Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Merawat Peninggalan Mahbub Djunaidi
Dr. H. Sidi Alkahfi Setiawan, S.H., M.H, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Jember dan Konsultan di Law Firm Kahfi dan Patner’s.

Merawat Peninggalan Mahbub Djunaidi



Oleh: Dr. H. Sidi Alkahfi Setiawan, S.H., M.H.*


hanya ikan mati, yang mengikuti arus.

(anonymus)

Menulis opini tentang sosok Mahbub Djunaidi, Pendiri Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), bukanlah sesuatu yang teramat sulit dan mustahil dilakukan, juga bukan sesuatu yang mudah, mengingat saya selaku penulis usianya terpaut sangat jauh dengan sang maestro, untungnya sebagai penulis saya dilahirkan di keluarga aktivis yang segaris dengan bung Mahbub Djunaidi. Ayahanda saya almarhum H. Anang Saleh dan almarhum Bung Mahbub Djunaidi, paling tidak memiliki dua kesamaan pertama, keduanya adalah sama-sama aktivis dan penggila NU, Ansor dan PMII yang kedua, tahun kelahirannya sama persis dengan Bung Mahbub Djunaidi yaitu 1933, hanya selisih beberapa minggu, ayah saya lahir tgl. 08 Juni 1933, dan Bung Mahbub tgl. 27 Juli 1933.

Refrensi saya tentang Bung Mahbub Djunaidi, tidak terlalu banyak, sebagian besar memori saya adalah berasal dari penuturan ayah saya, yang bersahabat dengan beliau (salah satu dari banyak sahabat beliau), saat saya kecil di tahun 1970-an, saya ingat betul, ayah saya begitu bersemangat dan berbinar saat bercerita tentang “sahabat”nya yang satu ini, bagi almarhum ayah saya sosok Mahbub Djunaidi adalah sosok fatsun politik yang dikaguminya, disamping beberapa nama besar lainnya, seperti KH Hasyim Asy’ari (Jombang), KH Idham Cholid (PB NU), KH Hamid (Pasuruan), KH As’ad Samsul Arifin (Situbondo), Syaichona Cholil (Bangkalan), KH Wachid Hasyim (Jakarta), Subhan ZE (Malang), Buya Hamka (Muhammadiyah) dll, namun demikian nama Mahbub Djunaidi (Jakarta) yang seorang wartawan hebat berjuluk pendekar pena inilah yang paling membuat almarhum ayah saya sangat senang menceritkannya.

Masih segar dalam ingatan saya, bagaimana almarhum memuji sosok Mahbub Djunaidi, yang menurutnya sosok yang sangat pintar, dan jauh lebih gila membaca buku dibanding ayah saya yang oleh para kerabat kami “sudah” dijuluki kamus berjalan, ayah saya malah lebih sering memuji sosok Mahbub Djunaidi sebagai seorang yang sangat kompeten dalam keilmuannya. Masih segar pula bagaimana almarhum ayah saya bertutur tentang kebiasaan seorang Mahbub Djunaidi yang begitu cinta terhadap buku, dituturkannya pula hampir setiap minggu Bung Mahbub Djunaidi, selalu mengakses Perpustakaan Nasional dan pulangnya membawa buku pinjaman sebanyak satu becak penuh dari Perpustakaan Nasional, hebatnya beliau sangat disiplin karena pada hari yang sama diminggu berikutnya Bung Mahbub Djunaidi mengembalikan seluruh buku yang dipinjamnya secara lengkap dan pulangnya kembali “memboyong” buku-buku baru koleksi Perpustakaan Nasional dalam jumlah yang sama yaitu satu becak.

Sebagai pelahap buku yang serius, ayah saya jadi penasaran dan bertanya-tanya di dalam hati, beneran tah buku-buku ini dibaca, ditengah kesibukan bung Mahbub sebagai kolumnis pada beberapa surat kabar, juga mengurus NU, Mengurus HMI pula (Bung Mahbub Djunaidi pada saat itu salah satu Ketua di HMI), gesekan antar anak bangsa pada kurun waktu akhir 1950-an memang keras, HMI yang anak Masyumi diisukan akan di bubarkan oleh Soekarno, yang gerah dengan kritikan aktivis HMI kala itu, oleh para Kiai sepuh kala itu akhirnya Bung Mahbub Djunaidi diperintahkan membuat “sekoci” bagi wadah para mahasiswa muslim untuk berjuang, sekoci itu bernama PMII, Bung Mahbub Djunaidi pada akhirnya membidani kelahiran PMII pada tahun 1960.

Penasaran ayah saya akhirnya terjawab manakala Bung Mahbub Djunaidi menjawab pertanyaan ayah saya bagaimana teknik membaca buku yang efektif, sehingga mampu “melahap” buku satu becak hanya dalam waktu satu minggu, jawabannya diluar dugaan, “ya enggaklah kalau dibaca semua (kata Bung Mahbub), tapi saya memiliki cara khusus untuk membaca buku-buku ini tukasnya, saya membaca halaman sampul belakang, kata pengantar dan daftar isi, yang kemudian saya catat di sebuah buku, misal buku aksi masanya Tan Malaka, atau Sosialisme dan Demokrasinya Rosa Luxemburg” (yang tentunya dalam bahasa aslinya), Bung Mahbub Djunaidi, membaca dan membuat catatan atas Endors dihalaman sampul belakang, Kata pengantar dan daftar isi, sebagai pembaca buku dengan cara konvensional, almarhum ayah saya jadi bertambah penasaran, dilanjutkannya bertanya, untuk apa punya catatan singkat atas sebuah buku kalau tidak membaca sampai tuntas, lagi-lagi jawaban beliau diluar dugaan, “begini Bung Anang, dari catatan itulah saya menulis artikel, menulis kolom, menulis esai, saat saya ada ide untuk menulis tentang sesuatu, saya buka catatan saya, dan bukunya saya pinjam lagi ke Perpustakaan Nasional, baru saya baca secara lengkap sampai habis, ini salah satu teknik saya dalam membaca dan menulis, sehingga tulisan saya menjadi segar dan selalu up date”, saat saya menulis opini ini, saya jadi terbayang seandainya Bung Mahbub Djunaidi hidup pada masa sekarang, yang serba canggih dengan koleksi buku yang bias diakses kapan saja, rasanya beliau akan menjadi amat sangat lebih gila lagi dalam membaca, betapa tidak dengan akses dan koleksi yang minim kala itu tanpa ada computer dll, sang pendekar pena sudah begitu luar biasa.

Melihat kiprah beliau didunia pergerakan pada masanya, rasanya gebrakan Anies Baswedan dengan mengganti salah satu nama ruas jalan di Ibu Kota dengan nama Mahbub Djunaidi bukanlah sesuatu yang sangat pantas, dan bukan sesuatu yang luar biasa dan tidak perlu dianggap berlebihan.

Rasanya kita Mahbub Mahbub muda, di era kekinian perlu merenung dan melihat kaca benggala, bahwasanya keterbatasan bukan hukuman dan kita perlu malu jika tidak bisa seperti beliau dalam berkarya, karena buat beliau hanyalah seekor ikan mati yang terhanyut mengikuti arus, mari kita jaga mari kita rawat peninggalan beliau yang luar biasa yaitu bernama PMII.

Jangan pernah abai mencintai negeri ini, teruslah berdetak, teruslah bergerak, teruslah berjejak, teruslah jaga semangatnya, untuk mencintai PMII, karena mencintai PMII hakikatnya menjaga NU, menjaga NU hakikatnya menjaga NKRI secara Kaffah.

Tangan terkepal, maju kemuka.

Wallahul Muwafiq Ilaa Aqwamith Thoriq.

Jember, 12 Nopember 2022.

beras