Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Manis dan Pahitnya Mudik ke Pulau Ra'as

Manis dan Pahitnya Mudik ke Pulau Ra’as



Oleh : Wandi Halona, Ketua LTN NU Badung/ Wakil Sekretaris IKA PMII Bali


Dalam tulisan ini, saya akan fokus membahas para perantau dari Pulau Ra’as, Sumenep dengan jumlah penduduk 34.784 jiwa menurut data Bappeda 2003. Yang mana, 80% (27.827) penduduknya merantau kesekian penjuru daerah, terutama Bali.

Mengapa merantau? Sebab di kampung halaman penuh keterbatasan, setidaknya dua hal : pendidikan dan peluang kerja. Seperti perguruan tinggi hanya ada satu, itupun secara kualitas iya sekedar cukup dan minim jurusan. Apalagi peluang kerja, potensi yang ada pengamatan saya, hanya melaut dan bertani. Tidak ada semacam perusahaan yang bisa menyedot ratusan pekerja. Akhirnya, banyak yang merantau untuk hidup yang lebih baik. Dan anak-anak muda yang haus akan ilmu menempuh pendidikan ke pondok-pondok pesantren di jawa/kuliah ke Kota-Kota Berpendidikan (Malang, Jogja, Jakarta, dll).

Setelah sukses di tanah rantau, hampir 90% tidak pulang ke tanah kelahirannya untuk membangun pulaunya, melainkan tetap tinggal diluar dengan pelbagai aktifitasnya. Ada yang sukses jadi pengusaha, ada yang sukses berkarir politik, ada yang sukses menjadi dosen, ada yang sukses membangun media, dll.

Mengapa mereka tidak pulang ke tanah kelahirannya? Hemat saya, tidak banyak yang bisa diperbuat di pulau tercinta Ra’as. Ra’as bagi kebanyakan dari kami dipandang sebagai tempat pulang, tempat kelahiran, tidak lebih dari itu. Tentu, ada beberapa saudara-saudara kami yang berfikiran lebih berani dan maju untuk Ra’as dengan tetap kembali pulang setelah jauh merantau, yakni dengan mengajar/tenaga pendidik, membuka peluang kerja, dll. Salam hormat untuk kalian semua.

Sejauh apapun kami merantau, tanah kelahiran tetap menyimpan ribuan kenangan dan dalamnya rasa Rindu. Dan bulan Ramadhan (Idul Fitri) adalah momentumnya. Selain tentang keindahan alamnya yang belum tersentuh industri, juga tentang sawah dan laut yang natural, lebih dari itu adalah tentang kenangan masa kecil, tentang berkumpulnya keluarga, tentang menyambung silaturahmi. Terutama yang memiliki orang tua yang sudah menua, beliau selalu berkata ; “Pulang, nak. Kami Rindu. Hanya setahun sekali.” Walaupun, tidak semua dari yang merantau bisa mewujudkan keinganan itu, bukan karena tidak ingin pulang, namun seringkali ekonomi menjadi kendala, sempitnya libur kerja, bisa juga karena kesibukan kerja. Teruntuk yang bisa mudik berkumpul bersama keluarga, selamat berbahagia, dan untuk yang belum sempat, semoga tahun depan bisa berkumpul di tanah kelahiran.

Alasan lain mudik ialah, karena moment pasca lebaran adalah waktu keluarga menyelenggarakan sekian acara/hajatnya : nikahan, sunnatan, dll. Biasanya dimulai H+7 lebaran. Mengapa diadakan setalah lebaran? Sebab momentum keluarga berkumpul. Harapannya, acara bisa dilaksanakan meriah dengan dihadiri sanak family.

Suka Duka Mudik
Saat Mudik ataupun Arus Balik, kami harus melewati sekain perjalanan yang tidak sederhana. Sebagai contoh perantau Bali menuju Ra’as. Setidaknya, harus melewati pelabuhan Gilimanuk-Ketapang, setelah itu pelabuhan Jangkar-Situbondo menuju Ra’as. Rintangan pertama di Gilimanuk, bagi yang tidak beruntung, akan kejebak macet dari kisaran 3-8 jam. Saya ambil contoh dua karib saya yang saat mudik naik sepeda motor harus mengantri 4 jam untuk sampai di kapal Ferry Gilimanuk, dan karib lainnya mengendarai mobil harus mengantri 8 jam.

Rintangan selanjutnya di Pelabuhan Jangkar-Situbondo menuju Pulau Ra’as. Kami harus mengantri tiket dari 1-3 hari dipelabuhan. Tidur seadanya di alas pelabuhan, pagi-pagi petang harus bangun untuk ngantri tiket. Dapat tiket, iya beruntung, tidak kebagian tiket, harus menunggu hari selanjutnya. Walaupun sudah ada program gratis dari pemerintah yang cukup membantu, namun belum bisa menjawab penuh soal antrian. Tidak cukup disitu, di dalam kapal, kami harus berjibaku berdesak-desakan untuk mendapat tempat.

Rintangan ketiga, menikmati keindahan laut dengan ombaknya yang membuat perut terguncang dan kepala berputar-putar selama 4-5 jam (Jangakar-Ra’as). Syukur Alhamdulillah sekarang ada Kapal Ferry yang sangat membantu dalam perjalanan. Jika memakai kapal kayu berukuran sekitar 10 meter dengan muatan 100-150 orang (maaf dan koreksi jika salah). Tentu suara mesin dan getaran serta goncangan ombak lebih terasa. Bagi yang pemabuk di kapal, walaupun sehebat apapun muntah dan sepusing apapun kepala, hilang seketika dikala melihat pulau tercinta Ra’as. “Bede dimmala? Areala bede ebudiyenna Kalosot”.

Selamat Mudik
Selamat Berkumpul Bersama Keluarga
Selamat Kem-Bali

beras