Kasus Pencabulan di Pesantren, RMI PWNU Jatim: Belum Siap Moral Menjadi Pengasuh
Berita Baru, Surabaya – Sejumlah kasus kekerasan hingga dugaan pencabulan terhadap santri masih terjadi di sejumlah pondok pesantren di Jawa Timur dalam beberapa bulan terakhir. Di antaranya di Malang, Jombang, Pasuruan, hingga terbaru di Jember.
Bendahara Rabithah Ma’ahid Islamiyah (RMI) PWNU Jatim Jawa Timur KH Nurkholis menyebut masih ada pengasuh pondok pesantren (ponpes) atau ustaznya belum siap secara moral.
“Yang pertama saya menyatakan sedih, di mana perkembangan pesantren saat ini sudah banyak, namun juga banyak kejadian tidak diinginkan. Dalam satu sisi senang pesantren banyak, tapi banyak pesantren yang belum siap moral terutama pengasuh pesantrennya,” kata Nurkholis, Selasa (10/1/2023).
Pria yang akrab disapa Gus Nurkholis itu menambahkan meski RMI Jatim sudah menggencarkan sosialisasi pesantren ramah anak sejak tahun 2022 lalu, tapi masih ada kasus kekerasan di ponpes.
Menurut beliau, kita ini memberi pesantren ramah artinya di pesantren tidak ada kekerasan. Pasalnya kita memberikan pemahaman bagaimana cara kita interaksi sesama dengan merujuk kepada akhlakul karimah baik itu dari ustaznya, gurunya, demikian sesama santri.
“Jadi pesantren ramah anak harapannya tidak ada santri bertengkar, lalu ustaz yang memberi hukuman kemudian mengakibatkan trauma pada santri. Apalagi sifatnya hukuman fisik yang bisa menyebabkan cacat bahkan sampai kematian, ini tidak kita harapkan,” sambungnya.
Pengasuh Ponpes Metal Muslim Alhidayah Rejoso Pasuruan ini menyebut pentingnya para pengasuh ponpes dan ustaz mendidik dengan cara yang baik dan tidak menyebabkan santri trauma. Karena, kalau terjadi didikan yang tidak baik, bisa juga berdampak santri melakukan hal yang tidak pantas di pesantren.
Ketika ada kesalahan di pesantren, kata Gus Nurkholis, pengurus pesantren atau ustaznya memberi hukuman bersifat keilmuan, seperti hafalan Al-Qur’an. Bukan hukuman fisik yang dampaknya bisa santri tidak ikut kegiatan belajar mengajar karena trauma.
“Perlunya ustaz mendidik dengan ramah. Dan akhirnya santri-santriwati bisa memunculkan pergaulan yang ramah juga hingga ke masyarakat. Tidak ada pesantren yang mengajarkan kekerasan, asusila. Karena itu oknum saja, atau personalnya masih mengedepankan kepentingan pribadinya dibanding kepentingan ponpes,” lanjutnya.
Gus Nurkholis mengaku satgas merupakan kewenangan dari pihak pesantren masing-masing. Pihak eksternal termasuk RMI PWNU Jatim tidak bisa menempatkan satgas. Hanya saja, RMI PWNU Jatim memberi standar bagaimana sebuah pesantren ramah anak bisa diterapkan.
“Pesantren kan sudah punya pengamanannya masing-masing dengan melakukan pendekatan ke pesantrennya. Harapannya pesantren bisa menciptakan keamanannya sendiri yang standarisasinya sesuai pesantren ramah anak,” katanya.
“RMI nggak mungkin (turunkan satgas), karena kebijakan pesantren beda-beda tergantung pengasuhnya. Tapi standarisasinya ya pesantren ramah anak. Ketika ada kesalahan santri hukuman tidak harus fisik. Kalaupun fisik seperti membersihkan toilet, mengepel nggak apa-apa. Kalau hukumannya agama ya menghafal Al-Qu’ran yang sifatnya memberi pendidikan dibanding memberi hukuman fisik,” tandasnya.