
Komunitas Literasi Ruang Desa Lolos Kurasi Nasional, Aksara Jawa Ngrembaka Dilirik Pertamina Foundation Muda 2025
Berita Baru, Ponorogo — Satu pesan singkat mampir ke layar ponsel Samsul Hadi sore itu, 13 Juni 2025. Pesan yang mengabarkan bahwa Proposal “Aksara Jawa Ngrembaka” milik Komunitas Ruang Desa lolos kurasi Pertamina Foundation Muda 2025.
Pesan itu tidak langsung ia baca dengan sorak-sorai. Ia simpan sejenak. Dilewati dulu dengan berbenah merapikan buku, lalu menyeduh kopi di gelas bening warisan simbah. Hanya setelah itu ia tersenyum pelan dan penuh makna.
Bukan karena euforia, tapi karena ia tahu: api yang selama ini dijaga di desa akhirnya terlihat cahayanya dari kota bahkan nasional.
Desa Sampung belum menjadi pusat kebudayaan. Ia tidak ramai panggung, tidak juga menjadi tujuan para akademisi. Tapi di desa inilah, Komunitas Literasi dan TBM Ruang Desa menanam satu harapan sederhana, agar aksara Jawa tak sekadar dikenang, tapi dipakai kembali.
“Aksara Jawa tidak mati, ia hanya diam karena kita terlalu berisik dengan hal lain,” ujar Samsul, Founder komunitas yang juga mahasiswa pascasarjana UIN Kiai Ageng Muhamad Besari Ponorogo.
Ia dan teman-temannya tidak datang dari keluarga sastrawan, tidak pula memiliki fasilitas lengkap. Tapi mereka punya sesuatu yang jarang dimiliki yakni kesetiaan. Kesetiaan untuk terus menulis, membaca, mengajar meski hanya di serambi rumah, balai dusun, atau warung kopi.
Hampir 4 empat tahun, Ruang Desa beroperasi tanpa banyak sorotan. Mereka menulis dan mengarsipkan sejarah lokal. Mereka membuka kelas Ngangsu Kaweruh untuk pemuda pemudi desa yang bahkan belum kenal literasi seutuhnya. Mereka membuat ruang baca dari sumbangan buku. Mereka berkumpul dan berdiskusi di tempat yang paling sederhanaha.
Kini, satu titik terang datang. Dari 3.844 proposal se-Indonesia, program Aksara Jawa Ngrembaka milik mereka terpilih untuk tahap kurasi nasional PFmuda 2025.
Bukan hanya soal prestasi. Ini adalah pengakuan. Bahwa dari tanah kecil yang sunyi, bisa tumbuh sesuatu yang layak disimak oleh republik ini.
Di sisi lain, ada Reza Andik Setiawan—mentor, sekaligus Direktur Universitas Terbuka Uyun Al-Hikam dan pemilik Serambi Bedoyo. Tempat ini bukan kantor, bukan pula ruang pelatihan resmi. Tapi di sinilah budaya dihidupkan kembali. Tempat anak-anak muda berdiskusi dengan secangkir kopi, membaca naskah lawas, atau menyusun rencana festival budaya.
“Saya tidak sedang membuat mereka besar. Saya hanya menemani mereka agar tidak merasa kecil,” kata Reza.
Festival Literasi Budaya yang akan digelar Oktober nanti akan mengambil tempat di Serambi Bedoyo. Tidak untuk mengagumi masa lalu, tapi untuk menjadikannya sumber terang masa depan.
Program ini tidak sekadar seremoni. Selama enam bulan ke depan, Ruang Desa akan mempersiapkan diri untuk menyelenggarakan:
- Kelas membaca dan menulis aksara Jawa,
- Pelatihan pranata adicara (MC Jawa),
- Lokakarya geguritan dan naskah drama,
- Pembentukan komunitas pelestari budaya ,
- Dan puncaknya: Festival Literasi Budaya “Aksara Jawa Ngrembaka” yang melibatkan pelajar, mahasiswa, petani, seniman, dan masyarakat umum.
Mereka juga akan merilis platform digital yang merekam jejak-jejak budaya lokal. Satu langkah kecil untuk menyambungkan akar dengan awan digital.
PFmuda bukan panggung pertama mereka, dan tidak akan jadi yang terakhir. Karena yang mereka lakukan bukan proyek. Ini adalah cara hidup.
“Kami tidak sedang menjalankan program. Kami sedang menunaikan kewajiban sebagai anak desa,”ucap Samsul.
Mereka tidak ingin menjual budaya sebagai komoditas. Mereka ingin menjaganya sebagai warisan yang harus tetap ada. Diucap, ditulis, dan diturunkan.
Di saat kota-kota besar sibuk mengejar inovasi teknologi, Ruang Desa menyentuh kembali satu teknologi yang paling awal: budaya.Teknologi yang membuat manusia mengenal bahasa, rasa, dan kebijaksanaan.
Yang dilakukan Ruang Desa adalah bentuk kecil dari revolusi sunyi. Mereka tidak menabrak tembok kekuasaan. Mereka menanam benih-benih kecil, berharap kelak bisa jadi pohon peneduh bagi banyak orang.
“Jika suara dari pinggiran terus diabaikan, maka negeri ini kehilangan separuh jiwanya,”kata Reza.
Kini, suara itu telah masuk daftar kurasi nasional. Sebentar lagi, ia akan disimak oleh banyak mata. Tapi yang lebih penting dari itu. suara itu telah didengar lebih dulu oleh anak-anak desa, oleh orang tua yang mengantar cucunya ke kelas , oleh petani yang datang menonton latihan geguritan.
Mereka semua tahu, budaya belum mati. Aksara belum usang. Dan dari desa, sejarah baru bisa dimulai.
Proposal “Aksara Jawa Ngrembaka” yang lolos kurasi PFmuda hanyalah bagian dari perjalanan. Yang lebih besar adalah semangat yang terus menyala. bahwa dari pinggiran, kita bisa ikut menerangi pusat. Bahwa dari aksara yang nyaris padam, kita bisa menyalakan kembali peradaban.
Dan seperti kata pepatah Jawa: “Suwung tanpo pegat, sepi tanpa garing.”
Sunyi tak selalu mati. Kadang ia justru tempat tumbuhnya kekuatan paling tenang tapi paling nyata.