Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Kopi Indonesia

Kopi Indonesia dalam Lipatan Sejarah



Berita Baru, Kolom – Saat Jenderal Adrian Van Ommen masuk ke Batavia dengan membawa bibit tanaman kopi Arabika pada 1696, saat itu pula sejarah kopi di Nusantara bermula. Kopi pertama di Nusantara ditanam di kawasan yang sekarang dikenal sebagai Pondok Kopi, Jakarta Timur.

Sayang, banjir besar menghancurkan tanaman kopi yang masih muda. Tiga tahun kemudian, kopi mulai dikembangkan di luar Batavia sehingga menyebar ke seluruh Jawa.

Pada 1711, serikat dagang Belanda mulai mengekspor kopi dari Jawa. Saat itu, Jawa menjadi daerah perkebunan kopi pertama di luar Arab dan Ethiopia. Sepuluh tahun kemudian, ekspor kopi Jawa bisa mencapai 60 ton per tahun. Kopi Jawa sangat dikenal di Eropa bahkan hingga sekarang. Hal itu memunculkan istilah a Cup of Java sebagai pengganti kata kopi.

Selama kurun waktu 1830 hingga 1834, produksi kopi di Jawa mencapai 26.000 ton, dan mencapai puncak pada 1870 sebanyak 94.000 ton. Namun, serangan hama karat daun pada 1876 menghancurkan hampir semua tanaman kopi Arabika di Nusantara. Sisa-sisanya tersebar di kawasan dataran tinggi, seperti di Ijen (Jawa Timur), Mandhailing, Lintong, Sidikalang dari Sumatera, juga dataran tinggi Gayo di Aceh.

Untuk mengatasi masalah karat daun ini, kopi varietas Liberika didatangkan. Namun, ada dua kekurangan kopi ini: mudah diserang hama, dan rasanya terlalu asam. Lambat laun kopi Liberika ini tidak berkembang dan hanya tersisa sedikit di Nusantara. Sisa tanaman kopi Liberika kini masih bisa ditemui di Jambi, sedikit daerah di Jawa Tengah, juga Kalimantan. Sebagai gantinya, kopi Robusta (Coffea Canephora) didatangkan ke Nusantara pada 1900.

Tanaman kopi ini lebih tahan hama. Didukung dengan pemeliharaan yang mudah dan produksi yang lebih tinggi, tanaman ini dengan segera menyebar ke seluruh Nusantara. Hingga sekarang, kopi Robusta masih mendominasi produksi kopi Indonesia. Pada 2015, produksi kopi Robusta berkisar 559.058 ton, dari total 739.005 ton produksi kopi Indonesia.

Eksotisme Mahal Kopi Luwak

Pada abad 18, saat Nusantara menjadi pengekspor kopi berharga mahal, banyak petani pribumi justru tidak bisa menikmati kopi. Minuman berwarna hitam itu ibarat emas. Mahal dan tak terbeli. Karena itu, para petani mulai mengambil kotoran luwak yang berisikan biji kopi. Luwak dikenal sebagai pemakan biji kopi. Istimewanya, kopi yang dipilih oleh luwak adalah kopi yang sudah matang dengan kualitas terbaik. Setelah dipungut, kotoran ini kemudian dibersihkan dan dijemur.

Biji kopi yang sudah bersih kemudian disangrai, digiling, dan dijadikan bubuk kopi. Kopi luwak ini menghasilkan aroma wangi dan rasa yang berbeda. Tak perlu waktu lama, kebiasaan meminum kopi luwak ini diikuti oleh para meneer Belanda. Seiring berjalannya waktu, kopi luwak ini kemudian menjadi sebuah ikon kopi mahal di dunia. Kopi luwak di Indonesia menjadi perbincangan saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghadiahkan kopi luwak kepada Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd pada Maret 2010.

Gara-garanya, kopi pemberian SBY tersebut sempat ditahan oleh Australian Quarantine and Inspection Services (AQIS). AQIS sebelumnya telah mengeluarkan peringatan karantina publik untuk para importir kopi olahan, termasuk kopi luwak. Kopi luwak harus diperiksa karena berpotensi terkontaminasi pathogen-pathogen eksotis dan endemis. Kopi luwak adalah andalan Indonesia. Saat ini, kopi luwak banyak dihasilkan di Sumatera, Jawa, Bali, dan Sulawesi. Hingga sekarang, kopi luwak masih dianggap sebagai kopi termahal di dunia.

Situs Most Expensive Coffee membuat infografik tentang harga kopi luwak. Secangkir kopi luwak dihargai $35 hingga $100 atau setara hampir Rp1,4 juta, tergantung kualitasnya. Sedangkan untuk harga per 500 gram, dibanderol $100 hingga $600 atau sekitar Rp8,4 juta. Sebungkus kopi luwak yang dikemas dalam wadah perak dan emas 24 karat bahkan bisa terjual seharga $10.000 atau sekitar Rp140 juta. Kopi luwak menjadi mahal karena produksinya yang sedikit. Setiap tahun, produksi kopi luwak liar hanya berkisar di angka 500 kilogram.

Bandingkan dengan produksi kopi biasa yang mencapai jutaan ton. Berkurangnya populasi luwak liar karena perburuan juga membuat kopi luwak liar semakin langka. Karena itu, banyak petani atau perusahaan kopi mulai menangkar luwak. Pada praktiknya, penangkaran luwak ini dikritik tajam karena banyak perlakuan kejam kepada luwak.

Organisasi pelindung binatang, PETA, salah satu yang bersuara paling keras terhadap eksploitasi luwak. Situs berita TIME menyebut kopi luwak sebagai “Cruel Cynical scam.” Beragam berita miring tidak menyurutkan para penggemar kopi luwak. Eksotisme kopi luwak masih membuat kopi ini dihargai sangat mahal.

beras