
Kembali Gelar Sekolah Sastra, HISKI Angkat Topik Sastra Lisan
Berita Baru, Jakarta — Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) kembali gelar Sekolah Sastra dengan topik Sastra Lisan. Acara digelar via Zoom Meeting serta disiarkan secara langsung di kanal Youtube Official HISKI Pusat dan Tribun Network, Sabtu, (21/06).
Sekolah Sastra ini didukung Dana Indonesiana dan LPDP, yang dikelola melalui Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.
Sekolah sastra menghadirkan narasumber Prof. Dr. Wigati Yekningtyas, M.Hum. (Universitas Cenderawasih, HISKI Komisariat Papua), dan dimoderatori Dr. Endah Imawati, M.Pd. (Tribun Network).
Sebelum pemaparan materi, acara dibuka dengan sambutan Wakil Ketua I HISKI, Prof. Dr. Mohd Harun, M.Pd. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Ketua I HISKI, Harun menyampaikan apresiasinya atas terselenggaranya program ini.
“Sebagai organisasi profesi, HISKI terus berupaya menghidupkan kembali perhatian terhadap sastra lisan. Narasumber hari ini, Prof. Wigati akan membuka perspektif terkait sastra lisan, utamanya di tanah Papua. Sebab dalam bidang kebudayaan dan tradisi, Papua memiliki kekayaan kultural yang variatif dan luar biasa,” ungkapnya.
Harun juga menambahkan, kegiatan ini menjadi bagian dari tanggung jawab kolektif untuk mengintegrasikan sastra lisan dengan perkembangan zaman. Tidak hanya merawatnya, tetapi juga mengemas sastra lisan dengan lebih menarik, sehingga warisan budaya kita tidak hanya terjaga secara fisik tetapi juga dapat diakses oleh masyarakat luas.
“Saya berharap acara ini dapat memberikan pemahaman mendalam tentang sastra lisan sebagai bagian dari disiplin ilmu yang tidak hanya bersifat akademik, tetapi juga berkontribusi terhadap pengembangan literasi budaya,” ujarnya.

Acara berlanjut pada pemaparan inti. Wigati membawakan materi berjudul “Mengenal Folklor Papua: Menelisik Kekayaan Pusaka Budaya Leluhur yang Hampir Terlupakan”. Di awal, Wigati mengatakan bahwa mengenal folklor atau sastra lisan Nusantara adalah upaya untuk mengikat Indonesia.
Folklor Papua, kata Wigati, khususnya dari masyarakat Sentani, memuat kekayaan budaya yang diwariskan secara turun-temurun. Terbagi menjadi tiga bentuk utama —lisan, setengah lisan, dan tak lisan— warisan ini mencakup cerita rakyat, lantunan spontan (ehabla), nyanyian rakyat (folksong), tarian, permainan tradisional, ukiran, dan lukisan kulit kayu.
“Semua itu, keberadaannya kini kian terancam akibat modernisasi dan minimnya regenerasi budaya. Hanya generasi tua yang masih mengenal dan melestarikan folklor Sentani. Generasi muda justru semakin jauh dari pusaka leluhurnya. Kondisi ini berdampak langsung pada pelestarian bahasa Sentani, yang kini dikategorikan sebagai bahasa terancam punah menurut Ethnologue (2000),” terangnya.

Wigati melanjutkan, ada beberapa kisah rakyat Sentani masih terdokumentasi, seperti legenda asal-usul masyarakat Sentani dari Sepik Timur, Papua Nugini, dan kisah magis Tifa Kemagingging yang menjadi batu karena dicuri. Cerita-cerita ini bernilai hiburan dan menjadi wadah pengetahuan sejarah, nilai moral, dan pandangan kosmologis masyarakat.
“Tradisi ehabla dan nyanyian rakyat menyuarakan pengalaman hidup, harapan, hingga kritik sosial, seperti kehilangan tanah adat akibat pembangunan. Selain sebagai bentuk ekspresi seni, lantunan-lantunan ini mengandung pesan ekologis dan sosial yang dalam, serta mencerminkan kearifan lokal masyarakat Sentani,” ujarnya.
Ekspresi budaya lainnya tampak dalam lukisan kulit kayu bermotif fouw, ukiran, dan gerabah, yang memperindah benda dan merekam sejarah, mitos, dan filosofi hidup, tambah Wigati.
“Budaya megalitik Tutari di Sentani Barat juga mencerminkan peristiwa historis sejak abad ke-14. Sayangnya, banyak di antaranya belum dikenal generasi muda,” bebernya.

Dalam paparannya, Wigati menegaskan pentingnya upaya pelestarian dan revitalisasi folklor Sentani. Hilangnya folklor sama artinya dengan hilangnya identitas dan ilmu pengetahuan sebuah komunitas.
“Oleh karena itu, saya mendorong integrasi folklor dalam pendidikan, penelitian, pariwisata, hingga ekonomi kreatif sebagai langkah strategis untuk menjaga keberlanjutan warisan budaya Papua,” harapnya.
Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara narasumber dan audiens. Sampai akhir acara, Sekolah Sastra kali ini diikuti sekitar 183 peserta di Zoom Meeting dan telah ditonton 230 kali akun Youtube.
Sekolah Sastra merupakan salah satu program kegiatan HISKI Pusat untuk meningkatkan kompetensi dan bekal pengetahuan bagi para anggota HISKI yang tersebar dari Aceh hingga Papua serta peneliti dan ilmuwan sastra pada umumnya.
Sekolah Sastra ini digelar setiap dua bulan bergantian dengan agenda Tukar Tutur Sastra. Kedua kegiatan tersebut menjadi agenda rutin HISKI Pusat yang dipimpin Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum.
