
Dalami Topik Sastra Lisan, Sekolah Sastra HISKI Diskusikan Folklor Papua di Era Modern
Berita Baru, Jakarta — Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) selenggarakan Sekolah Sastra pada Sabtu, (28/06). Mengangkat topik yang sama dengan pertemuan sebelumnya, yakni Sastra Lisan, acara digelar via Zoom Meeting serta disiarkan secara langsung di kanal Youtube Official HISKI Pusat dan Tribun Network.
Program Sekolah Sastra HISKI didukung oleh Dana Indonesiana dan LPDP, yang dikelola melalui Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.
Dimoderatori Dr. Endah Imawati, M.Pd. (Tribun Network), pertemuan kedua Sekolah Sastra ini masih diisi dengan narasumber yang sama, Prof. Dr. Wigati Yekningtyas, M.Hum. (Universitas Cenderawasih, HISKI Komisariat Papua).
Sebelum pemaparan materi, acara dibuka dengan sambutan Wakil Ketua I HISKI, Prof. Dr. Mohd Harun, M.Pd. Mewakili kepengurusan HISKi Pusat, Harun menyampaikan terimakasih kepada narasumber yang telah banyak membagi tentang tradisi dan budaya Tanah Papua.
“Prof Wigati adalah seorang peneliti yang memiliki komitmen untuk memperkenalkan kembali tradisi dan kebudayaan Papua. Meski beliau tidak lahir di tanah Papua, tetapi beliau punya dedikasi tinggi untuk anak papua,” ungkap Harun.
Harun menambahkan, pengabdian Prof. Wigati perlu ditiru untuk para akademisi semua, terutama semua anggota dan pengurus HISKI. “Sebab beliau tidak hanya mengajar di perguruan tinggi, tetapi juga ikut turun ke lapangan membina anak-anak setempat untuk lebih mencintai budaya leluhur mereka,” urainya.
Hal tersebut terbukti dengan topik yang dipaparkan Prof. Wigati di pertemuan minggu lalu dan minggu ini. Yaitu tentang meneliti dan mempelajari budaya tanah Papua.
“Mungkin nanti pertanyaan bisa diarahkan bagaimana metode penelitian ketika di lapangan, bagaimana berhadapan dengan narasumber atau informan. Kita akan dengar bersama. Semoga pertemuan ini memberikan manfaat dan berharga bagi kita semua,” harapnya.
Acara berlanjut pada pemaparan inti. Wigati membawakan materi berjudul “Foklor Papua dalam Era Modern: Dinamika dan Interaksinya dengan Bidang Lain”. Wigati mengawali paparannya dengan menjelaskan folklor masyarakat Sentani.
“Masyarakat Sentani tinggal di tepi danau Sentani. Ada 22 pulau yang menyebar ke timur dan barat di danau yang memiliki luas 104 kilometer persegi tersebut. Danau ini terletak di kaki gunung Cyclop–namun masyarakat lebih lokal lebih senang menyebutnya gunung Dobonsolo, karena Cyclop pemberian orang Belanda. Masyarakat Sentani, lanjut Wigati, memiliki bahasa dengan tiga dialek: Sentani Timur, Sentani Tengah dan Sentani Barat,” urai Wigati.

Folklor dan alih wacana papua, lanjut Wigati, terdiri atas beberapa produk, seperti lantunan, folksongs, lukisan/ukiran dan tarian. Folklor masih sangat relevan dan dapat menginspirasi generasi muda untuk melakukan penelitian lebih lanjut.
“Mempelajari folklor, bagi genarasi muda Papua, dapat membantu memberikan perspektif yang berbeda tentang pengetahuan tradisional. Sebab kearifan tidak hanya datang dari teori modern tetapi juga memori kolektif masyarakat yag terbukti telah bertahan lintas generasi,” tambahnya.
Dengan folklor, Wigati menambahkan, anggapan remeh tentang pengetahuan lokal terbukti keliru. Sebab tradisi bisa sangat memungkinkan untuk berinteraksi dengan dunia modern asalkan para peneliti dan akademisi memahami cara kerjanya.

“Sebagian masyarakat Sentani hari ini sudah bisa mengelaborasikan cerita rakyat atau budaya leluhur dengan kesadaran ekologi, teknologi, pariwisata, arsitektur, ekonomi kreatif, kehidupan sosial dan digitalisasi. Dengan kata lain, folklor bagi masyarakat Sentani selain menjadi sumber inspirasi juga menjadi solusi atas tantangan masa kini,” urainya.
Dan khususnya Papua, Wigati mengatakan, dengan kekayaan cerita-cerita rakyatnya yang melimpah, baik yang lisan, setengah lisan dan tak lisan sudah terbukti dapat berinteraksi dengan modernitas.
“Yakni tetap berakar dengan nilai-nilai luhur sambil tetap adaptif dan inovatif,” pungkasnya.
Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara narasumber dan audiens. Sampai akhir acara, Sekolah Sastra kali ini diikuti sekitar 155 peserta di Zoom Meeting dan telah ditonton 210 kali akun Youtube.
Sebagai informasi, Sekolah Sastra merupakan upaya HISKI Pusat untuk meningkatkan kompetensi dan bekal pengetahuan bagi para anggota HISKI yang tersebar dari Aceh hingga Papua serta peneliti dan ilmuwan sastra pada umumnya.
Sekolah Sastra ini digelar setiap dua bulan bergantian dengan agenda Tukar Tutur Sastra. Kedua kegiatan tersebut menjadi agenda rutin HISKI Pusat yang dipimpin Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum
