Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Meruwat Kesalehan Sosial di Mimbar Dakwah Virtual
Ilustrasi: ideapers.com

Meruwat Kesalehan Sosial di Mimbar Dakwah Virtual



Opini Era digital memberikan ruang seluas-luasnya bagi pertarungan opini, sehingga berbagai konten yang diproduksi menjadi objek liar yang bisa ditafsirkan dengan bebas oleh khalayak. Meminjam pernyataan Ulil Abshar Abdalla, bahwa masalah yang menghantui umat Islam saat ini adalah bagaimana bisa hidup sesuai tuntunan teks agama di satu pihak, juga menyesuaikan diri dengan perkembangan kemanusiaan di lain pihak. Menjadi otentik sekaligus modern, menjadi muslim yang baik sekaligus mengikuti perkembangan teknologi.

Melihat kenyataan semacam ini sesungguhnya dakwah Islam memiliki peluang besar untuk berdialektika dengan teknologi. Fenomena anak muda mengaji menggunakan smartphone, umroh sebagai tren wisata religi, curhat masalah agama di grup-grup chat, hingga pengajian di kantor atau hotel adalah bukti adanya perubahan dalam keberagaman format dakwah umat dewasa ini.

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam sudah sepatutnya mampu mengikuti perkembangan teknologi sebagai bagian integral dari perkembangan peradaban umat Islam. Pesantren harus mampu membuka peluang asimilasi antara teknologi dengan metode dakwah. Jika dulu dakwah disampaikan secara tatap muka dalam suatu forum atau pengajian akbar, saat ini dengan adanya kemajuan teknologi muncul tren baru, yakni dakwah virtual. Bahkan beberapa pesantren sudah mulai menggunakan fitur live streaming untuk meliput pengajian kitab klasik.

Pertanyaannya, apakah kita mampu menyaring informasi yang beragam di tengah rimbunan konten media sosial lalu mengambil manfaat positifnya saja? Di sinilah peran santri masa kini yang notabene mendapatkan tempaan ajaran agama lebih intensif selama di pesantren dan didukung perkembagan kehidupan sosialnya yang telah mengenal kecanggihan teknologi internet bahkan sejak lahir, harusnya mampu menjadikan mimbar digital sebagai ladang dakwah virtual. Menyajikan konten islami dengan referensi yang valid dan jauh panggang dari muatan rasisme, terorisme ataupun ujaran kebencian.  

Metode dakwah dengan menggunakan kebaruan teknologi adalah keharusan bagi santri dan pesantren. Konten keislaman yang mengedepankan sikap moderat dan humanis harus diperbanyak dan dikelola dengan rapi. Jika seluruh pesantren di Indonesia memiliki pusat-pusat data (big data) yang berisikan berbagai referensi kitab, buku, jurnal, atau video pembelajaran keislaman, yang dikelola secara rapi dan dapat diakses dengan mudah oleh publik dan didukung pula dengan digalakkannya pusat kajian media digital hingga menghasilkan riset yang disebarluaskan secara digital, maka peningkatkan budaya literasi santri yang sering dianggap gagap teknologi, perlahan akan pudar. Membentuk citra baru, bahwa santri selain melek ilmu agama, juga bisa melek teknologi. Dakwah virtual semacam ini diharapkan mampu menyelamatkan generasi milenial dari serbuan pemahaman semu yang senangnya mencari jawaban singkat dan cepat sehinga tidak kuat basis dalilnya.

Website memegang salah satu peranan yang penting dalam menyajikan referensi atau informasi. Meskipun situs nu.or.id dan muhammadiyah.or.id masuk lima besar situs keislaman berdasarkan peringkat Alexa (yang menyajikan informasi peringkat situs di seluruh dunia), masih banyak situs lainnya yang berisikan konten keislaman garis keras yang tak jarang menebarkan berita bohong dan ujaran kebencian. Sudah menjadi tugas kita bersama untuk memerangi yang garis keras ini agar tak sampai memecah umat atau negara. Berdakwah tidak hanya lewat ceramah agama yang bisa direkam lalu diposting ke Youtube, bisa juga dengan tulisan. Santri yang senang menulis dapat menjadi kontributor dan mengirimkannya ke situs daring media Islam moderat seperti NU Online, islami.co, alif.id, cyberdakwah.com, fiqihmenjawab.net, atau arrahmah.co.id (yang merupakan situs versi moderat dari arrahmah.com, pimpinan Abu Jibril yang terbukti keras dan jihadis, pernah diblokir Kemenkominfo karena dianggap mendukung terorisme). Atau seperti yang dilakukan oleh Arus Informasi Santri (AIS) Nusantara yang berjejaring menggunakan Instagram sebagai media dakwahnya.

Lebih luas lagi diharapkan dakwah virtual ini menjadi mesin penggerak kesadaran kritis, menggeser kesadaran instan yang menjadi sasaran empuk pengembangbiakan hoax, pelintiran kebencian, bahkan benih terorisme dan ekstremisme. Sehingga kesalehan sosial dapat diruwat secara berjamaah, yaitu pribadi yang tidak hanya menilai keislaman dari seberapa rajinnya beribadah, tapi juga bagaimana menebar manfaat pada sesama, berakhlakul karimah, bertanggungjwab, dan tidak menjadi masyarakat bersumbu pendek yang mudah terprovokasi. Menjadi umat yang tak hanya fanatik keberagamaan, tapi juga cinta pada keberagaman. 

beras