Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Burung Hantu di Langit Tuban
Burung Hantu/ Sumber Foto: Google

Burung Hantu di Langit Tuban



“Ediiaaann,,, dunia benar-benar sudah edian.”

Suara berat itu terdengar lirih, lintingan tembakau di mulutnya dilepehkan dengan kasar. Kumis tebal yang menggantung di atas bibirnya bergerak turun naik. Matanya melotot dan kakinya yang berbulu lebat itu dinaikan sebelah ke atas ambin.

            “Apa tidak ada yang lebih penting daripada meributkan sebuah benda mati yang sedikitpun tidak merusak penghidupan kalian. Kenapa tidak kalian permasalahkan para pejabat yang korupsi uang, korupsi waktu dan abai dengan rakyat miskin.”

Lelaki yang mulai memutih rambut dan kumisnya itu memandang tajam Qodir dan Ikhsan. Kedua makhluk Tuhan itu pun menghela nafas berat.

            “Tapi, Mbah, bukankah itu menyalahi budaya kita, menyalahi bumi kita.”

Qodir berkata hati-hati.

            “Budaya kita yang mana yang disalahi, dan bumi kita bagian mana yang dinistakan?”

Mbah Jalil mendekat pada pias wajah Qadir. Sedang Ikhsan, memundurkan pantatnya dan menyandarkan punggungnya di kursi.

            “Mbah, kami takut masyarakat akan lebih mengagungkannya daripada para wali yang ada di bumi kita ini.”

“Ketakutan kalian terlalu berlebihan, apakah kecintaan kalian terhadap wali akan sirna hanya karena patung itu mencakar langit. Terlalu picik, itu berarti iman kalian masih ringan seperti kapas.”

Mbah Jalil kembali melinting tembakau dengan kertas berwarna kecoklatan dan menghisapnya dalam-dalam. Matanya menerawang menatap langit yang sedang disesaki purnama. Sedang Qodir dan Ikhsan saling berpandangan.

            “Bukankah patung itu serupa berhala yang patut untuk dihancurkan, Mbah?”

            “Bahhh,, berhala yang sesungguhnya itu ada di hati kalian. Lebih mengagungkan dan memuja kebenaran pikiran kalian yang belum tentu benar di mata Tuhan.”

Mbah Jalil melepas bajunya dan membiarkan dadanya dihempas angin malam ini. Qodir dan Ikhsan menelan ludahnya, lelaki tua yang dianggapnya sesepuh itu selalu mementahkan omongannya. Sulit sekali membujuk orang tua ini. Gumam Qodir.

            “Jika aku mendirikan patung serupa tubuhku di halaman rumah, apakah kalian juga akan menggempurnya? Memaksaku untuk merobohkannya?”

Mbah Jalil menepuk pundak Qodir. Qadir hanya terdiam tak berani menantang merah mata Mbah Jalil.

            “Tapi Mbah, bukankah ini akan mengecilkan para pahlawan kita, terutama Ranggalawe?”

            “Kau itu ada-ada saja, Ikhsan. Ranggalawe tidak akan kecil dan hilang dari sejarah bangsamu hanya karena patung raksasa itu, kecuali jika kalian yang bebal.”

            “Perlu kalian ketahui. Dulu, jauh sebelum kalian lahir, orang-orang Cina itu sudah lebih dulu menjejakkan kakinya di tanah Tuban ini, bukan untuk menguasai ataupun merebutnya, mereka mencari penghidupan, dan beberapa dari mereka menikah dan beranak pinak di sini. Dan jika kalian bukan pemuda bebal, pasti tahu siapa itu Laksamana Muda Cheng Ho, seorang laksamana yang juga menyebarkan agama Islam di tanah Jawa ini.”

Mbah Jalil mulai becerita pada dua pemuda yang uratnya mulai mengendur.

            “Cheng Ho datang di tanah Jawa, singgah juga di tanah Tuban ini, bukan untuk menjajah nenek moyangmu, tapi mengunjungi sebangsanya dan mengajarkan Islam kepada mereka.“

Mbah Jalil berhenti sejenak, mengatur nafas dan melanjutkan ceritanya.

Dan leluhur orang-orang Cina itu juga turut berjuang dalam merebut kemerdekaan, bukan hanya uang yang mereka berikan, tapi juga tenaga dan pikiran. Mereka turut berperang dan mengobati pribumi yang terkena peluru dari senjata orang-orang Belanda.”

Ikhsan yang sedari dari terdiam terusik hatinya.

            “Orang-orang Tionghoa itu juga turut berperang, Mbah?”

            “Iya, banyak dari mereka yang diangkat menjadi veteran. Tionghoa totok bernama Liem Sioe Liong turut pula melindungi ayah Fatmawati, Hasan Din, mertua Bung Karno yang diburu oleh Belanda. Liem Sioe Liong yang kemudian berganti nama menjadi Soedono Salim, seorang pengusaha besar di zaman Orde Baru. Liem juga turut memasok senjata untuk gerilyawan kita.”

Mbah Jalil kembali menghisap lintingan tembakaunya sebelum akhirnya melanjutkan kembali ceritanya.

            “Kalian pasti tidak mengenal siapa itu John Lie Tjeng Tjoan, nahkoda berdarah Tionghoa, seorang perwira tinggi di TNI Angkatan Laut dan memimpin sebuah kapal cepat bernama “The Outlaw” yang menjual hasil bumi ke Singapura hingga Thailand yang nantinya ditukar dengan senjata untuk melawan Belanda. John Lie yang pada akhirnya berubah nama menjadi Jahja Daniel Dharma, yang atas jasa-jasanya diakui oleh bangsamu, bangsaku juga menjadi Pahlawan Nasional. Jadi, kenapa kalian harus memusuhi golongan mereka?”

            “Sejarah tidak pernah menyebut mereka, Mbah.”

Dengan nada ditekan Qodir bersuara keras.

            “Sejarah itu tidak hanya apa yang kalian dengar, tapi juga dari apa yang kalian rasakan dan dapatkan dari sisi yang lain. Tidak hanya dari buku-buku yang mungkin jarang kalian baca saat sekolah dulu.”

Qodir dan Ikhsan saling menyikut, pantat mereka mulai panas selain hati dan otaknya yang mulai mendidih. Mulut mereka bergerak naik turun, kakinya yang dilindungi sarung buatan pabrik Pekalongan itu mulai ditarik-tariknya. Matanya semakin berkerut saat asap lintingan tembakau Mbah Jalil menampar wajah dan rambut mereka. setengah berbisik Qodir berkata di telinga Ikhsan.

            “Sepertinya kita berada di tempat yang salah.”

Qodir berdiri, digerakkannya punggungnya ke kiri dan ke kanan hingga bunyi gemerutuk tulang belulangnya membuat Mbah Jalil memandangnya tajam.

            “Secepat inikah kalian pamit? Ataukah kantuk menyergap kalian karena ocehanku?”

Mbah Jalil berkata sambil tertawa, sisa tembakau yang ada di tangan kirinya dilemparkannya dengan keras ke arah tong sampah yang berada di bawah pohon mangga di samping mereka.

            “Maaf Mbah, sepertinya hari sudah malam. Burung hantu juga sudah mulai mengintip kita di ujung dahan pohon mangga itu.”

Qodir menyalami tangan keriput Mbah Jalil, Ikhsan yang sedari tadi duduk juga turut menggeser pantatnya dan pamit mengikuti langkah Qodir. Dari kejauhan terdengar suara gerutu Qodir yang terbang terbawa angin hingga ke telinga Mbah Jalil.

            “Apa kamu percaya dengan ocehan Mbah Jalil tadi, San?”

            “Entahlah Dir, dulu sewaktu aku masih sekolah, tak pernah ku dengar cerita semacam itu. Aku hanya tahu dari guru-guruku, kalau Soeharto itu pahlawan dan Aidit itu musuh bersama. Selebihnya tidak, mungkin benar kata Mbah Jalil, kita ini pemuda bebal.”

Ikhsan melangkahkan kakinya cepat, Qodir memegang lengannya dan memandang tajam mata Ikhsan.

            “Hati-hati dengan mulutmu.”

Sedang dari kejauhan, di samping pohon mangga, Mbah Jalil tersenyum kecut. Sekecut bau badannya yang sedari pagi belum juga terkena air.

     ***

beras