Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kasus Herry Wirawan, ICJR: Negara Gagal Melindungi Korban

Kasus Herry Wirawan, ICJR: Negara Gagal Melindungi Korban



Berita Baru, Jakarta – Herry Wirawan, terdakwa kasus pemerkosaan belasan santriwati, divonis hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Bandung. Putusan itu, disayangkan beberapa pihak, salah satunya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR).

Direktur ICJR, Erasmus Napitupulu, mengatakan hal tersebut akan menjadi preseden buruk bagi proses pencarian keadilan korban kekerasan seksual. Sebab, baginya, Negara justru diberikan kepada pembalasan kepada pelaku, alih-alih korban yang seharusnya dibantu pemulihannya.

“Hukuman mati terhadap pelaku kekerasan seksual, justru akan menggeser fokus negara kepada hal yang tidak lebih penting dari korban,” ujar Erasmus melalui keterangan tertulis, Senin (4/4).

Ia mengutip UN High Commissioner for Human Rights, Michelle Bachelet. Bachelet menyampaikan bahwa meskipun pelaku perkosaan dan kekerasan seksual lain harus dimintai tanggung jawab, namun hukuman mati dan penyiksaan bukanlah solusinya.

“Tidak ada satupun bukti ilmiah yang menyebutkan bahwa pidana mati dapat menyebabkan efek jera, termasuk di dalam kasus perkosaan.” Masalah dari kasus-kasus perkosaan yang terjadi di seluruh belahan dunia, Erasmus melanjutkan, disebabkan oleh keterbatasan akses terhadap keadilan korban, dan menerapkan pidana mati kepada pelaku, tidak akan menyelesaikan masalah ini.

Negara Gagal Melindungi Penyintas

“Pidana mati diterapkan justru ketika negara gagal hadir untuk korban. Ini adalah bentuk “gimmick” yang diberikan sebagai kompensasi karena negara gagal hadir dan melindungi korban, sebagaimana seharusnya dilakukan,” ujarnya.

Sebagai konsekuensi dari hal ini, katanya, negara kemudian mencoba ‘membuktikan diri’ untuk terlihat berpihak kepada korban, dengan menjatuhkan pidana-pidana yang ‘draconian’ seperti pidana mati. Erasmus menilai hal ini, tentu saja bukan yang diharapkan terjadi di Indonesia.

“Negara, harusnya dapat hadir setiap waktu, bukan hanya pada waktu-waktu tertentu hanya untuk “mengambil hati” korban dan warga negaranya,” ucapnya.

Ia memahami bahwa kasus ini menyulut kemarahan yang besar bagi publik. Namun demikian, kemarahan publik bukanlah hal yang seharusnya menjadi fokus utama di dalam proses pemberian keadilan bagi korban.

“Fokus utama kita seharusnya diberikan kepada korban, dan bukan kepada pelaku, dan hal ini yang seharusnya menjadi perhatian aparat penegak hukum dan juga Hakim di dalam kasus-kasus kekerasan seksual,” tegasnya.

beras