Meneladani Sosok KH Nuril Huda Suaidi: dari Spirit Perjuangan hingga Nasehatnya
Oleh: Baijuri (Ketua PKC PMII Jawa Timur)
Pada 17 Agustus 1939, saat seluruh Republik ini bergembira merayakan hari kemerdekaan, di Kabupaten Lamongan pasangan suami istri KH Mohammad Shoib dan Hj Khotijah kegembiraannya berlipat ganda, karena putra kelimanya telah lahir melihat dunia. Beliau yang kemudian hari menjadi sosok penting dalam berdirinya Pergerakan Mahasiswa Indonesia, KH Nuril Huda Suaidi.
KH Nuril Huda, sosok Kiai yang sampai akhir hayatnya selalu semangat dalam perjungan menebar manfaat. Ketika mendengar nama beliau penulis selalu tak bisa membayangkan bagaimana perjuangan beliau bersama 12 tokoh ketika mendirikan organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Bagi mahasiswa pergerakan, nama beliau sudah tidak asing bahkan sudah familiar semenjak masuk dalam organisasi yang didirannya. Rabu pagi 20 Desember, sosok kharismatik itu telah usai perjuangannya.
Kendati demikian, spririt perjuangan dan nasehat beliau tak akan pernah lapuk untuk dijadikan uswah hasanah proses kaum pergerakan. Dalam tulisan yang singkat ini, penulis akan menghadirkan spirit perjuangan dan nasehat beliau agar bisa menjadi refleksi bersama khususnya bagi kaum pergerakan.
Nuril Huda dan Semangat Beorganisasi Mahasiswa Nahdliyin
Mula-mula sekitar tahun 1955-an, semangat mahasiswa Nahdliyin lainnya mulai membara untuk mendirikan jam’iyah (organisasi). Spirit berorganisasi ini berawal dari kegelisahan tidak adanya wadah khusus untuk mahasiswa Nahdliyin, termasuk salah satunya Nuril Huda muda.
Pada bulan Desember 1955, berdirilah Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (IMANU) di Jakarta. Sementara di Surakarta, pada tahun yang mahasiswa Nahdliyin mendirikan Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU). Namun, kedua organisasi ini tidak direstui oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), alasannya karena Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) masih baru diberdirikan setahun sebelumnya. Sehingga PBNU menghawatirkan eksistensi IPNU yang masih belia akan pudar dengan adanya kedua organisasi IMANU dan KMNU.
Meskipun tidak direstui sebelumnya, spirit berjam’iyah Nuril Huda dan mahasiswa Nahdliyin tak pernah surut, hal ini jelas terbukti pada beberapa kesempatan. Misalnya pada Muktamar kedua IPNU di Pekalongan Januari 1957. Gagasan pendirian organisasi mahasiswa NU kembali muncul dan kembali mengalami penolakan. Pada Muktamar ketiga IPNU di Cirebon Desember 1958. Kemudian dibentuklah Departemen Perguruan Tinggi NU sebagai ikhtiar kompromi atas gagasan tersebut. Namun pada akhirnya, terjadi kesenjangan antara departemen PT NU dan IPNU.
Hingga puncaknya, pada Konferensi Besar IPNU tertanggal 14-17 Maret 1960 di Kaliurang Yogyakarta. Akhirnya dalam forum tersebut diputuskan pentingnya pemberdirian organisasi mahasiswa NU. Kemudian ditunjuklah Nuril Huda sebagai salah satu dari 13 tim perumus organisasi mahasiswa NU. 13 tim perumus ini yang pada hari ini dikenal menjadi pendiri PMII.
Setelah perwakilan dari 13 tim perumus melakukan kunjungan ke PBNU yang pada saat itu diketuai KH Idham Kholiq, diputuskanlah Musyawarah Mahasiswa NU pada tanggal 15-16 April 1960 di Wonokromo Surabaya. Singkatnya, setelah melalui dialektika perdebatan panjang disepakatilah Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) sebagai organ yang mewadahi mahasiswa NU. Nuril Huda dan tokoh pendiri lainnya menyepakati untuk menunjuk Mahbub Djunai sebagai ketua umum PMII.
Pada dasarnya, semangat berorganisasi Nuril Huda dan mahasiswa Nahdliyin lainnya tidak pernah surut dalam memperjuangkan adanya organ untuk mahasiswa NU. Andai saja dulu Nuril Huda putus asa ketika mengalami penolakan oleh PBNU, niscaya sampai sekarang PMII sebagai organ bai mahasiswa NU tidak akan ada. Baik spirit berorganisasi maupun perjuangan tersebut harus menjadi uswah bagi mahsiswa Nahdliyin, wabil khusus bagi kaum pergerakan.
Nuril Huda dan Nasehat Untuk Kader Pergerakan
Sebernya terlalu terbatas bagi penulis untuk menyimpulkan nasehat beliau dari banyak nasehatnya. Kendati demikian, penulis akan menarasikan sedikit dari gagasan dan nesehatnya untuk kemudian bisa direfleksikan bersama.
Dalam Musyawarah Pimpinan Nasional (MUSPIMNAS) di Boyolali, KH Nuril Huda menghistoriskan pengalamannya ketika mendirikan PMII. Beliau menjelaskan berdirinya PMII semata untuk menjaga dan membela akidah Ahlu Sunnah Wal Jama’ah sepanjang masa. Bahkan Nuril Huda dan pendiri lainnya berpuasa sunah saat mendirikan PMII. Hal ini semata untuk mendapat keberkahan dalam tubuh PMII. Penting bagi kader untuk memiliki karakter jujur dalam dirinya. Kejujuran sebagai prinsip dalam menjalankan proses, baik berproses di PMII maupun kelak berproses menjadi pejabat ataupun berkarir pemerintahan. Nasehat KH Nuril Huda diantaranya;
Pertama nasehat bagi kader. Selain kejujuran, beliau juga menasehatkan untuk menjaga nilai-nilai aswaja dalam berproses di PMII. Penjagaan tradisi yang telah menjadi nilai merupakan hal yang paling serius. Sebab tanpa nilai niscaya organisasi tak punya arah dan tak akan bertahan lama. “Berproses di PMII harus serius, mendirikan PMII dengan tirakat” demikian kalimat yang sempat diucap beliau.
Kedua, nasehat bagi alumni, penting bagi alumni merawat kader dibawahnya dengan baik, sebab kader tak lain adalah penerus perjuangan. Aktivitas alumni merawat dan membantu kader dikalangan PMII disebut dengan istilah “ngader”. Almuni harus ngader generasi penerus dengan baik. “kalau jadi alumni harus adek-adeknya dirawat dan dibantu. Jangan pelit jadi alumni karena mereka yang akan meneruskan perjuangan muassis NU dan PMII” demikianlah nasehat yang disampaikan KH Nuril Huda. Merawat dan membantu dalam segala hal, baik ilmu, pengalaman, bahkan finansial ketika kader mengalami masalah dan membutuhkan bantuan. Inilah nasehat bagi alumni untuk terus direfleksikan bersama.
Ketiga nasehat bagi kader yang berkaris dalam dunia politik. “Kalau jadi politisi jangan lupa diri, ingat, kamu kader PMII” adalah nasehat yang pernah disampaikan beliau. Saat berkarir menjadi politisi, harus tetap memegang teguh prinsip PMII. Artinya jangan melupakan tempat berasal dan titik balik memulai proses. PMII memiliki nilai-nilai yang harus tetap tersublim dalam segala aktivitas karir. Kader PMII harus berpegang teguh pada prinsip Ulul Albab, Nilai Aswaja, dan nilai dasar pergerakan (NDP). Jangan sampai karir politik merubah prinsip yang dimiliki kaum pergerakan. Hal ini yang tidak diinginkan oleh KH Nuril Huda.
Meski sosok kharismatik dan penuh semangat KH Nuril Huda telah usai, tetapi spirit perjuangan dan nasehatnya tak akan pernah hilang. Spirit beliau harus tetap hidup dan terus teraktualisasi dalam proses kader pergerakan. Wafatnya sosok KH Nuril Huda bukan berarti hilangnya uswah yang telah beliu wariskan. Sebab duka cita yang sesungguhnya ketika spirit perjuangan dan nasehat beliau sudah tidak dimiliki oleh kader.