Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Webinar

HISKI Jember Gelar Webinar Nasional Bahas Politik dalam Sastra



Berita Baru Jatim, Jember – Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia Komisariat Jember (HISKI Jember) bekerjasama dengan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Jember (FKIP UNEJ) dan Kelompok Riset Sastra dan Tradisi Lisan (KeRis TraLis) usai menyelenggarakan Webinar Nasional dengan tajuk NGONTRAS (Ngobrol Nasional Metasastra) pada Sabtu (18/09/2021).

Diselenggarakan via Zoom Meeting, Webinar kali ini mengangkat tema tentang “Politik dalam Sastra”, dengan menghadirkan pembicara dari Universitas Sanata Dharma (USD) Yogyakarta, Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum. dan dari FKIP UNEJ, Dr. Akhmad Taufiq, M.Pd., dan dimoderatori oleh anggota HISKI Jember, Siswanto, S.Pd., M.A.

Dalam sesi pertama, Yoseph Yapi Taum menegaskan bahwa sastra tidak dapat dipisahkan dari politik, karena sastra bukan sekedar ekspresi imajinatif, tetapi juga sarana untuk menyuarakan kegelisahan sosial.

“Sastra merupakan media beroperasinya ideologi dominan. Mereka cenderung melegitimasi ideologi dominan. Media dan Sastra merupakan medan tempat ideologi diartikulasikan, bekerja, ditransformasikan, dielaborasi. Media dan sastra seringkali menjadi alat hegemoni yang kuat,” tuturnya.

Dengan menekankan asumsi dasar pendekatan diskursif, Yapi menekankan bahwa bahasa dan sastra dimanfaatkan untuk mempertahankan kekuasaan dan melawan kekuasaan. Bahasa dan sastra bukan sebuah alat yang given, terberi, netral, pasif, dan apolitis. Bahasa adalah arena ‘politik’. Tidak ada yang tidak politis. Pembahasan tentang wajah politik dalam sastra ditekankan pada tiga karya, yakni novel Uncle Tom’s Cabin, Max Havelaar, dan Ronggeng Dukuh Paruk.

Yapi menjelaskan bahwa novel Uncle Tom’s Cabin (1852) karya Harriet Becheer Stowe dipandang sebagai novel yang memicu perang saudara di Amerika Serikat (1862), yang mengakhiri sistem perbudakan. Novel Max Havelaar (1860) karya pengarang besar Belanda Douwes Dekker mampu membunuh kolonialisme dan feodalisme. Novel Ronggeng Dukuh Paruk berlatar belakang Tragedi 1965, tragedi terbesar dalam sejarah Indonesia, tetapi pembantaian mengerikan ini hampir punah dari ingatan kolektif orang Indonesia.

“Ahmad Tohari adalah salah satu sastrawan yang terbakar jiwanya melihat pembantaian dan penderitaan akibat perbedaan ideologi tahun 1965, sehingga menulis novel Ronggeng Dukuh Paruk” tegas Yapi.

HISKI Jember Gelar Webinar Nasional Bahas Politik dalam Sastra

Sementara itu, Akhmad Taufiq menjelaskan bahwa gambaran politik dalam sastra dan sastra politik cenderung centang-perentang tidak karuan. Hal terebut bukan hanya terjadi pada fase politik sastra Zaman Pergerakan dan fase politik sastra awal kemerdekaan/Orde Lama. Namun, juga berlaku pada fase politik sastra awal kemerdekaan-Orde Baru dan fase politik sastra Era Reformasi.

“Perbincangan tentang politik dalam sastra perlu mendapat perspektif yang lebih luas. Perspektif tersebut dengan mencoba menempatkan posisi sastra tidak sekadar sebagai medan teks sastra yang secara ekslusif terbatas. Lebih jauh dari itu, perlu menempatkan sastra sebagai suatu dunia,” jelas Taufiq.

Taufiq juga menjelaskan bahwa tidak ada teks sastra yang lahir dari ruang kosong secara politik. Tidak ada teks sastra yang nir-politik. Teks sastra adalah teks politik yang rasional, relasional, dan sekaligus visional. Terdapat empat dimensi penting teks sastra sebagai teks politik, yakni dialektik, strategik, instrumen misi, dan visional. Dua perhatian utama dapat menjadi pertimbangan berkenaan dengan kajian politik dalam sastra. Pertama, politik yang melibatkan para sastrawan sebagai aktor politik. Kedua, dimensi politik yang terkandung dalam teks sastra. Pada fase politik sastra Era Reformasi, fenomena yang tidak kalah penting kita cermati muncul momen politik sastra terkait “Puisi Esai” dalam kasus Denny J.A.

“Kita harus dewasa dan substansial dalam menyikapi, sehingga tidak muncul persitiwa yang seperti dikatakan Pak Yapi tadi, yakni tawuran digital,” tegas Taufiq.

Acara dilanjut dengan diskusi interaktif antara audiens dan pembicara. Ada sekitar 250-an peserta dari berbagai latar belakang yang masih menyimak sampai akhir diskusi.

beras