Gelar Webinar Nasional Ke-13, HISKI Jember Diskusikan Spiritualitas dalam Puisi
Berita Baru, Jember – Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerja sama dengan Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Univesitas Jember (FIB UNEJ), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Univesitas Jember (FKIP UNEJ), Jurnal Semiotika, Kelompok Riset Sastra, Tradisi Lisan, dan Industri Kreatif (KeRis SasTraLis-Inkrea), dan Kelompok Riset Pertelaahan Sastra Konteks Budaya (KeRis PERSADA), usai gelar Webinar Nasional bertajuk NGONTRAS#13 (Ngobrol Nasional Metasastra ke-13), mendiskusikan persoalan puisi, Sabtu (27/8/2022).
Dengan tema “Spiritualitas dalam Puisi,” Webinar Nasional yang diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting ini menghadirkan Dr. Aprinus Salam, M.Hum. (FIB Universitas Gadjah Mada) dan Dr. Akhmad Taufiq, M.Pd. (FKIP Universitas Jember). Moderator adalah Zahratul Umniyyah, S.S., M.Hum., anggota HISKI Jember sekaligus dosen FIB UNEJ, sedangkan pewara Muhammad Rizqi Hasan, mahasiswa Sastra Indonesia FIB UNEJ.
Aprinus Salam, sebagai pembicara pertama, mengawali presentasinya dengan memberi gambaran bahwa manusia pada hakikatnya memiliki sisi spiritual, di antaranya terkait dengan rohani. Spiritual menurutnya bersifat nonkontekstual. Dicontohkan bahwa darah, daging, tulang, rambut, maka kapan saja dan di mana saja tetap darah dan daging. Namun, ketika hal itu terikat dalam konteks tertentu, maka akan menjadi hal yang lain. Bukan lagi netral, tidak lagi menuju spiritual. “Yang namanya spiritual itu bebas konteks, tidak ada konteks apa pun,” kata Aprinus yang juga Koprodi Magister Sastra UGM.
Kemudian dijelaskan tentang konsep spiritual itu sendiri. Menurut Aprinus, syarat atau kaidah untuk disebut spiritual haruslah bebas atau tidak terikat ruang-waktu, bebas konteks, tidak berjenis kelamin, tidak berideologi, dan tidak berkarakter. Di sisi lain, disebutkan pula bahwa spiritual juga tidak berhasrat dalam pengertian manusiawi, tidak terikat aturan, dan bebas kelas. “Kajian tentang spiritualitas dalam puisi berarti kajian yang menguji apakah sebuah puisi mampu memenuhi kaidah tersebut atau tidak. “Kalau puisi terikat tujuan atau kepentingan tertentu, maka aspek spiritualitasnya menjadi gugur,” jelas Aprinus, kolumnis koran Kedaulatan Rakyat sejak mahasiswa.
Dipaparkan pula bahwa spiritualitas itu sangat halus atau estetik. Dalam lapis tertentu bertumpang tindih dengan kesucian, kebersihan, kasih sayang, dan semua nilai-nilai yang mampu mengintegrasikan sesuatu yang bersifat spiritual. Mengapa kajian tentang spiritualitas menjadi penting? “Karena mengajarkan, mengingatkan, atau mendorong manusia untuk terus berjalan dan menjadi manusia spiritualis,” kata Aprinus.
Dalam menjawab pertanyaan, Aprinus menjelaskan bahwa spiritualitas berbeda dari religiositas. Religiositas merupakan spiritualitas yang mengalami kontekstualisasi tertentu. Dicontohkan, misalnya kontekstualisasi agama Islam dengan religiositasnya sendiri. Agama Katolik dengan religiositasnya sendiri. Artinya, spiritualitas yang masuk ke ruang-ruang tertentu, akan menjadi religius. “Tetapi dalam tataran spiritualitas, semua agama bisa bertemu. Semua agama mengandung dimensi spiritualitas. Dalam dimensi tersebut, semua agama bisa bertemu,” tandas Aprinus.
Akhmad Taufiq, sebagai pembicara kedua, mengawali presentasinya dengan mengilustrasikan kisah Semar Mencari Raga karya Sindhunata. Dalam kisah tersebut, roh Semar bergentayangan atau melakukan pengembaraan dalam mencari raga. Ketika bersentuhan dengan tanah, roh tersebut kemudian menjerit-jerit karena kesakitan. Dijelaskan bahwa roh bersifat universal, tidak terikat oleh sesuatu. Proses materialisasi roh Semar menghadirkan rasa sakit yang luar biasa. Disebutkan bahwa aspek-aspek duniawi dan konstruksi, seperti politik, labeling-labeling, mengakibatkan rasa sakit. “Untuk itu, manusia berusaha melakukan pembebasan. Upaya pembebasan manusia, di antaranya untuk mengubah dari materialitas ke immaterialitas, merupakan kerja spiritual yang tidak mudah,” kata Taufiq, Pendiri Forum Sastra Timur Jawa.
Dijelaskannya bahwa secara esoteris spiritualitas dimaknai sebagai konsep yang luas dan dalam dari sebuah kehidupan manusia. Ia menyangkut sumber dari energi batiniah manusia. Secara lebih khusus, konsep ini dapat direnungkan dan dimaknai kembali, bahwa spiritualitas tidaklah semata menyangkut hal-hal elementer dan permukaan, tapi lebih hakiki menyangkut aspek rohaniah manusia. “Oleh karena itu, spiritualitas puisi akan mempertanyakan kembali dari mana sumber energi atau energi rohaniah dari puisi itu diciptakan,” kata Taufiq, penerima Anugerah Penghargaan Puisi Dunia Numera Malaysia (2014) dan Anugerah “Sutasoma” Balai Bahasa Jawa Timur (2018).
Dalam paparannya, Taufiq juga mengutip beberapa puisi dan membacakan sebagian teksnya, yang dinilainya menjadi jalan spiritual. Puisi tersebut di antaranya berjudul “Bismillahirrahmaanirrohim” karya M. Aris Hj. Hamzah (Singapura), “Manusia Demi Manusia” karya Suratman Markasan (Singapura), dan “99 Warna Cinta” karya Iberamsyah Barbary (Banjar, Kalimantan Selatan). Penyair yang disebutkan terakhir, menurut Taufiq, dapat dikatakan sebagai raja gurindam saat ini. “Dari beberapa karya tersebut, hakikat spiritualitas adalah ketika manusia mampu menyandarkan dirinya setinggi-tingginya kepada Allah atau Tuhan. Bahkan keberhasilannya diukur dari bagaimana dia mampu meniadakan dirinya,” jelas Taufiq.
Ketika menjawab pertanyaan, Taufiq menjelaskan bahwa dalam konteks tradisi Islam, terdapat tiga kata kunci yang menunjukkan tataran spiritualitas, yakni lillah (karena Allah), billah (dengan Allah), dan fillah (di dalam Allah). Hal ini menunjukkan hakikat Tuhan, dan relevan dengan konteks puisi spiritual. Dijelaskannya bahwa pada tataran fillah, maka manusia tidak ada, yang ada Tuhan. Kalau dia masih mengatakan ada, maka dia takabur. Tingkatan ini paling berat. Kalau tidak mampu, kita turunkan menjadi billah, yakni semua pekerjaan dikerjakan dengan Allah. Kalau kita masih melakukan maksiat misalnya, berarti kita belum bisa menjalani tingkatan billah. Kita turunkan lagi menjadi lillah, semua karena Allah. Kalau yang kita lakukan karena jabatan, karena politik, atau karena yang lain selain Allah, maka kita juga belum mampu menjalani lillah. “Oleh karena itu, puisi-puisi spiritual itu memang tidak mungkin kalau tidak ditulis oleh orang-orang yang mengikuti jalan sufistik. Tidak lagi butuh duniawi,” tandas Taufiq.
Acara NGONTRAS#13 yang diikuti sekitar 330-an peserta, dilanjutkan dengan berdiskusi interaktif hingga acara berakhir. Sesi penutupan dilakukan oleh pewara dengan pantun: Dahan ranting tidak peduli, daun kering yang tenggelam. Terima kasih atas diskusi ini, mengobati kerinduan yang mendalam.
Bagi yang berhalangan bergabung, rekaman zoom dapat disimak ulang melalui HISKI JEMBER OFFICIAL, https://bit.ly/YoutubeHISKIJember.***