Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Lebaran NU dan Muhammadiyah Seringkali Berbeda, Ternyata Ini Penjelasannya 

Lebaran NU dan Muhammadiyah Seringkali Berbeda, Ternyata Ini Penjelasannya 



Berita Baru, Surabaya – Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah seringkali berbeda dalam menetapkan lebaran Hari Raya Idul Fitri.

Lantas apa sebenarnya yang menyebabkan kedua organisasi Islam terbesar di dunia itu berbeda dalam penetapan hari lebaran Idul Fitri?

Sebagaimana diketahui sebelumnya, Muhammadiyah telah menetapkan maklumat Hari Raya Idul Fitri 1444 H jatuh pada hari Jumat besok, 21 April 2023.

Sementara, pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) sore tadi baru menetapkan 1 Syawal 1444 H atau lebaran Idul Fitri 2023 jatuh pada hari Sabtu, 22 April 2023.

Keputusan tersebut berdasarkan hasil sidang Istbat yang digelar Kemenag pada Sore tadi dan diumumkan pada pukul 19.08 WIB.

Pengurus Besar (PB) NU dalam setiap tahunnya selalu mengikuti keputusan pemerintah terkait penetapan awal Ramadhan dan 1 Syawal.

Perbedaan penentuan Idul Fitri antara Muhammadiyah, NU dan pemerintah ini tidak bisa terlepas dari sejarah penggunaan metode hisab dan rukyatul hilal.

Muhammadiyah menggunakan metode hisab dalam menentukan awal suatu bulan. Sementara pemerintah melalui Kemenag menggunakan metode rukyatul hilal.

Metode Hisab

Dilansir dari laman tarjih.muhammadiyah.or.id, hisab secara bahasa berarti perhitungan atau pemeriksaan.

Sementara dalam Ilmu Fiqih, hisab berkaitan dengan penentuan waktu-waktu ibadah serta digunakan sebagai dasar perhitungan waktu dan arah tempat.

Di antara penggunaan metode hisab ialah untuk menentukan waktu salat, puasa, idul fitri, haji, pelaksanaan salat gerhana, serta penentuan arah kiblat yang tepat ke ka’bah.

Metode hisab dilakukan dengan perhitungan terhadap posisi geometris benda-benda langit khususnya matahari, bulan, dan bumi.

Pada zaman Nabi Muhammad SAW, metode tersebut belum digunakan karena keterbatasan teknologi pada masa itu.

Masyarakat Arab masih menggunakan pengetahuan perbintangan praktis untuk dijadikan petunjuk jalan di tengah padang pasir saat malam hari. 

Sehingga, di masa Nabi Muhammad SAW dalam penentuan waktu-waktu ibadah, seperti awal Ramadhan dan idul fitri berdasarkan pada rukyat bil fi’li, yakni memantau hilal dengan mata telanjang.

Barulah ketika budaya penerjemahan ilmu-ilmu pengetahuan mulai berkembang, pengetahuan masyarakat Arab terkait hisab dan astronomis mulai mengalami kemajuan. 

Di Indonesia sendiri, pelopor penerapan metode hisab adalah pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan. 

Metode Rukyat

Metode Rukyat juga sering digunakan dalam penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri atau 1 Syawal.

Metode Rukyat merupakan pengamatan secara langsung, baik menggunakan mata telanjang atau dengan bantuan alat teropong guna melihat penampakan hilal setelah matahari terbenam. 

Rukyatul Hilal biasanya dilakukan di beberapa titik yang tersebar di seluruh wilayah untuk menghindari bias atau hasil pengamatan yang kurang akurat.

Apabila hilal sudah berhasil dilihat, maka pada saat petang (Maghrib) yakni sekitar pukul 18.00 WIB telah memasuki bulan baru Hijriyah. 

Begitupun sebaliknya, apabila hilal belum terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai magrib di hari berikutnya.

Namun, faktanya hilal tidak selalu berhasil terlihat terutama bila selang waktu terbenamnya matahari terlalu pendek. 

Hal itu disebabkan iluminasi cahaya bulan yang masih terlalu suram dibandingkan cahaya langit di sekitarnya.

Kendati demikian, Kementerian Agama RI telah menegaskan bahwa metode rukyat dan hisab merupakan dua metode yang saling melengkapi. 

Terlebih, berdasarkan fatwa MUI Nomor 2 Tahun 2004 bahwa pemerintah Indonesia diberi kewenangan untuk menggunakan kedua metode tersebut dalam melakukan penetapan awal Ramadan, Syawal, dan Zulhijjah.

beras