Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Hancurnya Kedaulatan Rakyat!

Hancurnya Kedaulatan Rakyat!



Oleh: Syaiful Anam (Penulis Rentan yang Selalu Lapar)

Covid-19 melanda negara Indonesia pasca kontetasi pemilihan umum 2019 lalu. Masa di mana presiden dengan optimis bisa membawa bangsa ini pada nasib yang lebih baik. Alih-alih dapat memaksimalkan peningktan kesejahteraan, negara ini jatuh dalam keterpurukan untuk kesekian kalinya. Perlu ditekankan saat ini, wabah bukan penyebab dari jatuhnya negara ke dalam kubangan krisis, akan tetapi wabah Covid-19 ini menelanjangi krisis multidemensional yang dialami oleh negara ini. Artinya sebelum wabah datang menjadi persoalan yang akut, negara ini sudah kacau balau.

Peningkatan Covid-19 di Indonesia dari waktu ke waktu semakin parah. Ada 3.804. 943 kasus terkonfirmasi positif, dan 115.096 terkonfirmasi meninggal karena wabah ini. Angka ini bukan hanya sekedar hitung-hitungan statistik mengenai jasad ribuan bahkan jutaan manusia yang terpapar sekaligus meninggal, melonjaknya Covid-19 menunjukkan sisi lain yang perlu dikemukakan. Wabah hadir sebagai ‘bencana’ yang memperparah sekaligus membuka kedok mandengnya demokratisasi di ruang-ruang publik.

Dalam beberapa waktu ini publik luas dibenturkan dengan pelbagai macam rentetatan kebijakan. Lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB, dan terakhir Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM. Tentu saja, ini bagian dari upaya untuk menekan angka pertumbuhan wabah, tetapi kebijakan demikian tidak terhubung dengan kehendak rakyat secara luas, utamanya bagi mereka yang rentan secara sosial dan ekonomi. Pedagang kecil kaki lima, para pekerja kontrak yang tidak jelas jam kerjanya (precariat), dan status sosial lainnya.

Situasi di tengah pandemi diperparah dengan praktik ‘rent seeking’ yang semakain jamak dijumpai. Korupsi dana bansos adalah salah satunya. Pun begitu, ada kecenderungan dari rezim saat ini yang menggunakan pendekatan militeristik untuk melakukan pendisiplinan. Persoalan yang perlu dikemukakan ‘mengapa pemerintah menggunakan pendekatan militeristik untuk menekan angka pertumbuhan Covid-19 alih-alih daripada mewujudkan kesadaran bersama terkait anjuran medis’.

Penulis tertarik dengan apa yang dikemukakan oleh Greeg Fealy dalam essaynya Jokowi in the Covid-19 Era: Repressive Pluralism, Dynasticism and the Overbearing State. Di dalam tulisan yang cukup bernas itu, Fealy memaparkan dengan teliti dan jelas bagaimana kekacauan/sengkarut pemerintahan di tengah pandemi.

Fealy menuliskan bahwa Jokowi lebih memprioritaskan ekonomi di atas kesehatan masyarakat, selain itu dia juga meninggalkan komitmen untuk menegakkan serangkaian hak-hak sipil yang justru berperan penting bagi demokratisasi. (Fealy, 2020). Prioritas menyematkan ekonomi nasional terbukti dari komposisi tim pemulihan ekonomi nasional dan tanggap Covid-19 yang terbentuk pada pertengah bulan Juli 2020. Komposisi di dalamnya lebih banyak para ekonomi dan pengusaha daripada ahli medis.

Di tengah bencana wabah yang terus melanda sejak tahun 2020 sampai saat ini, pemerintah tetap berupaya meyakinkan bahwa Indonesia sebagai tempat yang cukup baik dan adaptif terhadap kepentingan para investor dan para wisatawan. Kenyataan ini semakin membuka hal-hal di luar wabah yang semakin memperparah bagi perkembangan wabah itu sendiri. kita melihat pemeritah dengan tertatih untuk melakukan upaya menekan wabah, tapi di sisi lain kita juga dihadirkan dengan kenyataan politis bahwa pemerintah juga abai terhadap kesehatan dan kerentanan tubuh sosial masyarakat itu sendiri.

Demi keberlangsungan pelbagai macam agenda politik dan ekonomi nasional pada akhir bulan Mei tahun 2020, Jokowi memutuskan untuk melonggarkan pembatasan dan menghidupkan kegitan ekonomi secepat mungkin. (Fealy, 2020). Terang dalam ingatan kita bagaimana istilah ‘new-normal’ direproduksi dipelbagai macam kanal media hegemonik.

New-normal seolah-olah membuat kita semua yakin dan mampu keluar dari neraka epidemis ini. Sekalipun kenyataannya, kita tidak pernah beranjak sedikitpun dari ‘krisis’ yang multi-kompleks ini. Agar ekonomi nasional tetap imun dari krisis maka pembatasan sosial seperti Lockdown dan PSBB dicabut dengan catatan masyarakat harus menaati protokol kesehatan.

Pada titik ini, harus ditinjau secara kritis bahwa term ‘new-normal’ adalah istilah yang mendapatkan pijakan politisnya pada ‘agenda keberlanjutan ekonomi’. Tentu saja praktik ekonomi yang kapitalistik: sebuah bencana berkelanjutan yang lebih parah daripada wabah itu sendiri!

Problem krisis kesehatan bukan hanya diakibatkan oleh perhatian pemerintah yang lebih cenderung pada persoalan ekonomi, di sisi lain sistem kesehatan di Indonesia salah satu yang paling kekurangan sumber daya di kawasan Asia Tenggara. Fealy memaparkan dengan jelas bagaimana persoalan sistem kesehatan yang ada di Indonesia. Sistem kesehatan di Indonesia tidak memungkinkan untuk menangani sebaran wabah dalam skala yang sangat besar ini. Hal itu disebabkan, alokasi pendanaan rumah sakit dan klinik kesehatan cukup rendah, rasio dokter per kepala penduduk rendah, dan diperparah oleh tingkat korupsi yang tinggi dalam pengeluaran kesehatan.

Berbeda dengan negara Kuba “pemerintah revolusioner ternyata menjadikan sistem perawatan kesehatan universal sebagai prioritas perencanaan pembangunan…kuba mulai membangun pusat kesehatan desa yang berfokus pada kegiatan preventif dan promotif” (Hugo, 2020). Problem politis semacam ini mengaburkan cara publik untuk berargumen, menyeruaknya tudingan liar bahwa sebaran korona disebabkan oleh ‘bandel’nya orang-orang yang tidak patuh terhadap prokes, tetap melakukan aktivitas dan tidak melakukan vaksinasi. Tetapi mereka tidak pernah sampai pada penjelasan ‘bagaimana problem itu memiliki meta faktor yang saling erat kelindan’.

Menguatnya Kelompok Militer di Tengah Pandemi

Aspek penting yang urgen untuk diperhatikan adalah mobilisasi angkatan bersenjata di tengah pandemi. Jokowi memanfaatkan Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Badan Intelijen Negara (BIN). Menggerakkan tentara di tengah pandemi untuk menekan mobilisasi memang banyak juga dilakukan oleh negara-negara di dunia. Tetapi, khusus Indonesia penggunaan aparat militer tidak berdasarkan dari otoritas sipil melainkan atas nama ‘ancaman keamanan’. Khusus Indonesia, mobilisasi militer sudah berlangsung sejak sebelum pandemi. Ini terjadi sepanjang masa kepresidenan Jokowi untuk memperluas peran apparat keamanan, tidak hanya militer dan inteljen, melainkan polisi. “TNI telah diberikan kekuasaan untuk secara langsung memberikan sanksi kepada warga sipil…TNI dan BIN berperan pula dalam produksi obat anti-Covid -19 dan pengujian Covid-19” (Fealy, 2020).

Sedangkan secara subtantif tugas aparat militer, kepolisian, dan BIN tidak memungkinkan mereka untuk menyentuh persoalan ‘biomedis’. Pertanyaan yang mengemuka ‘kenapa peran aparat militer semakin kuat di tengah pandemi, situasi politik seperti apa yang memungkinkan mulusnya jalan bagi peran militer di ruang-ruang sipil saat pandemi berlangsung?

Penetrasi militer di ruang publik yang bersangkut paut dengan pandemi di mulai saat Jokowi menunjuk salah satu perwira senior untuk menjadi bagian dari ‘komando’ dalam operasi Covid-19. Fealy (2020) Di mulai dari Letnan Jenderal Doni Monardo untuk mengepalai Gugus Tugas percepatan penanganan Covid-19. Setelah itu, pengangkatan Jenderal Andika Perkasa, Panglima Angkatan Darat, menjadi wakil ketua panitia penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Ada relasi kuasa yang hadir dari berlangsungnya pengangkatan tersebut. Pertama, Jenderal Andika memiliki koneksi politik dengan para politisi kawakan terutama Megawati dan partainya PDIP.

Relasi itu dijembatani oleh Abdullah Mahmud Hendropriyono (mertua dari jenderal Andika Prakarsa) seorang jenderal dan tokoh inteljen yang memiliki pengaruh besar. Jenderal andika bukan satu-satunya orang yang memiliki relasi politis dengan para elit politik.

Tokoh lainnya seperti Kunto Arief Wibowo (komandan Divisi Siliwangi Jawa Barat) adalah putra dari Try Sutrisno (mantan wakil presiden) dan menantu dari mantan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Selaian itu, ada juga Maruli Simanjutak (Panglima Pasukan Keamanan Presiden Indonesia) adalah menantu Luhut Panjaitan menteri Koordinator kelautan dan Investasi.

Keterlibatan militer dalam upayan pendisiplinan masyarakat sipil di tengah pandemi berlangsung sejak akhir Mei tahun 2020. Saat mengemukanya kampanye ‘new-normal’ “sekitar 340.000 personil militer dan polisi dikerahkan untuk menegakkan protokol Covid-19” (Fealy, 2020).

Fealy juga menuliskan bahwa penetrasi militer terus berlanjut dengan melakukan patrol di sekitar 83.000 desa. Militer diberikan wewenang untuk melakukan pendsisiplinan serta memberikan sanksi bagi mereka yang dianggap melanggar protokol kesehatan. Fenomena seperti ini, penetrasi militer ke ruang-ruang sipil, adalah kebangkitan kembali pola-pola pendisiplinan seperti orde baru. “This amounted to a significant increase in TNI’s penetration into civilian domains, and many legal observers claimed that the government was in breach of the 2004 TNI law, which states that the military’s role is to defend the nation from external attack, not to ensure domestic security (Koran Tempo 2020h)” (Fealy, 2020). Fenomena tersebut menjadi penanda bangkitnya militer di ruang-ruang sipil. Kedisiplinan dilakukan melalui kontrol represif dari apparat yang erat kelindan dengan kekuasaan di lingkar elit utama.

Indonesia Pasca-Pandemi

Secara historis, pandemi telah memaksa manusia untuk putus dengan masa lalunya dan membayangkan dunianya yang baru. Pandemi yang terjadi saat ini juga sama. Ia adalah sebuah portal, sebuah pintu gerbang di antara satu dunia dengan dunia berikutnya
(Roy, 2020)

Kalimat epik dari Arundhati Roy dalam buku ‘Sains, Wabah, dan Politik’ memberikan kita sebuah harapan akan adanya dunia baru. Kita bisa melampaui situasi ini baik dengan cara berlari atau pun terseok-seok. Dunia yang kita andaikan nun jauh di depan sana. Di mana, entah!

Penulis dengan jujur dipenuhi dengan pandangan pesimis tentang adanya sebuah dunia yang benar-benar ‘baru’ pasca pandemi. Indonesia yang hadir dengan kebaharuannya, tanpa krisis, tanpa penderitaan sebab langkanya ‘keadilan’ yang subtantif. Indonesia yang bersih dari praktik koruptif, Indonesia yang terbebas dari sandera masa lalu (kolusi, korupsi, dan nepotisme). Kecuali semua itu hanya mimpi yang mengambang di atas kepala tanpa menjelma sesuatu yang bisa dirasakan dan kita lihat dengan mata kepala.

Di masa-masa pandemi ini, di mana sebagian besar entitas yang ada di negara ini benar-benar kewalahan, mungkinkah kita akan sampai pada sebuah ‘dunia baru’? dunia yang benar-benar otentik. Bukan dunia yang dilipat dalam heroisme fatalis ‘new-normal’ digelorakan di atas kepentingan ekonomi borjuasi. Jika pun wabah ini dapat dilalui, maka siapa yang akan cepat pulih dan mampu melanjutkan kehidupannya secara layak/normal kembali?

Sedangkan sebagian besar dari rakyat yang rentan secara ekonomi dan sosial tercerabut hak politik dan kedaulatannya berada dalam kondisi terseok-seok. Seperti kata ungkapan ‘Hidup susah mati pun susah’. “Virus Covid-19 memang tidak memandang kelas mana yang terkena. Namun kesehatan itu serta kondisi sosial sendiri ditentukan oleh posisi kelas. Mereka yang kaya raya, berpangkat ataupun memiliki jabatan bisa dengan mudah meminimalisir segala resiko. Termasuk mempertahankan semua keuntungan mereka serta membebankan kesulitan ke pundak kelas buruh dan rakyat pekerja” (arahjuang, 2021).

Indonesia pasca-pandemi tetaplah rahasia dan misterius bagi kebanyakan rakyat kecil, tapi kalkulasi angka yang nyata bagi para elit poltik dan ekonom borjuis untuk kembali mengakumulasi keuntungan-keuntungan secara matematis setelah sekian lama jeda di tengah wabah yang mengerikan ini. Sekian!


  1. https://covid19.who.int/region/searo/country/id diakases pada tanggal 15 Agustus 2021.
  2. In short, they argue that the government has prioritised economic activity over public health, as evidenced by the composition of the National Economic Recovery and Covid-19 Response Team, which was established in mid-July and has many more economists and businesspeople than medical experts. (Fealy, 2020, p. 303).

Daftar Pustaka
arahjuang. (2021, Agustus 10). Politik Di Balik Covid-19: Penindasan Kelas Borjuis dan Penderitaan Rakyat Pekerja. Retrieved from Arahjuang.com: https://www.arahjuang.com/2021/08/10/politik-di-balik-covid-19-penindasan-kelas-borjuis-dan-penderitaan-rakyat-pekerja/
Fealy, G. (2020). Jokowi in the Covid-19 Era: Repressive Pluralism,Dynasticism and the Overbearing State. Bulletin of Indonesian Economic Studies, 56, 301-323.
Hugo, F. (2020, April 16). Korona dan Kuba. Retrieved from Indoprogress.com: https://indoprogress.com/2020/04/korona-dan-kuba/
Roy, A. (2020). Pandemi adalah sebuah pintu gerbang. In Y. N. Harari, S. Zizek, A. Roy, E. Siegel, R. Douthat, H. Marsh, . . . E. Young, Wabah, Sains, dan Politik (pp. 43-57). Yogyakarta: Antinomi.

beras