Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kampusku, bukan Kampus Teroris
Kampusku, bukan Kampus Teroris

Kampusku, bukan Kampus Teroris



Kampusku, bukan Kampus Teroris

Opini Semacam menjadi pukulan telak, ketika kampus dengan julukan Kampus Kebangsaan ternyata menjadi markas gerakan radikalisme, ekstrimisme dan terorisme. Saya tidak menyebut gerakan radikalisme, tapi terorisme. Sebab jika kita mau sejenak saja untuk meluangkan waktu dan membaca penggeseran makna diksi radikalisme, tidaklah semua buruk. Pemikir-pemikir Indonesia seperti Semaoen dengan komunisnya, Kartosuwiryo dengan Islamisnya, Soekarno dengan nasionalisnya, Tan Malaka dengan konsep Madilog-nya, mereka adalah contoh dari para pemikir radikal. Walaupun, pada akhirnya terjadi pertentangan-pertentangan ide sehingga mengharuskan faham-faham mereka disesuaikan dengan kondisi ekonomi, politik dan kebudayaan Indonesia melalui controlling Negara, semenjak dirubahnya sistem politik demokrasi terpimpin yang diusung Soekarno, kemudian akhirnya dirubah menjadi politik militerisme pada era Soeharto, sehingga secara tidak langsung istilah radikalisme acapkali dikonotasikan pada hal-hal yang sifatnya brutal.

Berangkat dari pemaparan hasil riset Dr. Akhmad Taufiq, ketua Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember dalam pleno 4 festival HAM 2019 Jember, tertanggal 20 November lalu. Ketua LP3M memaparkan hasil laporan studi pemetaan gerakan radikalisme yang dilakukan pada 2018, bahwa terdapat 22% mahasiswa Universitas Jember yang terpapar radikalisme teologis: golongan takfiri falasi dan ortodoks konservatif. Sedangkan, radikalisme politis: setuju pada konsep Negara islam (khilafah) sejumlah 20%. Hari ini, Rabu tanggal 27 November 2019, Dr. Akhmad Taufiq diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua LP3M Universitas Jember dengan dalih melanggar kode etik dan berdampak pada citra kampus.

Tahan sebentar, bukankah sebagai kelompok intelektual seyogyanya menghargai kerja-kerja riset? Sebab hasil riset pastilah berangkat dari metodologi-metodologi penelitian, baik kualitatif maupun kuantitatif. Yang sudah diuji melalui konsep triangulasi dari berbagai macam pespektif ilmu pengetahuan serta pengalaman empirik. Sebagai orang yang tergabung dalam kelompok akademisi seharusnya tidak menafikan riset begitu saja, seolah-olah hasil riset hanya dianggap sebagi karunia Tuhan yang turun begitu saja dari langit. Sangat tidak mencerminkan kaum intelektual, jika pihak rektorat tidak sepakat ataupun menolak hasil riset dari personal ataupun instansi tanpa menggelar forum adu data dan kajian komprehensif. Agar asas-asas keterbukaan dan prinsip demokratis kampus tidak hanya menjadi wacana utopis. Hal seperti demikian malah menggambarkan pihak rektorat Universitas Jember terkesan ketakutan, arogansi dan kebakaran jenggot. Apakah kita masih mau kembali pada zaman ketika suara-suara minor yang memuat kejujuran dipinggirkan? Ah, mimpi buruk apalagi ini.

Yang menjadi tanda tanya besar adalah, apakah pemberhentian ketua LP3M oleh rektor Universitas Jember murni beralasan hasil riset ataukah ada hal lain yang lebih besar justru sengaja dikaburkan? Apakah pihak rektorat sengaja melindungi gerakan-gerakan terorisme di kampus? Apakah justru gerakan-gerakan terorisme sekaligus pemetaan ini dinarasikan oleh kalangan dosen-dosen dan civitas akademika? Apakah ada ideologi lain yang mendorong rektor untuk memutuskan memberhentikan ketua LP3M?

Keputusan pemberhentian ketua LP3M oleh rektor Universitas Jember dibaca khalayak sebagai kepentingan yang penuh syarat di akhir masa jabatannya, atau bahkan dendam pribadi. Keputusan rektor adalah keputusan yang terburu-buru, seperti terburu-burunya peresmian auditorium baru Universitas Jember yang bernuansa tembakau dan kopi, padahal secara pembangunan belum selesai kesuluruhan. Sebagai mahasiswa yang kebetulan menimba ilmu di kampus kebangsaan, dengan kata lain, sebagai mahasiswa kita tidak bebas nilai dan tidak bisa lepas dari keterikatan tanggung jawab moral, sosial dan intelektual di mata masyarakat. Kami menganggap bahwa keputusan rektor Universitas Jember terlampau baperan, menye-menye dan otoriter, bahkan tekesan kekanak-kanakan. Walaupun keputusan itu semua adalah hak preorogatif rektorat, alangkah kerennya jika sebeleum pengambilan keputusan sepihak dilakukan forum terbuka seperti yang saya sebut tadi, kami rasa itu akan menjadi hal yang lebih keren dan gentleman.

Faham-faham kelompok kanan bukan hanya berbahaya bagi seluruh mahasiswa, tetapi berbahaya bagi Negara, karena di sana ada cita-cita sektoral yang melenceng dari cita-cita Pancasila. Kelompok mereka kerap memakai cara berfikir logika falasi dalam setiap orientasi gerakan dan faham-faham yang mereka gaungkan. Sepertinya, iktikad yang lumayan baik dari kampus dengan mengadakan mata kuliah umum seperti Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama sesuai pemeluknya dengan alasan mencegah faham terorisme tidak begitu tercapai. Entah seleksi dosen pengajar yang kurang ketat, sehingga dosen-dosen yang terpapar faham ini masih bisa masuk dan masih dapat membawa fahamnya untuk dikampanyekan secara diam-diam dan tersembunyi. Mereka sepetinya tau betul mengenain filsafat garam: tidak keliatan tapi bisa dirasakan. Siapa yang menyangka kampus dengan julukan kebangsaan justru terpapar faham radikalisme dan terorisme sampai pada nilai 22 %, angka yang tidak sedikit. Entah, apa yang dapat mengistilahkan keadaan semacam ini, paradoks atau ironis.

Oleh sebab itu, kami sebagai mahasiswa kampus kebangsaan yang kebetulan selalu merayakan Dies Natalis pada tanggal 10 November, agar dikatakan kampus yang nasionalis. Kami menyarankan pihak rektorat mempunyai komitmen tanding ide lewat riset dan data-data valid untuk merebut narasi kebangsaan. Saya berharap mahasiswa tetap mempunyai kesadaran kritis dan tetap menjunjung tinggi ilmu pengetahuan.

beras