Mahasiswa Fisip UINSA Gelar Webinar Bahas Kontroversi IUP PT Tambang Mas Sangihe
Berita Baru Jatim, Surabaya – Dewan Perwakilan Mahasiswa (DEMA) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UIN Sunan Ampel Surabaya menggelar Webinar dengan tema ‘Ada Apa dengan Sangihe?’ melalui Zoom Meet, pada Sabtu (31/07) malam.
Webinar ini mengundang dua narsumber, yaitu Haris Azhar selaku aktivis hak asasi manusia dan Roy Murtadho sebagai kader Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA), Pegiat Lingkungan, dan Pengajar Pesantren Ekologi.
Roy Murtadho memaparkan tentang kontroversi IUP PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) serta dampak ekologi, sosial, dan budaya. Menurutnya IUP PT TMS bertentangan dengan UU. No. 1 2014 perubahan atas UU. No. 27 tahun 2007 tentang Pengolahan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
Jika merujuk pada pasal 26 ayat a, dia melanjutkan, pemanfaatan pulau-pulau kecil dalam rangka penanaman modal asing, PT TMS harus mendapatkan izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). “Ini kan cacat hukum,” ungkapnya.
“Sudah ada peraturan yang sangat bagus saja masih bisa dilanggar apalagi ditambah dengan peraturan yang memang wataknya, sifatnya, niatnya tujuanannya memberi karpet merah bagi pemilik modal besar terutama pada bagian perusahaan ekstraktif,” imbuhnya.
Pegiat lingkungan ini menjelaskan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, hukum lahir dari konteks yang terjadi. “Kita tau dibalik Omnibus Law itu sebagian besar adalah orang-orang yang berafiliasi pada usaha-usaha ekstraktif terutama pada sektor batu-bara, terang pria yang akrab disapa Gus Roy ini.
Dalam kesempatan yang sama, Haris Azhar yang juga menjadi narasumber pada Webinar ini mengatakan bahwa ada beberapa UU yang bisa dijadikan pintu masuk melihat apakah IUP yang dikeluarkan oleh Kementrian ESDM sudah tepat atau belum.
“Beberapa UU yang bisa ditinjau adalah UU terkait dengan pulau-pulau kecil, UU pelindungan lingkungan hidup, UU Perhutanan, UU Minerba,” jelasnya.
Sangihe sendiri adalah kepulauan yang ada di wilayah Sulawesi Utara dan termasuk dalam kategori pulau kecil yang mana luas wilayahnya kisaran 72.000 hektar dan izin yang diberikan dalam sektor pertambangan sendiri sebesar 42.000 hektar lebih, ini berarti dalam perizinan tersebut sudah mencakup dari setengah wilayah atau sekitar 57%-nya.
“Kalau setengah wilayah dari satu kelompok kehidupan masyarakat itu dikuasai atau ditutup, ya habis gak bisa ngapa -ngapain lagi.” Menurutnya, ada logika yang melindungi dalam regulasi tersebut. “Kenapa tidak boleh dilakukan penambangan karena sedikit itu dilakukan bisa merusak apalagi strukturnya itu ada tanah dan air,” tegas pendiri Lokataru ini.
Lepas dari itu semuan Haris Aditya selaku ketua DEMA FISIP UINSA juga mengakatan “webinar ini kami adakan untuk mengangkat lagi isu ini di media dan juga memberikan informasi terkait ketidaksewenangan pemerintah pusat yakni Kementrian ESDM yang telah memberikan IUP kepada PT. TMS, ” ucap ketua DEMA FISIP UINSA.
Mahasiswa semester enam itu juga mengatakan bahwa “kasus PT. TMS tidak hanya cacat hukum yang melanggar UU Nomor 1 Tahun 2014 tapi juga dampak ekologi, sosial dan budaya sangat luar biasa terhadap kepulauan Sangihe dan penduduknya”.
Indonesia merupakan negara dengan kekayaan alam yang sangat melimpah. Menghargai alam adalah kunci dari kelestarian lingkungan. Namun, perusahaan besar seharusnya dapat lebih beretika dalam melakukan hubungan sosial terhadap masyarakat dan menghormati budaya adat istiadat masyarakat setempat.
Webinar ini mendapatkan banyak antusias dari para peserta yang di antaranya berasal dari luar FISIP dan beberapa Universitas lain. Setidaknya ada hampir 123 peserta yang hadir dalam acara ini. [Muhammad Husaini]