Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Meyanggah Dalih Kemiskinan dalam Eksploitasi Pesisir Selatan Jember

Meyanggah Dalih Kemiskinan dalam Eksploitasi Pesisir Selatan Jember



Oleh: Wahyu Eka Setiawan (Manajer Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Jawa Timur (Walhi Jatim)

Kebijakan Pemerintah Jember terlalu top-down atau bermuaranya hanya pada pemimpinnya tanpa melibatkan masyarakat. Tentu, kata-kata memaksimalkan PAD, akan menjurus pada model ekonomi eksploitatif. Polanya kavling lahan, mudahkan izin, kasih keringanan modal dan aneka kemudahan lainnya.

Artinya yang katanya akan memaksimalkan pesisir untuk mengentaskan kemiskinan dengan melakukan maksimalisasi kelola lalu dikembalikan ke masyarakat justru malah berpotensi semakin memiskinkan masyarakat, karena eksploitasi tersebut adalah praktik coba-coba yang belum teruji keampuhannya. Malah berpotensi menurunkan ekonomi masyarakat lokal, terutama mereka yang sudah memanfaatkan pesisir tanpa harus merusak kawasaannya.

Pemiskinan juga akan terjadi ketika ekosistem rusak, di mana potensi bencana hingga kehilangan sumber alam esensial seperti air akan memperentan kehidupan masyarakat. Apakah pengurus negara dalam hal ini pemerintah kabupaten memikirkan masa depan masyarakat pesisir? Masa depan eksosistemnya? Keberlanjutan kehidupan manusia dan ekosistemnya?

Mantra PAD, pengentasan kemiskinan dan kepentingan publik, selalu dibuat tameng dalam membuat kebijakan eksploitatif. Padahal masyarakat pesisir, bahkan mangrove hingga ikan kecil-pun berhak hidup tanpa adanya kerusakan. Apakah tragedi hancurnya kawasan pesisir, yang pada akhirnya memakan korban jiwa dikatakan “oh itu resiko pembangunan.” Apakah masa depan bahkan nyawa satu orang oh hampir masyarakat orang pesisir tidak berarti jika dibandingkan mayoritas sehingga hak-hak untuk hidup di wilayahnya?

Lalu jika ada peningkatan PAD, dengan kontrol dari Pemkab sebagai perantara, lantas sebenarnya perlukan mengeksploitasi pesisir? untuk siapa? lalu untuk apa? siapa yang mendapatkan keuntungan dan lari ke mana uangnya? Dan siapa yang harus menanggung akibatnya?

Setiap pembangunan atau rencana harusnya disodorkan dari bawah ke atas bukan sebaliknya. Jika pemerintah punya ide, harusnya disampaikan ke bawah, diforumkan dan terjadi debat baik pro dan kontra agar semua paham pilihan dan konsekuensi. Tetapi tidak, hanya forum satu arah yang melibatkan elite-elite, bukan mereka yang harus menanggung kerusakan dan akibat dari pola ekonomi eksploitatif yang akan mempercepat laju kerentanan wilayah.

Dan, terakhir, ide mengentaskan kemiskinan dengan mengeksploitasi kawasan pesisir sebenarnya bukan jawaban, karena akan meningkatkan potensi kemiskinan baru. Seperti memicu perampasan lahan dan sumber ekonomi lokal yang mendorong konversi pekerjaan. Kerusakan eksosistem yang mendorong hilangnya jasa lingkungan, seperti air, tanah dan biota-biota alami air yang membantu kehidupan manusia terancam. Artinya ingin mengentaskan kemiskinan dengan menciptakan kemiskinan baru dan menambah kemiskinan di masa depan, ketika pesisir habis dan rusak.

Ada potensi ekonomi lokal berkelanjutan yang dapat diambil. Mendorong ekonomi lokal masyarakat, menyediakan akses modal dan jaminan pasar, tentu mendukung pola ekonomi yang tidak merusak jasa lingkungan, tetapi justru menguatkan jasa lingkungan. Yang membuat miskin itu adalah ketimpangan di mana akses modal hanya dimonopoli kelas menengah atas, tidak terjaminnya hak atas tanah, di mana Jember masih cukup tinggi konflik agrarianya. Tidak dijaminnya input dan output produksi pertanian dan nelayan melalui akses modal, teknologi, pengetahuan, inovasi dan jaminan kontrol atas pasar.

Ketimpangan menyebabkan kemiskinan, dan ketimpangan itulah wujud dari kebijakan dan regulasi yang tidak berpihak pada masyarakat bawah, nelayan dan petani kecil. Sehingga patut dipertanyakan, siapa yang sebenarnya paling diuntungkan dari eksploitasi pesisir? Dan siapa yang paling dirugikan?

beras