Gus Khozin Minta BPN Berikan Hak 300 KK Warga Jember yang Berkonflik dengan PT KAI
Berita Baru, Jember – Konflik kepemilikan lahan antara masyarakat dan PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) kembali mencuat, dipicu oleh klaim perusahaan atas tanah berdasarkan Gronkaart, yaitu dokumen yang sah dan sempurna untuk menunjukkan status kepemilikan tanah. Konflik ini telah banyak ditemukan di sepanjang pulau Jawa, salah satunya melibatkan warga Jalan Mawar, Kelurahan Jemberlor, Kecamatan Patrang, Kabupaten Jember dengan PT KAI Daop 9 jember.
Kawasan tersebut telah didiami oleh masyarakat secara bertahap sejak tahun 1932. Tidak hanya korban-korban eksekusi lahan, ketua RW 15 Jemberlor juga telah bermukim di sana sejak tahun 1976. Pada tahun 2016, warta Jalan Mawar kelurahan Jemberlor bersama-sama melakukan pengajuan Sertifikat Hak Milik (SHM) ke kantor ATR BPN Jember, akan tetapi ditolak dengan alasan adanya indikasi kepemilikan KAI.
Anggota DPR RI, Gus Khozin dalam sebuah rapat memaparkan bahwa sebanyak 300 KK melayangkan protes atas lahan yang telah mereka tempati bertahun-tahun lamanya di kawasan tersebut.
“Ada kurang lebih 300 KK masyarakat yang sampai detik ini masih terluntang-lantung ketika mereka melakukan perlawanan, diintimidasi, bahkan kemudian dilakukan tindakan kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum juga di sana. Sumber permasalahannya yaitu grondkaart,” papar Gun Khozin.
Lebih mengejutkan lagi bahwa tahun 2019 PT KAI baru mengajukan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) ke BPN Jember, kemudian diterbitkan SHGB tersebut pada 2020. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada tahun 2016 saat warga mengajukan SHM, status kawasan tersebut kosong dan tanpa kepemilikan.
“Tapi secara sepihak, oleh PT KAI dilakukan sertifikasi kepada BPN, BPN berpatokan kepada gronkaart tadi dan kemudian menerbitkan atau menganulir SHM-nya. Dan ketika masyarakat atau rakyat kecil berhadapan dengan negara, bisa ditebak siapa yang kalah, pasti rakyat,” imbuhnya.
PT KAI memulai eksekusi lahan secara bertahap pada 6 rumah milik warga. Eksekusi tersebut dinilai melanggar hukum karena dilakukan tanpa surat perintah eksekusi dan juru sita resmi dari pengadilan negeri. Selain itu, dalam pelaksanaannya juga terdapat kekerasan dan aksi pemukulan terhadap anak di bawah umur serta adanya pencurian dokumen Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas nama warga penghuni.
Padahal, konflik kawasan tersebut sudah seharusnya tidak merugikan warga. Merujuk pada KEPRES No. 32 Tahun 1979 pasal 5 yang berbunyi, “Tanah-tanah perkampungan bekas hak dan hak pakai asal konversi hak barat (bekas SHGB usaha) yang telah menjadi perkampungan atau diduduki rakyat akan diprioritaskan kepada rakyat yang mendudukinya.” maka seharusnya saat warga mengajukan SHM, pihak ATR BPN Jember memprioritaskan pengajuan tersebut.
Gus Khozin juga berpandangan bahwa konflik grondkaart harus memiliki titik pijak yang sama tanpa mengesampingkan kebutuhan warga atas tempat tinggal di kawasan berkonflik.
“Saya harap ini harus dilakukan titik pijak yang sama, jangan kemudian aspek grondkaart itu dilihat dengan kacamata kuda hanya aspek yuridis saja. tapi tolong pertimbangkan juga aspek sosiologisnya, aspek psikologisnya, serta aspek historisnya,” paparnya.
Anggota DPR RI dapil Jember tersebut juga mengemukakan pendapatnya bahwa harus ada win-win solution untuk mengatasi konflik ini hingga akarnya tanpa harus melibatkan kekerasan.
“Ada ganti untung untuk masyarakat atau masyarakat diberikan SHGB-nya untuk kemudian bisa mendiami selama 30 hingga 40 tahun, sembari dilakukan pendekatan-pendekatan persuasif, edukatif, agar tidak terjadi gesekan-gesekan di masyarakat,” pungkasnya.