Elit Tebar Pesona di Tengah Pagebluk
Oleh: Julfikar Sangaji (Aktivis di Perkumpulan TARUPA Halmahera)
Gegap-gempita rakyat melayangkan protes atas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM. Namun, hembusan suara itu bak melempar garam di tengah lautan. Tak ada gunanya! Kebijakan itu tak kunjung dicabut, tapi justru diperpanjang. Katanya untuk memutus rantai penularan tapi data disembunyikan.
Di samping itu, pagebluk kian berkecamuk, seiring dengan vaksin yang digelontorkan pemerintah pusat tidak merata.
Pada ruang pertunjukkan terpisah, beberapa pemuka Negara, sekaligus merangkap pucuk-pucuk pimpinan partai politik maupun lembaga negara, mestinya bersimpati dengan situasi yang cenderung memburuk ini, dengan bergegas mengambil peran selayaknya ada setumpuk beban. Tetapi tidak.
Mereka, lebih terkesima muncul di papan pajangan iklan, sebagai angan-angan batu loncatan kampanye diri. Menyongsong politik elektoral 2024. Dalam desas-desus yang berhembus, pemuka itu terseret timbul, ialah manusia yang dalam beberapa laporan survei, gamblangnya menguraikan popularitas dan elektabilitas mereka masih berada di kolong harapan.
Menghendaki itu, tindakan mereka seolah-olah memberi sinyal tegas atas hasrat sebuah tapuk kekuasaan, diiringi deretan siasat politik, bahwa, persetan dengan musibah yang melanda. Salah satu, siasat itu, mendorong mereka menyerbu beragamnya sarana publikasi untuk promosi diri, dengan frasa lain “sedang menebar pesona”.
Padahal, rakyat begitu was-was menanti kemurahan hati, para pentolan itu untuk tampil bak super hero di Film The Avengers. Namun, penantian itu pupus: untuk bertahan hidup di gelombang wabah ini amat runyam, akibat dari sederet kebijakan yang mereka cetuskan berat sebelah.
Lain tempat, pontang panting mesin ekstraktif, tanpa henti mengaung-mengeruk untuk merusak Bumi. Lantas, mereka tak dikenai apa yang disebut dengan PPKM, dalihnya, pekerjaan termasuk dalam kategori Strategis Nasional Negara. Namun Ironi, bila hal itu ialah pedagang atau sejenisnya. Maka jangan sekali-kali melanggar yang ditetapkan “Negara Caplok”. Tentu akan berakibat sangat fatal.
Mungkin, kita sedang berebut keadilan, tapi malangnya kurang beruntung, karena terlebih dulu dicaplok Oligarki. Segelintir manusia itu, konon diketahui memiliki relasi Global nan begitu kompleks dan demi kekayaan mereka rakus terhadap isi Bumi. Tak tanggung-tanggung, mereka menyusupi Negara hingga membuat onar, tapi juah dari sebutan: itu salah. Apalagi, dengan hajatan yang digaungkan sebagai perhelatan ter-spesial nantinya, akan mustahil bila mereka berpaling.
Istilah “Ijon politik” memang bukan lagi rahasia. Mereka yang tampil menebar pesona itu, pastinya terhubung kuat dengan manusia-manusia dibalik layar: tapi memiliki dan menyediakan besaran modal yang setiap waktu siap dikucurkan. Bukan berarti, relasi itu terjalin “cuma-cuma”. Namun sebaliknya, deretan konsensus adalah kompensasi.
Secuil manusia itu, barangkali tak mengetahui apa itu krisis, apa itu susah, atau pun apa itu sekarat. Tidak dengan kita. Selalu terlintas dalam kognitif akan sesuatu, hanyalah ‘nilai lebih’ alias labah yang cenderung memberi untung.
Kesialan kita, adalah menaruh harapan yang berlebihan kepada negara, nan seolah-olah bahwa negara ini seadil-adilnya bak bapak dan ibu kala kita kecil: mengetahui apa yang kita rasakan, butuhkan, tanpa harus melepaskan suara, secukupnya dengan gerak, sekonyong-konyong secara naluriah mereka pun mengerti. Tapi sekali lagi, inilah negara yang selalu berbanding terbalik dengan idealnya ekpektasi.
Bila sekarang ini, kamu bermimpi, bahwa kamu adalah bagai sumur air ditengah gurun pasir, yang bertapa dirindukan bagi mahluk hidup, seyogianya itu hanyalah mimpi yang baik untuk kamu. Namun, sesaat kamu terbangun baiknya pula diurungkan, oleh sebabnya kamu bukan bagian dari mereka. Dan bersiaplah, hidup tengah keterancaman dan kepunahan.