Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Catatan Merah Walhi Jatim dan LPR KuaSA untuk Pemkab Jember
Bupati Hendy Siswanto dan Wakil Bupati Jember MB Firjaun BR. (Dok. Foto: Hariansuara.com)

Catatan Merah Walhi Jatim dan LPR KuaSA untuk Pemkab Jember



Berita Baru, Jember – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur dan Lembaga Pendidikan Rakyat untuk Kedaulatan Sumber-sumber Agraria (LPR KuaSA) memberi catatan merah untuk Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember terkait komitmen penolakan pertambangan.

Manajer Advokasi Masyarakat WALHI Jawa Timur, Usman menyampaikan persoalan eksploitasi oleh industri ekstraktif di wilayah Kabupaten Jember secara lebih luas belum menjadi perhatian bagi eksekutif dan legislatif. Menurutnya terlihat dari manuver Pemkab dan DPRD dalam pembahasan RPJMD 2021-2026 serta wacana revisi RTRW Kabupaten Jember.

“Kami melihat Pemkab Jember belum berkomitmen secara penuh untuk menjalankan aspirasi masyarakat terkait penolakan tambang. Sekaligus tidak serius melanjutkan warisan komitmen dari pemerintah sebelumnya,” kata Usman kepada Beritabaru.co melalui keterangan tertulisnya, Minggu (13/3).

Ia menjelaskan penolakan masyarakat terhadap pertambangan di Jember dan di wilayah pesisir selatan Jember dikhawatirkan oleh warga berkait dengan rencana kegiatan pertambangan yang akan dilakukan oleh PT Agtika Dwisejahtera atau PT ADS di Desa Paseban Kecamatan Kencong, Kabupaten Jember.

PT ADS merupakan pemegang IUP Operasi Produksi berdasarkan Surat Keputusan Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan ESDM Kabupaten Jember Nomor : 541.3/038/411/2013 dengan luas konsesi 469.80 hektar.

Dalam kajiannya, Usman menilai rencana pertambangan di Desa Paseban mengancam 301 Rumah dan 197,05 Ha lahan pertanian karena masuk dalam peta lokasi izin pertambangan PT Agtika Dwisejahtera (ADS).

“Rencana pertambangan pasir besi di pesisir Jember telah nyata mengancam ruang hidup serta penghidupan masyarakat,” terangnya.

Pada tahun 2016, selama penolakan terjadi terdapat tujuh warga dikriminalisasi. Warga dituduh melakukan penghadangan aktivitas survey yang dicurigai untuk pertambangan pasir besi. “Putusan untuk 7 orang bervariasi antara 8-10 bulan,” imbuhnya.

Penolakan tersebut berhasil memaksa Bupati dan DPRD Kabupaten Jember menghentikan rencana pertambangan di Paseban. Namun, kata Usman, konsesi yang ditolak hingga kini masih ada di ESDM dan belum dicabut. Akibatnya PT. ADS sempat memaksa masuk dan memicu konflik dengan warga.

“Saat ini PT ADS statusnya masuk daftar tambang yang direview izinnya oleh Kementerian ESDM namun belum dihapuskan konsesinya,” jelasnya.

Oleh sebab itu, Usman mempertanyakan komitmen Pemkab Jember terkait penolakan rencana pertambangan. “Jika memang benar-benar menolak, ia menegaskan, seharusnya Bupati dan Wakil Bupati berani mengambil sikap untuk mendorong dan mengawal pencabutan IUP Operasi Produksi PT ADS,” ungkapnya.

Dalam catatan kritisnya, di Kabupaten Jember tidak hanya diancam oleh pertambangan pasir besi, melainkan juga konsesi usaha pertambangan eksplorasi emas di Blok Silo. Kemudian Usman menyampaikan di tahun 2018 masyarakat Jember digegerkan dengan pemberian izin usaha pertambangan eksplorasi emas melalui Keputusan Menteri ESDM No. 1802 K/30/MEM/2018 tentang Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Periode Tahun 2018, dengan luasan 4032 Hektar.

Penetapan WIUP tersebut memicu demonstrasi besar pada bulan November dan Desember. Aksi massa penolakan keberadaan tambang emas itu, Usman melanjutkan, membuahkan hasil. Gelombang demonstrasi memaksa Bupati Jember untuk mengirim surat dan audiensi terkait pencabutan WIUP kepada Kementerian ESDM. “Karena Gubernur tidak lagi memiliki wewenang,” jelas Usman.

Aspirasi penolakan dari masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah Kabupaten Jember ini kemudian ditanggapi Kementerian ESDM dengan diterbitkannya Keputusan Menteri ESDM No 23 K/MEM/2019 tentang perubahan atas Kepmen Nomor 1802 K/30/MEM/2018 tentang Wilayah Izin Usaha Pertambangan dan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus Periode Tahun 2018 yang membatalkan WIUP Blok Silo.

“Namun sampai hari ini, dalam Minerba One Map Indonesia peta WIUP Blok Silo belum dihapus,” jelasnya.

Satu tarikan nafas dengan Walhi Jatim, Gandis Nanda, Ketua Bidang Gerakan dan Kampanye LPR KuaSA menegaskan bahwa keberadaan pertambangan benar-benar ditolak oleh masyarakat, pasalnya akan berpotensi menimbulkan kerentanan dan kerawanan.

Menurutnya dalam peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Jember telah disebutkan bahwa wilayah pesisir selatan Jember merupakan kawasan rentan bencana dengan tingkat menengah dan tinggi (warna merah tinggi dan kuning menengah). Privatisasi ruang-ruang pesisir itu, kata Gandis, akan meningkatkan kerentanan dan menurunkan daya adaptasi lingkungan untuk memulihkan diri dari situasi darurat.

“Selain itu masyarakat yang paham bahwa kawasan pesisir selatan Jember merupakan ruang yang memiliki keanekargaman hayati, di mana ketika itu hancur maka dampaknya secara jangka panjang akan sangat merugikan,” kata Gandis.

Seperti diketahui wilayah pesisir selatan dari Nusa Barong sampai pesisir menuju arah Lumajang dan Banyuwangi merupakan kawasan di mana penyu singgah. Tak hanya itu terdapat juga burung-burung lokal yang sudah mulai jarang ditemukan. Salah satunya adalah burung Trulek Jawa yang menurut data International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) jumlahnya tinggal 49 individu atau sangat kritis.

Bagi Gandis, hancurnya kawasan selatan Jember sama saja dengan menghilangkan identitas Jember sebagai kabupaten yang sangat kaya akan keanekaragamannya. “Dengan adanya tambang, tentu akan menghilangkan keanekaragaman tersebut, serta turut menghancurkan kehidupan masyarakat di sekitar pesisir selatan,” tuturnya.

Sementara di wilayah Silo masyarakat sedang dihadapkan pada persoalan konflik agraria yang berlarut-larut, di mana masih banyak petani yang tersisih dengan adanya HGU perkebunan besar seperti PTPN XII dan juga berada dalam cengkraman kawasan kelola Perhutani.

“Mereka tengah berjuang dalam ketidakpastian wilayah tenurial, dan masuk dalam kelompok tunakisma,” tegas Gandis.

Namun, persoalan tersebut ditambah bebannya dengan menetapkan wilayah Silo sebagai wilayah pertambangan emas yang memiliki daya destruktif tinggi, karena akan merusak ekosistem seperti struktur geologi, kerentanan kawasan hutan serta meningkatkan emisi karbon.

“Hal ini setali tiga uang dengan pembiaran eksploitasi karst di Puger oleh aneka pertambangan, membiarkan ekonomi ekstraktif yang tidak berkelanjutan dengan mengancam ketersediaan air dan eksistensi kawasan geologi karst,” pungkasnya.

beras