Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kebangkitan Jepang dan Rapuhnya Kebijakan Rezim



Opini: Kebangkitan Jepang dan Rapuhnya Kebijakan Rezim

Oleh: Abdul Hamid

Proyek Prioritas Jepang

Pascajatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki, Jepang menjadi negara yang sangat terpuruk. Bahkan boleh dikatakan tidaklah mungkin negara ini bisa segera pulih melihat sakit yang diderita sudah terlalu parah pada semua sendi negaranya. Bom atom yang mengenai dua kota tersebut merupakan bentuk serangan balasan sekutu (AS) setelah sebelumnya pelabuhan Pearl Harbor di Miami AS diporak-porandakan oleh Jepang (1942). Kuatnya serangan tersebut mampu meluluhlantahkan kekuatan Jepang hingga menjadi tak berdaya. Barang kebutuhan langka, inflasi meroket naik, transportasi lumpuh, industri mandek, ekonomi tidak memiliki arah dan ancaman perang masih berlanjut. Penduduk Jepang pasrah pada keadaan. 

Pada saat itu Jepang benar-benar membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki intuisi dan sikap tegas dalam mengambil keputusan. Keberlanjutan satu negara ini ada di tangan pemimpin yang menjadikan proyek negara sebagai prioritas yang sekiranya mampu menyokong semua bidang kenegaraan yang sedang mengalami degradasi besar-besaran. Kaisar Horihito, yang oleh warga Jepang dijuluki sebagai titisan dewa matahari (Amaterasu), memutuskan untuk menyerah pada sekutu tanpa syarat. Baginya perlawanan yang berlanjut hanya mengakibatkan Jepang hangus total dan penduduknya akan mati tanpa sisa. “Menyerah” bentuk keputusan awal taktik strategis dari Hirohito. Pertimbangannya bukan jangka pendek yang mungkin saja bisa dikata pecundang, tetapi pandangan visioner yang optimistis untuk masa depan Jepang yang lebih baik. 

Langkah kedua Hirohito memilih pendidikan sebagai urat nadi negara menuju kebangkitan. Meningkatkan kualitas pendidikan layaknya kesiapan aksi untuk menendang balik setelah sebelumnya mundur satu langkah untuk mengambil ancang-ancang. “Berapa jumlah guru yang tersisa?” satu pertanyaan Hirohito yang membuat para jenderalnya kebingungan. “Kita kalah karena kita tidak belajar!”. Kalimat tersebut mampu menyadarkan para jendral bahwa Kaisar Hirohito memiliki proyek besar untuk kebangkitan negaranya. 

Dialog Hirohito dengan para Jendralnya ini menandakan bahwa, dalam kondisi negara hancur maka proyek negara yang perlu diambil adalah mencerdaskan Sumber Daya Manusia (SDM). Proyek ini selamanya menjadi prioritas negara Jepang yang mengantarkan Jepang menjadi negara raksasa ekonomi dunia khususnya Asia hingga disebut sebagai “Matahari Terbit” atau “Cahaya Asia”. 

Program Prioritas Indonesia

Sejak 20 Oktober 2014 pemerintah memprioritaskan program kerjanya pada dua aspek, yaitu Pembangunan Infrastruktur dan Sumber Daya Manusia (SDM). Program ini merupakan visi misi presiden dalam wilayah pembangunan. Sehingga demi terealisasinya program pembangunan tersebut, pemerintah tidak tanggung-tanggung menggelontorkan dana dengan angka melampaui kapasitas APBN. 

Khusus pembangunan SDM dalam periode pertama kepemimpinan Jokowi, kinerja pemerintah sangat tidak terasa atau bahkan semakin menurun. Catatan ini dapat dilihat dari data Kemendikbud tahun 2018 tentang keadaan sekolah yang tidak layak huni, yakni 75 % ruang kelas SD rusak, 74 % ruang kelas SMP rusak, dan 54 % ruang kelas SMA juga dalam kondisi rusak. Kata lain untuk mendeskripsikan kenyataan ini adalah 2 dari 3 ruang kelas sekolah kita rusak yang menandakan bahwa pendidikan belum menjadi program prioritas pemerintah. 

Kenyataan ini berakibat pada gagalnya peningkatan kualitas SDM Indonesia yang seharusnya ditopang oleh kualitas pendidikan yang mumpuni. Semangat pengajar dan pelajar sangat rendah dibanding negara-negara lain. Satu indikator pada aspek semangat literasi misalnya, Indonesia menempati posisi ke 60 dari 61 Nagara berdasar hasil penelitian Unisco. Begitu juga perihal tingkat baca, Indonesia berada pada posisi ke 69 dari 76 Negara sebagaimana data yang di tunjukkan World Education Forum, salah satu institusi di bawah naungan PBB. Data-data ini menandakan bahwa kualitas SDM Indonesia sangatlah rendah. 

Lain halnya di sektor pembangunan infrastuktur yang sangat pesat perkembangannya, mulai dari transportasi, industrialisasi hasil investasi asing berdiri di bumi Indonesia, dan lainnya. Ini menandakan bahwa sejak awal fokus kinerja pemerintah lebih dominan menjadikan infrastuktur sebagai prioritas program kerja, bukan peningkatan kualitas SDM.

Memang benar bahwa setiap program kerja harus dikerjakan secara maksimal selama tujuan gapaiannya positif. Namun dari semua proram kerja perlu adanya filterisasi dalam skala prioritas. Mengingat kompleksnya permasalahan yang dihadapi Indonesia, meliputi hutang negara, isu radikalisme, hingga persoalan demokrasi yang semakin kacau, langkah utama yang harus diambil ialah meningkatkan kualitas SDM yang sekiranya melahirkan generasi yang saling berpartisipasi aktif dalam membangun bangsa ini dengan baik. 

Semangat Jepang patut dijadikan contoh bagi Negara semacam Indonesia yang tengah didera “bom”. Bom atom yang “jatuh” di Indonesia menjelma dalam bentuk politik dan pemikiran. Indonesia menderita cukup lama bahkan hingga detik ini. Nilai rupiah yang menggantung pada dolar Eropa menjadikan negara ini pontang-panting, manusia-manusia Indonesia di doktrin takut miskin sehingga berani bertindak korup terhadap jabatan yang dimiliki, dan yang paling populer adalah perebutan kekuasaan di Negara ini yang selalu berujung konflik. Ironisnya konflik dibikin tanpa tahu cara menyelesaikannya, sehingga konflik menjadi berkelanjutan.

Akibat Salah Prioritas Program Kerja!

Kurang tepatnya dalam memilih prioritas program kerja bermuara pada ketimpangan antara peningkatan kualitas SDM dengan laju pembangunan infrastuktur yang terbilang cukup pesat. Padahal pada kualitas SDM pula, warga negara asing masih di atas kita. Keadaan ini pun terjadi di saat pasar dunia terlepas dari batas teritori, artinya kemudahan keluar-masuknya WNA ke Indonesia untuk memperkuat ekspansi hasrat kapitalisnya yang dibalut dengan slogan investasi sehingga terbentuklah beridentitas ganda atau lebih – Identitas ekonomi dan identitas kependudukan – pada beberapa negara. 

Lantas apa kaitannya multi identitas dengan infrastruktur di Indonesia? Apakah hanya menyoal ke-ribet-an administrasi? Tentu bukanlah sereceh itu. Hal yang perlu digaris bawahi adalah tertanamnya mega saham WNA di bumi pertiwi ini menjadi daya eksploitatif pada kekayaan alam Indonesia. Di samping itu, sebagai pemilik saham maka mereka-lah yang mondar-mandir mengendarai mobil mewah di sepanjang jalan Tol sebagai salah satu infrastruktur yang menguras APBN terbanyak di negara ini. Masyarakat pribumi mungkin juga di sepanjang jalan namun dengan nasib yang sangat jomplang. Tidak sedikit warga Indonesia yang meminta-minta di sepanjang jalan akibat rendahnya kualitas SDM sehingga tidak mampu bersaing dengan ‘tamunya’ sendiri. Menjadi babu di rumah sendiri benar-benar dialami oleh sebagian besar warga Indonesia. 

Akhirnya sampai pada pertanyaan heran, entah apa yang pemerintah pikirkan dalam mempertimbangkan kebutuhan utama rakyat hingga muncul sebuah kebijakan? Mengapa harus infrastruktur yang jadi agenda utama, kemudian di posisi berapakan agenda perbaikan kualitas SDM? Sebab harusnya istana sudah pasti dipenuhi dengan akademisi dan penganalisis handal yang bisa jadi 90% untuk menempatkan prioritas kebijakan sesuai dengan harapan rakyat tidak melenceng. Akan tetapi secara logis, sebagaimana sekelumit analisis di atas menyimpulkan bahwa faktanya pemerintah salah memprioritaskan program kerjanya. 

Biodata Penulis

Kebangkitan Jepang dan Rapuhnya Kebijakan Rezim

Abdul Hamid atau yang akrab dengan sapaan Kang Hamid ini adalah salah satu seorang aktivis Literasi. Kang Hamid dilahirkan di kota Probolinggo pada 7 Juli 1994. Semenjak menempuh strata 1 di jurusan Sosiologi di Kampus Universitas Trunojoyo Madura, seringkali memuat tulisannya di buletin kampus. Selain sebagai penulis Kang Hamid juga berperan sebagai aktivis mahasiswa sembari menemani kawan-kawannya menekuni dibidang keilmuan dan kepenulisan. Pasca kuliah dirinya berinisiatif untuk membuat komunitas Literasi di kota kelahirannya, Probolinggo. Beserta kawan-kawan yang sepemikiran di bawah naungan Jaringan Sosial dan Budaya (JSB) sebagai wadah bereskpresi generasi kota probolinggi akhirnya komunitas tersebut berlanjut hingga saat ini.

beras