Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Dimensi Etika dan Moral dalam Alokasi Keuangan Honor Pemakaman Covid-19

Dimensi Etika dan Moral dalam Alokasi Keuangan Honor Pemakaman Covid-19



Oleh: Hermanto Rohman (Dosen Manajemen Keuangan Daerah, FISIP UNEJ)

Beberapa hari ini geger pemberitaan media baik lokal maupun nasional tentang adanya honor yang diterima oleh beberapa pejabat publik di daerah atas pemakaman jenazah corona sebesar lebih dari Rp 70 juta. Hal ini sangat menyita perhatian banyak kalangan karena nilai honor yang diterima pejabat tersebut didapatkan dari hitungan sebesar Rp 100.000 per pemakaman jenazah Covid-19 di daerah.

Fakta ini kemudian menimbulkan kecaman banyak kalangan yang mengarah pada persepsi bahwa ini adalah tindakan yang tidak beretika dan bermoral karena pejabat pejabat tersebut kok bisa menerima atau bahkan kok bisa pemerintah daerah menganggarkan honor pada pejabat yang diambil dari hitungan rasa duka dan berkabungnya masyarakat akibat Covid-19.
Meskipun dalam perjalanannya para pejabat tersebut ramai ramai mengembalikan honor tersebut setelah bertubi tubi muncul pemberitaan dan kecamatan pemberitaan baik di level daerah maupun nasional.

Merespon pemberitaan tersebut juga menimbulkan respon beberapa pihak bahwa hal ini adalah tidak menyalahi aturan karena honor tersebut diterima sebagai konsekuensi atas peran dan kerja dari pejabat bersangkutan terutama dalam pelaksanaan pemakaman jenazah Covid-19. Bahkan ada yang ekplisit menyampaikan bahwa ini sudah umum aturannya bahwa dalam setiap aktivitas tim pelaksanaan dan menimbulkan konsekuensi anggaran dari daerah maka dapat disahkan dalam SK atau keputusan untuk mendapatkan honor atas aktivitasnya.

Mengkaji masalah ini dari sisi etika dan moral sangat menarik perhatian saya daripada mendiskusikan aturan karena faktanya kadang rezim keuangan yang berlandaskan aturan yang mengatur kadang luput dalam mengantisipasi dan bahkan memungkinkan multitafsir. Melihat dari sisi etika dan moral ini juga tepat karena faktanya jelas bahwa honor yang diterimakan kepada pejabat ini tidak lazim bukan pada soal besaran nilainya saja tapi juga karena diterima dari hitungan duka masyarakat yang keluarganya meninggal karena Covid-19.

Penilaian etika dan moral dalam penyelenggaraan pemerintahan akan menjadi ukuran penilaian masyarakat terhadap baik tidaknya integritas organisasi atau pemerintahan. Integritas pemerintahan akan dinilai berdasarkan pada integritas publik dari sosok pejabat pejabat pemerintahan tersebut. Integritas publik tidak cukup dinilai dari sudut aturan formal namun yang justru lebih penting adalah pada kualitas perilaku seseorang (pejabat) yang sesuai dengan nilai-nilai, standar dan aturan moral yang diterima oleh masyarakat (Haryatmoko, 2011).

Dalam konteks pengelolaan keuangan negara etika dan moral ini juga perlu menjadi acuan. Sebagaimana yang disampaikan Prodhan (1994) dalam Ludigdo (2002), etika dapat didefinisikan sebagai bentuk perilaku manusia yang memasukkan tujuan, norma, baik, benar dan pilihan dalam hubungannya dengan lainnya, memperhatikan etika ini juga penting digunakan dalam pengelolaan keuangan yang seringkali dilihat sebagai disiplin positif yang bernilai netral lebih cenderung mempertimbangkan efisiensi tanpa memperdulikan konsekuensi sosial yang menyertainya.

Menurut pandangan ini dalam pengelolaan keuangan mestinya Eksekutif juga diharapkan untuk menjunjung standar perilaku etika yang tertinggi berkaitan dengan praktik-praktik keuangan dalam rangka untuk membenarkan kepercayaan publik yang dialamatkan pada mereka.

Namun memahami persepsi tindakan etis dan tidak itu selalu diukur dalam instrumen etika yang dilegalkan dalam instrumen aturan.

Padahal faktanya banyak celah dalam instrumen aturan ini yang kadangkala menampakkan kelemahannya untuk tidak menampung substansi pengembangan etika itu sendiri sebagai standart patokan kode etik. Tidak salah jika White & Lam (2000) dalam (Ludigdo;2006) menjelaskan sebuah latar dapat munculnya dilema etis dalam kondisi ini dan menyebabkan situasi dilematis.

Situasi dilematis ini bahkan cenderung mendorong berlangsungnya perilaku tidak etis dalam organisasi. Hal ini disebabkan tiga faktor pendukung perilaku tidak etis yaitu Means, motivation dan opputunity.

Dorongan Individu-individu lebih suka menghadapi dilema etis jika, Pertama organisasi tidak memberikan ”means” untuk mencegah perilaku tidak etis: Means dalam hal ini adalah aturan, kebijakan dan prosedur dalam suatu organisasi yang secara spesifik dipakai sebagai standart dan memunculkan ruang tafsir pembenaran;

Kedua Individu-individu mempunyai personal ” motivation”yang didapatkan dari perilaku tidak etis. Bagaimanapun individu-individu yang berada dalam organisasi berangkat dari berbagai motivasi diri yang juga diwarnai oleh system nilai yang dibawanya. Ketika sistem nilai yang berkembang dalam organisasi tidak mendorong individu untuk berperiaku etis, maka motivasi untuk mencapai kebutuhan dirinya dapat dilakukan dengan segala cara.

Ketiga, posisi kerja memberikan ”opportunity” untuk mendorong praktik tidak etis. Perilaku tidak etis dapat berangkat dari posisi kerja yang dimiliki oleh individu dan ini memiliki ruang kesempatan yang dimiliki untuk berperilaku tidak etis dan sangat tergantung pada keberadaan means dalam lingkup organisasi.

Menerjemahkan pemahaman diatas perilaku tidak etis dengan adanya honor pejabat yang didapatkan dari pemakaman jenazah karena Means (aturan) yang memang menemukan ruang tidak jelas, bahwa regulasi pemerintah pusat hanya memberi guidens bahwa dalam penanganan Covid-19 yang diatur hanya untuk insentif tenaga kesehatan.

Ruang tidak jelas ini kemudian diterjemahkan bahkan salah diterjemahkan dengan mengutip Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119/PMK.02/2020 tentang Standar Biaya Masukan (SMB) Tahun Anggaran 2021 sebagai sandaran regulasi yang kemudian disanggah boleh kementerian keuangan bahwa PMK 119/2020 tentang SBM 2021 tidak ada norma yang secara spesifik mengatur penanganan Covid-19.

Aturan PMK 119 ini menurut kemenkeu mengatur ketentuan tentang standar biaya kegiatan-kegiatan pemerintah pusat yang pendanaannya bersumber dari APBN, dan daerah tidak punya kewajiban merujuk PMK tersebut, apalagi jika sumber pendanaan berasal dari APBD. Jika mengacu pada pernyataan ini memang dapat dibenarkan banyak kasus beberapa daerah yang ketika akan menganggarkan APBD untuk pemakaman jenazah Covid-19 maka dibuat perbup yang perinciannya jelas diatur dan tentunya berdasarkan asas keadilan dan kepatutan sebagaimana digariskan dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 pasal 3, prinsip dasar pengelolaan keuangan negara yakni keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perUU-an, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

Perilaku individu individu memaksakan ruang tidak jelas tentunya didasari atas motivasi para pelaku yang bertanggung jawab secara tehnis dalam pengelolaan keuangan tersebut yang di dukung opportunity atau peluang dari posisi yang dimiliki untuk bertindak dengan mengambil keuntungan pribadi dengan adanya honor yang tidak disertai ukuran pertimbangan etika dan moral. Ini akan lain jika tidak memaksakan ruang yang tidak jelas dengan mempetimbangkan ulang dari kacamata etis tidaknya bukan kacamata keuntungan pribadi yang dilegitimasi tafsir aturan yang sebenarnya masih daalm ruang yang tidak jelas.

beras