Kisah Jemaah Haji Hindia Belanda di Awal Perang Dunia I
Berita Baru, Kolom – Seorang jemaah haji perempuan asal Kepulauan Seribu, Batavia, menceritakan penderitaannya selama di Mekkah pada awal Perang Dunia I (1914-1918) berlangsung. Komunikasi yang putus antara Hindia Belanda dan Mekkah, membuat banyak jemaah haji Hindia Belanda terlunta-lunta. Ia menjadi salah satunya. Dalam surat kabar Bredasche Courant, 6 Februari 1915, ia menceritakan bahwa dirinya menghabiskan waktu 15 hari di atas unta.
Perang Dunia I (1914-1918) merupakan episode sejarah yang jarang sekali dikaji oleh para sejarawan Indonesia. Padahal Perang Besar ini (The Great War) tidak hanya berdampak pada negara-negara Eropa saja, tetapi memiliki efek global hingga ke Hindia Belanda.
Selama perang berlangsung, pemerintah Hindia Belanda memperketat kontrol terhadap Muslim Hindia Belanda karena mereka takut jika seruan jihad dari Imperium Usmani direspon dan menimbulkan gerakan antikolonial yang luas.
Dihentikannya transportasi kapal laut selama perang juga berdampak terhadap jemaah haji Hindia Belanda yang sudah ada di Mekkah. Mereka hidup sengsara dan terlunta-lunta karena tidak dapat pulang ke kampung halamannya, sementara persediaan uang sudah habis.
Ketika Imperium Usmani mendeklarasikan jihad pada November 1914 di Istanbul untuk memobilisasi Muslim di seluruh dunia agar melawan imperialisme Barat, maka pemerintah Belanda semakin memperketat kontrol terhadap Islam di tanah jajahannya.
Surat kabar Het Vaderland memberitakan adanya demonstrasi di Jawa yang memberikan dukungan kepada Imperium Usmani. Belanda juga semakin khawatir dengan transportasi haji. Beberapa perusahaan kapal besar yang biasa melayani perjalanan haji, seperti Nederland, Rotterdamsche Lloyd dan Oceaan, berhenti beroperasi.
Eric Tagliacozzo (2013) mencatat bahwa pada 1915 pemerintah kolonial Belanda sementara melarang aktivitas perjalanan haji. Berdasarkan statistik dari kajian Vredenbregt (1962), tidak ada Muslim Hindia Belanda yang melaksanakan haji pada tahun 1915 dan 1916.
Pemerintah baru membuka kembali pelaksanaan haji pada 1917 dengan jumlah jamaah sebanyak 72 orang. Hal ini berbeda dengan jumlah jamaah haji antara tahun 1912-1914 yang mencapai lebih dari 20 ribu jamaah pertahunnya. Dengan tidak adanya kapal-kapal yang pergi ke Jeddah, maka jemaah haji Hindia Belanda yang ada di Mekkah tetap tidak dapat pulang ke kampung halaman.
Surat kabar Oetoesan Hindia mencatat bagaimana jemaah haji Hindia Belanda menghadapi kesulitan selama di Tanah Suci. Mereka harus dapat bertahan dengan keadaan ekonomi yang buruk karena harga-harga menjadi serba mahal selama perang berlangsung. Bahkan, banyak yang akhirnya harus berhutang ke sana sini untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sementara itu, Konsulat Belanda di Jeddah juga tidak berani mengirim jemaah haji lagi karena Kapitulasi sudah dihapuskan sejak 9 September 1914 oleh Imperium Usmani sebagai penguasa Mekkah dan Madinah saat itu.
Menurut Hakan Yavuz dan Feroz Ahmad (2016), kapitulasi adalah hukum yang memberikan kebebasan untuk para warga negara dari negara asing untuk melakukan perdagangan di wilayah Imperium Usmani, tetapi tidak terikat dengan yurisdiksi lokal dan diberikan hak istimewa, seperti pajak dan bea yang rendah.
Penghapusan Kapitulasi oleh Imperium Usmani disebabkan oleh keinginannya untuk memenangi Perang Dunia I melawan Inggris, Prancis, dan Rusia. Namun, hal ini tetap berdampak pada Belanda sebagai bagian dari negara Eropa. Untuk itu segala aktivitas antara Jeddah dan Hindia Belanda pun ikut terhenti.
Melihat keadaan yang semakin gawat, orientalis ternama C. Snouck Hurgronje justru mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang justru mempersulit kondisi jemaah haji Hindia Belanda di sana. Untuk itu, R.A.A Djajadiningrat (Bupati Serang), D.A. Rinkes (pegawai kolonial), Hasan Mustapa (tokoh Sunda), Tjokroaminoto (tokoh Sarekat Islam) dan Tapsir Anom (penghulu ageng dari Kartasura) berinisiatif untuk membentuk Komite Penolong Haji pada April 1915.
Mereka membentuk Komite tersebut mengumpulkan dana yang nantinya akan dikirimkan untuk menolong jemaah haji Hindia Belanda yang ada di Mekkah. Dana tersebut juga nantinya akan dipakai untuk menyewa kapal yang bisa mengangkut jamaah haji dari Mekkah agar dapat pulang kembali ke Hindia Belanda.
Tidak mudah bagi Komite Penolong Haji untuk menarik donasi. Mereka harus berkeliling kota untuk menghimpun dana dari para donatur. Bahkan, seperti diberitakan koran Oetoesan Hindia, mereka harus mengadakan kegiatan-kegiatan menarik, seperti lomba pacuan kuda di Tegalega Bandung, untuk mengumpulkan uang. Setelah dana terkumpul, maka Komite Penolong Haji mengirimkan kapal-kapal laut ke Jeddah untuk mengangkut jamaah haji Hindia Belanda yang terlantar.
Koran Oetoesan Hindia, Bataviasch Nieuwsblad hingga Het Vaderland mencatat beberapa kapal, seperti Kapal “Ahbar”, “Billiton Ship”, “Gorontalo” dan”Rotti”, yang pergi ke Jeddah untuk mengangkut jemaah haji. Setelah berlabuh di Jeddah untuk mengangkut jemaah haji, mereka kembali ke Hindia Belanda melalui Bombay, India. Mereka berhenti sebentar di sana untuk kemudian meneruskan perjalanan kembali ke Tanjung Priok, Batavia. Dari sana, para jemaah dikembalikan ke berbagai wilayah asalnya, baik itu ke Makassar, Bima, Bali, Lombok dan lain-lain.
Dalam artikel penelitian yang berjudul “Hajj and the chaos of the Great War” saya melihat bahwa bahwa pemerintah kolonial Belanda memang tidak henti-hentinya melakukan intervensi langsung terhadap kehidupan beragama di kalangan Muslim.
Bahkan, intervensi tersebut ternyata menimbulkan bahaya besar dan kesalahan fatal pada saat Perang Besar yang justru menimbulkan kesengsaraan bagi jamaah haji Hindia Belanda di Mekkah. Cerita mengenai jemaah haji Hindia Belanda selama Perang Dunia I merupakan salah satu puzzle kecil yang harus dirangkai dengan kepingan-kepingan lain untuk mengetahui lebih dalam mengenai koneksi Muslim Hindia Belanda dalam konteks sejarah global.
Penelitian sejarah global perlu digalakan lebih lanjut untuk memicu kesadaran bahwa sejarah Indonesia tidak terisolasi dari jalannya sejarah dunia.