Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Rahmawati Husein. (Foto: Twitter @muhammadiyah)
Rahmawati Husein. (Foto: Twitter @muhammadiyah)

Fikih Bencana ala Rahmawati Husein



Berita Baru, Tokoh – Alam tidak saja soal keindahan, tetapi juga kesejahteraan. Untuk hidup berdampingan dengannya, menjaganya, berbagi dengannya, perempuan dan laki-laki penting untuk bekerja sama. 

Namun, seperti dituturkan Wakil Direktur Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) dalam sesi #Bercerita ke-41 Beritabaru.co pada Selasa (30/3), selama ini yang terjadi, hanya perempuanlah pihak yang lebih dekat dengan alam.

Budaya merupakan faktor utama yang menempatkan perempuan di posisi tersebut, yaitu posisi domestik, seperti mencuci yang melibatkan air, memasak yang mengandaikan adanya kayu—untuk kasus pedesaan—menjemur pakaian yang menuntut adanya udara baik, dan sebagainya. Adapun laki-laki, lebih banyak membunuh waktunya di luar rumah. 

Di waktu bersamaan, Rahmawati melanjutkan, potret dekatnya perempuan dengan alam bermakna perempuanlah yang lebih rentan terpapar bencana. Untuk kasus gempa bumi saja misalnya, dengan asumsi bahwa yang memakan korban adalah reruntuhan bangunan, perempuan dan anak memiliki risiko kematian lebih tinggi dibanding laki-laki lantaran kebanyakan waktu mereka dihabiskan di dalam rumah.

Secara kebiasaan dan psikis, perempuan pun lebih rentan. Pasalnya, ketika bencana sedang berlangsung mereka terdorong untuk memikirkan nasib anggota keluarga lainnya dibanding dirinya, sehingga, ibarat kabur, mereka akan tertinggal di paling belakang.

Tidak hanya itu. Secara pakaian, perempuan seolah dilemahkan pula, yaitu rok atau sarung. Sederhana logikanya, saat ada gempa umpamanya, mereka akan sulit untuk berlari akibat konstruksi model pakaiannya. 

“Jadi kerentanan perempuan itu penyebabnya berlapis. Dari segi budaya domestik, pakaian, dan kebiasaan untuk lebih mementingkan anggota keluarga lain. Pun, jadinya wajar ketika BNPB menyebut, perempuan dan anak memiliki kerentanan terdampak bencana 14x lipat dibanding laki-laki,” ucap dosen sekaligus asisten profesor di UMY tersebut.

Para perempuan bencana

Ibarat nahkoda hebat selalu lahir dari laut dengan ombak dan badai yang mengerikan, soal mitigasi bencana perempuan lebih memiliki potensi. Menurut Rahmawati, dalam hal ini perempuan unggul dari dua sisi, internal dan eksternal. Pertama merujuk pada ketangguhan mereka yang tidak bisa diragukan, khususnya para ibu-ibu dari kelas menengah ke bawah. Ketangguhan mereka terlatih secara alami oleh budaya. 

Kedua menunjuk pada kemampuan untuk cepat bangkit dari keterpurukan dan solidaritas. Dimungkiri atau tidak, perempuan lebih peduli satu sama lain. Ketika ada tetangga terkena bencana, dengan cepat mereka memberikan bantuan melalui jaringan-jaringan yang sebelumnya sudah terbentuk. 

“Yang paling jelas itu saat adalah posko nasi bungkus. Saat kabar bencana berhembus, para ibu-ibu itu langsung tanggap secara sigap. Berkabar ke sana kemari dan memasak bareng untuk korban bencana,” ulas Rahmawati.

Meski demikian, mereka tetaplah manusia yang disempurnakan dengan adanya celah-celah. Dan tentang ini, Rahmawati merasa bahwa para perempuan seyogianya selalu mencoba untuk bertahan dengan prinsipnya, dalam arti tidak sampai tergoda dan mau disogok baik oleh pihak berkepentingan yang berkeinginan merusak hutan ataupun oleh suami. 

Jika bisa, perempuanlah yang hendaknya memengaruhi pasangannya agar tidak terlibat dalam kegiatan perusakan alam, baik pembakaran, pencurian kayu, dan semacamnya. Lebih bagusnya lagi, Rahmawati melanjutkan, para perempuan mampu mengakomodir komunitas ibu-ibu di tempatnya masing-masing secara terpadu dan berjejaring guna melakukan advokasi pada pemerintah agar kebijakan yang diterbitkan selalu pro pada alam, pada hutan.

Eksploitasi SDA sebagai penyebab mendasar bencana ekologis

Mengapa perempuan penting melakukan beberapa hal di muka sebab, pertama, merekalah yang lebih punya kesadaran dan pengalaman soal alam dan bencana. Kedua, karena eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) adalah dalang utama di balik beruntunnya bencana alam dan terakhir lantaran perempuan, seperti sudah disinggung, bersama dengan anak merupakan pihak paling terdampak.

Untuk alasan terakhir, Rahmawati mengungkap, akibat fakta tersebut, MDMC  menelurkan beberapa program mitigasi bencana entah di level preventif ataupun tanggap darurat.

Untuk alasan terakhir, Rahmawati mengungkap, akibat fakta tersebut, MDMC  menelurkan beberapa program mitigasi bencana entah di level preventif ataupun tanggap darurat. Di level pencegahan, MDMC mengadakan program Keluarga Tangguh Bencana (KTB) yang fokus pelatihan identifikasi risiko dengan perempuan sebagai aktor utama, Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) yang condong ke arah sosialisasi terkait mitigasi bencana, dan Masyarakat Tangguh Bencana (MTB) yang sasaran bidiknya lebih luas dibanding KTB. Beberapa program ini bertujuan mengurangi risiko ketika terjadi bencana. 

Adapun di level tanggap darurat, MDMC melakukan pendampingan ketika bencana sedang berlangsung, meliputi penyediaan fasilitas seperti kamar mandi yang ramah perempuan, penyediaan pembalut, dan pakaian dalam. 

“Ini penting sekali sebab dalam situasi bencana, beberapa hal remeh tapi mendasar itu, perempuan sangat membutuhkannya,” ujar perempuan yang menyelesaikan program master dan doktornya di Amerika ini.

Lebih jauh, tentang mitigasi berbasis gender, sebenarnya pemerintah sudah melalukannya, yakni melalui Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (Perka BNPB) nomor 13 tahun 2014 dan Peraturan Menteri Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Permen Kemen PPPA) nomor 13 tahun 2020. Di dalamnya, perempuan dan anak mendapatkan perhatian khusus. Hanya saja, implementasinya kurang. Perempuan di level masyarakat jarang dilibatkan, kerja sama dengan beberapa komunitas atau organisasi yang bersinggungan langsung di lapangan pun kurang, dan yang membuat ngilu, regulasi dan program seperti ini baru terbit pascabencana (reaktif), bukan sebelumnya (mitigatif).

Menuju kesadaran berbasis tata kelola ruang

Penyebab kedua terjadinya bencana ekologis jatuh pada minimnya kesadaran tentang pengelolaan tata ruang. Di banyak tempat di Indonesia, tutur Rahmawati, kita bisa dengan mudah menemukan bangunan rumah yang mepet sama sekali dengan laut atau berada di atas lereng bukit yang begitu miring. 

Pemerintah daerah, di beberapa tempat, barangkali sudah menerbitkan aturan larangan pembangunan, tapi  tetap saja dibangun rumah di atasnya. Potret beginilah, terbatasnya kesadaran masyarakat, menurut Rahmawati yang berpotensi besar meningkatkan risiko saat terjadi bencana.

“Ya jika kita memang ingin risiko bencana berkurang, baik pemerintah dan masyarakat harus saling mendukung. Peningkatan kesadaran ruang di level masyarakat dan kebijakan yang baik dari pemerintah adalah kunci untuk kasus ini,” tegas Rahmawati.

Di tingkat nasional, di benak Ibu Ama, sapaan akrabnya, orientasi pembangunan negara juga perlu dijangkarkan pada mitigasi bencana. Kesejahteraan jelas merupakan poros, namun dalam implementasinya, jika itu tidak diimbangi dengan pemahaman mitigatif, maka yang akan terjadi hanyalah penundaan dan penundaan. 

Dana yang harusnya dialokasikan untuk bantuan sosial, dialihkan untuk bencana. Dana itu, untuk bencana ini dan sebagainya, sehingga alih-alih sejahtera, yang menyapa justru membuang tenaga. Jadi, betapa pun, basis mitigasi bencana penting dimasukkan di perencanaan pembangunan nasional.

“Dan satu lagi: dikawal. Tahun 2020 kemarin, mitigasi bencana sudah dimasukkan di perencanaan pembangunan nasional memang, tapi jika tidak diawasi selalu, hasilnya akan nihil,” ungkap Ibu Ama.

Paling tidak, Rahmawati menambahkan, hal ini penting untuk mengantisipasi tiga (3) hal. Pertama, bonus demografi dengan dampak urbanisasinya yang akan semakin menyempitkan lahan di kota. Kedua, kondisi geografi Indonesia dengan daratan layak huni–dalam arti sehat untuk dibangun rumah di atas–yang jauh lebih sedikit dibanding lautan dan gunung atau pegunungan, sehingga jika tidak ada kesadaran tata kelola ruang yang baik dampaknya bisa pada peningkatan risiko saat bencana. Ketiga, faktor geologis dengan kemungkinan gempa bumi yang tinggi. 

“Meski terkesan rumit, tapi asal kita mau berjejaring, terpadu, bekerja sama, untuk menjaga alam, maka semua akan baik-baik saja. Pasti alam akan menjaga jika kita menjaganya,” pungkas Rahmawati.

beras