Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Gelar Webinar Sastra, FKIP Universitas Cenderawasih Bicarakan Kepedulian Pengarang terhadap Bumi dan Kemanusiaan
Tangkapan layar Webinar Sastra

Gelar Webinar Sastra, FKIP Universitas Cenderawasih Bicarakan Kepedulian Pengarang terhadap Bumi dan Kemanusiaan



Berita Baru, Papua – Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Cenderawasih bekerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Papua gelar Webinar Sastra Nasional Ketiga dengan tema “Sastra sebagai Representasi Ekspresi Kepedulian Pengarang terhadap Bumi dan Kemanusiaan,” pada Senin, (04/07) Via Zoom Meeting.

Webinar tersebut menghadirkan 6 pembicara dari berbagai kampus di Indonesia, yaitu Prof. Manneke Budiman, S.S., M.A., Ph.D. (Universitas Indonesia), Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum. (Universitas Negeri Jakarta), Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd. (Universitas Negeri Malang), Dr. R. Raymond Fatubun, M.A. (Universitas Cenderawasih), Prof. I Nyoman Darma Putra, M. Litt., Ph.D. (Universitas Udayana), dan dari Balai Bahasa Provinsi Papua, Ummu Fatihah Ria Lestari, S.S., M.A.

Gelar Webinar Sastra, FKIP Universitas Cenderawasih Bicarakan Kepedulian Pengarang terhadap Bumi dan Kemanusiaan

Ketua panitia, Dr. Wigati Yektiningtyas, M.Hum. melaporkan bahwa acara webinar ini terselenggara atas kerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Papua. “Kami mengucapkan terima kasih banyak kepada seluruh elemen yang telah ikut serta menyukseskan acara ini,” sambutnya.

Webinar dilanjutkan dengan sambutan yang disampaikan Dekan FKIP Uncen, Drs. Yan Dirk Wabiser, M.Hum., Kepala Balai Bahasa Provinsi Papua Drs. Muhammad Muis, M.Hum., dan Rektor Universitas Cenderawasih, Dr. Ir. Apolo Safanpo, S.T., M.T.

Acara dilanjutkan diskusi pleno pemaparan materi oleh 6 narasumber.

Pemateri pertama, Manneke Budiman, menyampaikan paparan berjudul “Memikirkan Kembali Keterlibatan Sastra Dalam Kehidupan”.

Mengawali paparannya, Budiman menyampaikan beberapa pertanyaan berkaitan dengan materi yang akan dipaparkannya. Dalam pandangan posmodernis, sastra memiliki kuasa (power) tanpa batas, tetapi pada saat bersamaan, sebagai akibatnya, juga merupakan ruang tanpa kuasa apapun (unpower).

Sementara itu, pandangan antroposentrisme yang melahirkan humanisme, menekankan sentralitas manusia dalam kehidupan. Dalam upaya merawat bumi, “Sastra tidak harus berisi advokasi atau promosi yang eksplisit bagi perlindungan dan pelestarian alam,” jelas Manneke.

Manneke juga memberikan contoh karya-karya sastra ekologis. “Cerpen berjudul “Lelaki Tua Beraroma Kebun”, karya Linda Christanty, “Laluba”, karya Nukila Amal, dan Kumpulan Puisi berjudul Kekasih Teluk karya Saras Dewi,” paparnya.

Pemateri kedua, Ummu Fatihah membawakan presentasi dengan judul “Novel Indonesia-Papua dalam Dua Dekade 2000–2020”.

Ia mengatakan bahwa sejarah kesusastraan Indonesia-Papua sepanjang tahun 2000–2022, sampai saat ini belum terinventarisasi dan terpublikasi.

Disampaikan Ummu bahwa yang dimaksud novel Indonesia-Papua adalah yang sengaja ditulis dalam bahasa Indonesia, bertemakan kondisi tanah Papua (manusia, kebudayaan, maupun alamnya), berkembang di Papua, dan ditulis oleh siapa saja atau di mana saja.

“Tulisan ini bertujuan mengumpulkan dan membahas karya novel dan novelis Indonesia-Papua pada tahun 2000–2020,” jelasnya.

Dalam penelitiannya, Ummu berhasil menginventarisasi sebanyak 31 novel dari 21 penulis selama dua dekade.

Pemateri ketiga, I Nyoman Darma Putra mempresentasikan makalah dengan judul “Nusantara Bertutur: Arah BaruTradisi Dongeng Indonesia”.

Darma menjelaskan bahwa dongeng sekarang sudah memasuki era baru dengan ciri-ciri yang berbeda dengan sebelumnya.

Pertama, dongeng pada era baru menghasilkan cerita dengan judul, isi, dan pesan yang aktual dengan jiwa zaman. Kedua, tema cerita bergeser dari mitos ke logos.

Ketiga, kalau dulu cerita “Bawang Merah dan Bawang Putih”, “I Belog”, “Kancil dan Lutung”, kini judulnya “Bank Sampah”, “Tari Nusantara”, “Jadilah Suporter yang Baik”.

Keempat, dongeng menjadi sarana pendidikan dan pengetahuan, sedangkan unsur hiburannya tidak semenonjol seperti di masa lalu. Kelima, dongeng juga dimanfaatkan untuk pendidikan karakter yang lebih spesifik, misalnya sikap antikorupsi.

Sebelum memasuki pemaparan materi keempat, acara dijeda dengan Display Video Uncen dan Balai Bahasa Provinsi Papua.

Djoko Saryono sebagai pemateri keempat menjelaskan materi berjudul “Tantangan Pascahumanisme Kepada Kajian Sastra: Merumuskan Model Kemanusiaan Baru”.

Ia mengatakan bahwa pemikiran, teori, dan kajian tentang humanisme baru, pascahumanisme, dan transhumanisme ditawarkan berbagai pihak sebagai bentuk respons terhadap revolusi sains dan teknologi, terutama revolusi bioteknologi, teknologi informasi, teknologi digital, dan revolusi industri keempat.

“Kalangan ilmu kemanusiaan (humaniora) khususnya kalangan bahasa dan sastra perlu berkontribusi dalam proyek pascamanusia, pascahumanisme (transhumanisme), dan humanisme baru dengan melakukan reorientasi, reposisi, dan refokus pengkajian, pendidikan, dan pengembangan bahasa dan sastra,” tegasnya.

Ia mengkritik kecenderungan kajian sastra yang abai terhadap masalah lingkungan.

Pemateri kelima, Raymond Fatubun, memaparkan presentasi dengan judul “Membaca Novel Utopis Brave New World Karya Huxley dengan Latar Buku Sejarah Kontemporer Homo Deus: A Brief History of Tomorrow Karya Harari”.

“Huxley dan Harari mengangkat isu serupa dari sudut pandang fiksi dan fakta. Homo Deus digunakan untuk menerangi Brave New Word dalam diskusi ini. Keduanya dihubungkan dengan psikologi Skinner dan paham Marksisme,” jelasnya.

Pemateri pamungkas, Novi Anoegrajekti membawakan artikel dengan judul “Titian Sastra Nusantara: Suara Timur Niti Negari Bala Abangan”.

Novi mengatakan bahwa sastra adalah representasi dan ekspresi kepedulian pengarang terhadap bumi dan kemanusiaan. Ia memaparkan tiga karya novel karya Hasnan Singodimayan Suluk Mutazilah, Niti Negari Bala Abangan, dan Kerudung Santet Gandrung.

“Hasnan secara konsisten menulis karya sastra dengan latar budaya Banyuwangi dan karya sastra berbasis tradisi lisan berpotensi merepresentasikan identitas kelokalan,” ujarnya.

Novi menjelaskan bahwa kerentanan tradisi lisan berpeluang diatasi dengan melakukan revitalisasi, optimalisasi, dan pewarisan secara lintas generasi. “Novel Niti Negari Bala Abangan secara rinci menyampaikan informasi mengenai budaya masyarakat Using Banyuwangi, yang meliputi filosofi, seni tradisi, ritual, dan kuliner,” tambahnya.

“Para pelaku ritual dan seni tradisi perlu mendapatkan perhatian dan pendampingan (negara, akademisi, peneliti, LSM) agar dapat memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh negara serta alternatif usaha lain untuk mendukung kesejahteraannya,” ujar Novi. “Hal itu menjadi alternatif pengembangan industri kreatif berbasis ritual dan seni tradisi,” tambahnya.

Selesai diskusi pleno dilanjutkan diskusi paralel yang mempresentasikan 22 makalah pendamping.

beras