Kartu Kuning Pertama untuk Birokrasi Universitas Jember
Oleh: Rizal Kurniawan
Opini — Jakob Oetama, wartawan senior sekaligus salah satu pendiri Kompas, pernah mengatakan ada dua tugas jurnalistik; pertama, menghibur yang papa, kedua, meresahkan yang mapan. Rupa-rupanya dalam kesempatan ini, saya akan memakai tugas jurnalistik yang kedua, perihal nanti tugas yang pertama dapat terpenuhi, itu adalah bonus.
Terlepas dari itu, di sini saya bukan bermaksud ingin menjadi nabi kesepian yang tidak cukup pandai dalam melewati ujian kesabaran, yang pada akhirnya, saya hanya dianggap nyinyir dan menyalahkan tanpa solusi. Tidak, jika memang kesannya begitu, saya minta maaf. Saya menulis ini berdasarkan realitas ruang (mahasiswa) yang sedang kami hadapi sekarang. Saya tidak berniat untuk mempermasalahkan absensi online yang semakin hari semakin ketat dan kolot, mahasiswa diberi waktu setengah jam untuk absen, jika melebihi batas waktu maka akan alpa otomatis.
Tetapi realitanya, tidak jarang dosen belum login untuk membuat absensi perkuliahan online padahal sudah masuk jamnya, mahasiswa bisa apa? Saya cukup memahami bahwa dosen juga mempunyai kesibukan lain, tetapi kenapa tidak dibuat mudah saja, tidak usah dibatasi waktu semepet itu kan lebih egaliter dan demokratis sih, cukup mengikuti jam perkuliahan yang sudah ada. Apa tidak kasihan dengan mahasiswa yang kebetulan sinyal di daerahnya megap-megap? Iya, mungkin jawaban yang paling klise adalah, apakah tidak bisa meminta bantuan temannya untuk mengabsenkan. Saya akan balik pertanyannya, apakah teman saya hanya mengurusi absen saya, apakah dia tidak punya kesibukan lain? Apakah kesibukan hanya dimiliki dosen saja? Cukup, itu dulu.
Saya juga tidak berniat membahas permasalahan surat edaran nomor 6030/UN25/LL/2020 yang berisi tuntunan dan panduan dosen agar memberi tugas dengan porsi yang lebih manusiawi, sehingga mahasiswa tidak hanya sebagai objek sapi perah dengan membiasakannya mengejar deadline. Saya mengerti, tugas menjadi bagian dari tanggung jawab kami sebagai mahasiswa, kewajiban mengikuti alur kampus dan menyegani para dosen, dari mengerjakan tugas, kami senantiasa terlibat dalam aktivitas intelektual, yaitu proses berpikir dari kegiaatan baca-tulis dan memahami, bukan hanya berorientasi agar bagaimana mahasiswa menyelesaikan beban moral.
Begini, pertama saya memang tidak faham dengan proses kerja pencairan dana dalam konteks birokrasi kampus. Mendengarnya proseduralnya saja saya agak risih. Kedua, saya ingin mempertanyakan kembali apa kabar dengan subsidi yang akan diberikan pihak rektorat kepada mahasiswa dalam melakukan aktivitas pembelajaran daring, yang dalam hal ini, rektorat Universitas Jember bagi saya sudah kelewat berbelit-belit dalam menindaklanjuti kebijakan yang keluar melalui surat edaran. Saya sempat komunikasi terkait subsidi ini dengan wakil presiden BEM, dia mengirimkan saya copy chat-nya dengan Bu Andri, Kepala Sub Bagian Registrasi Administrasi, katanya “SK tentang subsidi dana untuk kurang lebih 19 ribu mahasiswa sudah ready, tinggal tindak lanjut dari tim keuangan, mungkin minggu depan baru bisa cair.” Percakapan ini terjadi tiga hari yang lalu, tepatnya hari Jumat. Jadi, saya mencoba husnudzon, minggu ini atau paling tidak selambat-lambatnya hari jumat besok, subsidi dana sudah bisa cair dan dimanfaatkan mahasiswa. Ya, meskipun saya merasakan kesan bahwa bahasa yang dipakai ibu ini adalah bahasa-bahasa diplomatis, bahasa-bahasa jual beli di pasar. Saya tetap akan berbaik sangka kok.
Tetapi, yang menjadi persoalan adalah, selama ini rektorat ngapain aja, terhitung sejak tanggal 2 April surat edaran pertama dikeluarkan tentang bantuan data internet, lalu pada tanggal 8 april diganti dengan uang tunai yang akan ditransfer ke rekening masing-masing mahasiswa dengan nominal 50 ribu per bulan? Apakah lagi-lagi akan beralibi dengan sistem yang rewel dan regulasi yang berpanjang-panjang? Bukankah itu sudah menjadi tugas dan amanah rektorat dalam memenuhi hak mahasiswa, khususnya di tengah intensifnya pembelajaran daring hari ini? Apakah alasan sistem yang masih proses dan terus menyuruh bersabar cukup ilmiah sekelas kampus yang pernah menyabet penghargaan sebagai universitas dengan pengelolaan keuangan paling baik se-Indonesia? Apakah alasan sistem tidak terlalu cemen untuk sekelas kampus yang sekarang dengan bangganya menduduki posisi 11 besar sebagai kampus dengan webometrics terbaik Indonesia? Sekarang kita cukup mengerti, bagaimana kecakapan dan kapasitas rektorat dalam upaya kesadaran pemenuhan hak mahasiswa. Iya, menye-menye.
Saya bukan bermaksud untuk menafikan usaha rekorat dalam menjalankan sumbangsih dan empatinya kepada mahasiswa di tengah krisis sosial-ekonomi hari ini, saya hanya ingin melihat bagaimana sikap dan keberpihakan kampus saya dalam apa yang dikatakan sebagai etika tanggung jawab. Saya agak lega dapat informasi dari wapres BEM terkait subsidi tadi, meskipun pihak rektorat tidak melakukan upaya transparasi secara terbuka agar mahasiswa tidak merasa hanya sekedar dibuat main-main. Tetapi paling tidak saya sudah mendapat jawaban konkrit yang membantu meredakan keresahan saya akhir-akhir ini. Saya kok jadi iri dengar cerita teman saya, salah satu mahasiswa kampus politeknik Malang, bagaimana kampusnya bergerak cepat untuk membantu kendala-kendala yang dihadapi mahasiswa, meski nilainya hanya separuh dari apa yang direncanakan rektorat Universitas Jember, tapi bukankah lebih menggembirakan begini dibandingkan dengan menelan ketidakpastian harapan?
Terakhir, kita tunggu saja bagaimana para aktor-aktor gedung rektorat dalam mempertanggungjawabkan kebijakannya seminggu ke depan, sesuai janji dari Kasubag Registrasi Administrasi. Apakah akan menjadi omong kosong lagi? Jika iya, maka gedung rektorat tidak ada bedanya dengan baliho-baliho pilkada yang kembung dengan janji-janji visioner.
Jika seminggu ke depan rektorat belum mampu memenuhi juga, naudzubillah, saya berharap ada alasan yang cukup terbuka dan jujur-jujuran saja apa kendala rekorat, agar kita sama-sama tahu, dan tidak menggantungkan harapan yang berlebihan kepada kampus, sehingga kami dapat tidur dengan tenang. Kalau cara itu tidak ditempuh pihak rektorat, dengan hormat, saya mengajak kepada seluruh pimpinan redaksi dan pimpinan umum media pers kampus di sekitar ataupun di dalam Universitas Jember, terutama media-media fakultas, untuk masif dalam mengkritisi pihak kampus dengan cara membuat gempuran opini advokas hak mahasiswa sebanyak-banyaknya. Saya rasa akan lebih terlihat elegan daripada hanya bisa ngerasani dan nggerundel di grup-grup wasap. Saya jadi teringat pesan, sekecil apapun hutangmu kepada seseorang, bayarlah, itu adalah bentuk tanggungjawabmu sebagai manusia yang beradab. Hari ini, saya berusaha melakukannya.
Salam mahasiswa!
Lamongan, 27 April 2020.
Tulisan yang berani dan mewakili keresahan Mahasiswa lainnya. Terimakasih sudah berani berbicara mewakili kami.
Mengerikan ku akui.. Rasa ingin untuk menyampaikan keluh kesah,, serasa hanya angan. Semoga rasa menggebu dari pembacaan atas tulisan anda menjadi gerbang awal atas perjuangan!
Bener juga sih, saya juga setuju. Apalagi mengahadapi pandemi yang ada, saya yakin sebagian besar orang tua dari mahasiswa sedang menghadapi pemotongan gaji, atau bahkan pengurangan karyawan. Kasihan juga jika tiap bulannya harus bertambah beban orang tua dengan pengeluaran beli kuota dan sejenisnya. Bukannya uang UKT juga ada hak kita ya?
Ya benar sekali, seakan-akan kita sedang dipermainkan, dari kuota gratis pindah ke uang 50 ribu dengan tidak adanya alasan dan ketidak jelasan sampai sekarang, resah sebenarnya melihat unej yang ribet seperti ini,iri rasanya melihat kampus lain melihat mereka cukup lega bernafas dari tugas-tugas dosen, tidak seperti unej terutama fakultas saya, yang menurut saya hampir setiap hari merasakan senam jantung akibat ulah dosen-dosen yang terus menekan memberikan tugas, bahkan sebagian dosen ada yang memberikan tugas di luar jam sepantasnya seperti jam 9 malam dan pagi nya langsung dikumpulkan, apakah mereka tidak pernah merasakan masa-masa susah menjadi manusia, saya terus bertanya-tanya apakah anak-anak mereka tidak pernah berkeluh kesah akan tugas yang di berikan dosen dari anak-anak mereka. Ingin rasanya berteriak “tolong lebih manusiakan kami” ingin bukan di kampus yang bisa bebas melakukan perintah dosen, kita sekarang hidup bersama keluarga dirumah, yang tidak semuanya hanya berpaku di depan laptop atau handphone untuk memenuhi kemauan dosen, kita juga butuh membantu orang tua biar tidak hanya di cap “dikamar saja” oleh para tetangga. Dan ya mengenai kuis,tugas dan presensi tolong lah di pikir kan matang-matang, tidak semua mahasiswa hidup di kota, tidak semua mahasiswa hidup dengan sinyal berlimpah, tidak semua mahasiswa memiliki banyak uang untuk membeli kuota demi dipandang rajin oleh dosen, tidak semua mahasiwa memiliki wifi, tidak semua mahasiswa rumah nya yang memiliki kelancaran listrik yang lancar, tolong lah pikirkan mahasiswa yang rumahnya di kaki gunung,di gunung dan tempat lain yang susah sinyal dan sering mati lampu, kita juga ingin memenuhi ekspektasi para dosen tapi pikir kan juga kita, intinya tidak semua mahasiswa hidup di dalam kenyaman, banyak uang dan sinyal yang memadai. Aku lelah yAllah sudah bulan puasa ini, tapi kenapa dosen-dosen garai aku pengen misuh.
Terimakasih sudah menyampaikan salam kami (mahasiswa) dengan tulisan ini:)
Benar yang di tuliskan mas rizal, dan saya juga sempat komunikasi dgn pihak humas unej bahwa subsidi yg di berikan kepada mahasiswa akan di mulai diproses setelah tgl 16 APRIL, Tapi sampai sekarang tidak berbuah hasil
Men, welkam tu de parti.
Di mana duid masih menjadi yg paling seksi
Dorong terus gan pepet pepet jangan kasih kendor. skripsi berasa di bui, bimbingan seperti angan angan, tapi uang tak berhenti melayang.
Maaf, apakah hal ini merupakan cara terbaik untuk menyampaikan aspirasi?
Media ini merupakan media publik di mana tak seharusnya menyebutkan nama apalagi aib universitas anda sendiri. Maaf, bukan menyalahkan, hal ini juga suatu langkah yang sangat baik, mahasiswa dapat mengkritisi yang ada di sekitarnya.
Ada baiknya, kita sebagai mahasiswa bersama-sama introspeksi diri. Memenuhi beban yang ada, dan memanfaatkan itu untuk menciptakan kreativitas2 brilian. Saat ini teknologi sudah canggih, saya yakin, mahasiswa dapat mempergunakannya dengan baik, terutama sebagai penunjang pengingat presensi online.
Sebagai penuntut ilmu, hendaknya memperhatikan adab-adab terlebih dahulu. Mencari udzur (alasan) atau keringanan, jika guru (dosen) melakukan kesalahan.
Semoga media aspirasi yang sudah disediakan oleh universitas anda (UC3) dapat menjadi wadah yang baik daripada konsumsi publik seperti ini.
Maaf dan terima kasih
Saya punya pengalaman gak enak dengan sistem perkuliahan online di UNEJ.
Ceritanya, pas beberapa waktu lalu mau ngerjain UTS online, eh sinyal ngadat. Bingung saya dong. Untungnya di samping rumah ada tangga, lalu saya panjatlah itu tangga dengan harapan dapet sinyal. Eh pasa mau sampai di pucuknya, malah HP saya jatuh, LCDnya pecah. Singkat cerita saya pesan LCD warna putih di Shopee, karena HP saya juga putih, eh yang dateng warna item. Jadilah HP Vivo Y71 saya jadi HP hitam-putih, tapi selain LCD yang gak ori, yang lainnya masih ok. Mesin kenceng, gak lemot, batere masih ok punya, kuat seharian buat kuliah online, bodi masih mulus, karena pas jatuh, LCD duluan yang kebentur. Kelengkapan: HP, Charger, Dosbook. minat, japri.