para peneliti dari Aceh sampai Papua.
Diskusi terpumpun dihadiri dan dibuka oleh Dekan FKIP Universitas Sriwijaya, Dr. Hartono, M.A. Sedangkan para peserta yang hadir adalah Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan serta dari Kota Palembang, para Wakil Dekan FKIP UNSRI, Balai Bahasa Sumsel, para dosen dan mahasiswa program S1, S2, dan S3 UNSRI, dan para anggota HISKI Komisariat yang hadir di Palembang dalam rangka pergelaran Dulmuluk dengan lakon “Siti Zubaidah” yang digelar Sabtu, 19 November 2022.
Dalam pidato pembukaan, Dekan FKIP menyampaikan ucapan terima kasih atas kehadiran para anggota HISKI dari Sumatera sampai Papua yang telah meluangkan waktu untuk mendukung pergelaran Dulmuluk di Palembang. Rasa terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. Nurhayati, M.Pd. sebagai Ketua HISKI Komisariat Sumatera Selatan dan inisiator penyelenggaraan Diskusi ini.
Sebagai akademisi, para aktris dan aktor tetap merancang kegiatan bincang akademik melalui diskusi terpumpun untuk berbagi pengalaman riset. Tema kebinekaan tetap aktual di Indonesia mengingat fakta adanya keberagaman dalam berbagai bidang kehidupan.
“Tema diskusi ini memberikan wawasan mengenai kebinekaan yang perlu terus dikumandangkan demi mewujudkan satu kesatuan negara Indonesia yang memiliki keberagaman budaya,” jelas Hartono.
Pergelaran Dulmuluk yang memerlukan biaya besar cenderung ditanggap oleh lembaga untuk merayakan hari besar nasional dan keagamaan. Pada tahun 1980-an seni tradisi Dulmuluk menjadi salah satu acara di media elektronik televisi.
“Dengan berkembangnya teknologi, saat ini, seni tradisi dan kelokalan dapat dipublikasi melalui media sosial, seperti youtube, instagram, dan twiter yang dapat diakses oleh masyarakat internasional,” ungkap Hartono.
Itulah berkah perkembangan teknologi digital bagi seni tradisi. Oleh karena itu, diperlukan hadirnya kreator dan inovator untuk merespons dan memaksimalkan potensi teknologi demi kemajuan dan kesejahteraan pelaku seni tradisi dan masyarakat pendukungnya.
Pembicara pertama, anoegrajekti yang selama lebih dari 20 (dua puluh) tahun memfokuskan penelitian dalam bidang seni tradisi di Banyuwangi memandang perlu adanya kaderisasi dan pewarisan seni tradisi gandrung, mengingat para penari senior yang menguasai pakem gandrung terop cenderung semakin berkuang.
“Pelaku seni tradisi gandrung profesional yang tinggal lima orang mendorong saya dan tim peneliti melakukan upaya pewarisan dengan metode nyantrik, yaitu gandrung senior memilih calon muridnya antara 2-3 penari,” jelas Novi.
Penetapan metode nyantrik menjadi pilihan, agar para gandrung senior memiliki kebanggaan bila anak didiknya semakin berkibar dan populer di masyarakat. Pelatihan sebagai cara pewarisan dan pengembangan industri kreatif berbasis seni trasisi menjadi pilihan agar seni tradisi gandrung tetap lestari dan para pelaku seni dan masyarakat pendukungnya meningkat kesejahteraannya.
“Akademisi yang sudah meraih gelar akademik tertinggi, doktor dan jabatan akademik tertinggi, profesor memiliki tanggung jawab moral untuk meningkatkan kualitas hidup pelaku seni,” ulas Novi.
Narasumber kedua, Cahyaningrum yang meneliti lagu dan cerita anak, menyampaikan bahwa para responden menyepakati bahwa lagu dan cerita anak bernilai untuk pendidikan karakter.
“Lagu dan cerita pengantar tidur diakui oleh para responden memiliki nilai tinggi, akan tetapi para orang tua sudah tidak lagi menghidupinya,” jelas Cahya.
Fenomena tersebut menjadi keprihatinan bersama untuk terus diperjuangkan agar nilai tersosialisasi dan terinternalisasi pada masyarakat, khususnya anak-anak. Saat ini sosialisasi dan internalisasi berpeluang disampaikan dengan memanfaatkan media sosial yang dapat diakses oleh masyarakat global.
Siti Gomo Attas dengan penelitiannya di Pulau Tidung Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menyampaikan karakteristik masyarakat Pulau Tidung yang beragam etnis. Salah satu etnis yang menampakkan jejak tradisi kuat adalah etnis Bugis yang memiliki kepiawaian dalam membuat kapal.
“Pulau Tidung DKI yang dihuni oleh beragam etnis, salah satunya etnis Bugis yang mewariskan tradisi silat mandar,” ungkap Siti Gomo.
Silat Mandar sebagai seni bela diri menjadi salah satu peristiwa budaya yang ditempatkan sebagai destinasi wisata budaya di Pulau Tidung.
Macaryus sebagai narasumber terakhir menyampaikan hasil risetnya mengenai seni tradisi dalam kaitannya dengan dinamika politik lokal. Ia memandang bahwa setiap komunitas etnis memiliki seni tradisi yang dikreasi, dinikmati, dan dihidupi oleh masyarakat pendukungnya.
Dinamika politik lokal antara lain tampak pelalui strategi penyamaran untuk melakukan operasi penyelidikan dan muslihat.
“Seni tradisi menampilkan penyamaran dengan cara menjadi pemain seni tradisi, seperti tayup,” ujar Macaryus.
Seni tradisi tayub muncul dalam legenda Ki Wanabaya sebagai pemimpin Perdikan Mangir yang terjerat oleh politik Mataram dengan mengutus Sekar Pembayun sebagai penari tayub dan berhasil memikat hati Ki Wanabaya.
Selesai paparan narasumber, dilanjutkan tanya jawab untuk menggali respons dan harapan terhadap cara pewarisan dan pelestarian seni tradisi.
Syaiful Amri dari Institut Kesenian Jakarta menyampaikan bahwa pada masa lalu pewarisan seni tradisi seperti lenong berlangsung secara alami.
“Pewarisan seni tradisi lazim berlangsung secara alami. Dalam pergelaran lenong Betawi, semua anggota keluarga diajak berkeliling. Hal itu berlangsung secara turun-temurun,” jelas Amri.
Selain itu, Amri juga merespons fenomena menarik mengenai peran tokoh perempuan yang dilakukan oleh laki-laki.
“Peran perempuan pada zaman dulu dilakukan oleh laki-laki karena adanya larangan perempuan bepergian pada malam hari. Akan tetapi sekarang, hadirnya tokoh perempuan oleh laki-laki menjadi fenomena baru karena kemudian memunculkan stigma bencong,” papar Amri.
Fenomena tersebut menjadi ruang penelitian, mengingat kecenderungan tersebut masih tetap diminati oleh masyarakat.
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan yang hadir, merespons dengan baik dinamika penelitian khususnya di lingkungan universitas. Kehadiran organisasi HISKI melalui diskusi terpumpun ini mengingatkan pemerintah mengenai seni tradisi yang menjadi identitas budaya Sumatera Selatan.
Hasil-hasil riset tersebut menjadi pertimbangan dalam melakukan pembinaan dan pengembangan secara selektif.
Ke depan, kerja sama secara lintas lembaga, pelaku seni, masyarakat, pemerintah, dan akademisi perlu terus dikembangkan agar seni tradisi tetap lestari dan memberi manfaat secara ekonomis kepada pelaku seni dan masyarakat pendukungnya.