
Mimesis sebagai Representasi Realitas, Sekolah Sastra HISKI Pertemuan Kedua Usai Digelar
Berita Baru, Jakarta — Sekolah Sastra Himpunan Sarjana-Kesusastraan Indonesia (HISKI) dengan topik Mimesis pertemuan kedua usai digelar. Acara berlangsung via Zoom Meeting serta disiarkan secara langsung di kanal Youtube Official HISKI Pusat dan Tribun Network, pada Sabtu, (25/10).
Sekolah Sastra merupakan salah satu program unggulan HISKI yang difasilitasi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.
Sama dengan pertemuan pertama, pertemuan kedua Sekolah Satra dengan topik Mimesis ini diampu oleh Prof. Manneke Budiman, M.A., Ph.D. (HISKI Komisariat Universitas Indonesia), serta dimoderatori Dr. Endah Imawati, M.Pd. (Tribun Network).
Sebelum pemaparan materi, acara dibuka dengan sambutan Wakil Ketua I HISKI Pusat, Prof. Mohd. Harun, M.Pd. Dalam sambutannya, Harun mengatakan bahwa sesi kedua Sekolah Sastra dengan topik Mimesis ini menjadi forum pendalaman atas pertemuan sebelumnya.
“Belum begitu banyak penelitian sastra yang memandang karya sastra dari sudut Mimesis. Oleh karena itu, kami berharap agar sekolah sastra ini menjadi forum bertukar pikiran dan belajar bersama,” harapnya.
Pendalaman terhadap teori, metode, dan praktik riset mimesis menjadi lengkap pada pertemuan kedua ini. Keutuhan materi ini menjadi sumber inspirasi bagi para peserta melakukan riset mimesis untuk mengungkap kedalaman setiap fenomena yang tersaji dalam karya sastra.
Acara berlanjut pada pemaparan inti. Manneke Budiman, dari Departemen Ilmu Susastra Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, membawakan materi berjudul “Mimesis Sesi 2”.
Manneke menguraikan pembacaan tentang konsep tiruan atau representasi dalam karya sastra dan seni berdasarkan pemikiran klasik hingga modern. Ia membuka pemaparan dengan analisis terhadap pembacaan Erich Auerbach atas karya Dante Alighieri, La Divina Commedia.
“Melalui tokoh-tokoh seperti Farinata dan Cavalcante, Dante dianggap memadukan unsur sakral dan vernakular −bahasa surgawi dan bahasa sehari-hari− yang menandai lahirnya estetika baru dalam tradisi sastra Eropa. Dalam karyanya, Dante tidak hanya menggambarkan dunia akhirat secara spiritual, tetapi juga menghadirkan manusia sebagai sosok historis dan realistis yang penuh emosi,” jelasnya.

Menurut Auerbach, lanjut Manneke, gaya penceritaan Dante menampilkan manusia yang independen dan individual, namun tetap berada dalam tatanan ilahi. “Inilah yang menjadikan Divina Commedia bukan sekadar alegori religius, tetapi juga representasi mendalam tentang pengalaman manusia dan nilai-nilai universal,” tambahnya.
Manneke kemudian meluaskan pembahasan pada karya-karya lain yang menggambarkan pergeseran konsep mimesis dalam berbagai bentuk seni. Ia menyoroti analisis Francoise Meltzer tentang sosok Salome dalam novel À Rebours karya Joris-Karl Huysman dan lukisan Gustave Moreau.
“Melalui teknik ekfrasis, Huysman mencoba menerjemahkan keindahan visual ke dalam bahasa sastra. Namun, upaya itu justru memperlihatkan paradoks: seni yang ingin ‘menghidupkan’ objek akhirnya harus membekukannya menjadi gambar yang mati dan estetis,” urainya.
Manneke kemudian melanjutkan pembahasan ke drama klasik India Sakuntala karya Kalidasa. Dalam teks ini, Manneke menambahi seni lukis dan sastra saling merepresentasikan satu sama lain −menunjukkan bahwa seni tidak hanya meniru kenyataan, tetapi juga mampu menciptakan kenyataan baru.

“Tokoh Raja Dusyanta bahkan digambarkan ‘menghidupkan’ lukisan kekasihnya, Sakuntala, hingga batas antara realitas dan representasi menjadi kabur. Namun, karena kisah itu sendiri dibingkai oleh bahasa, representasi visual akhirnya tetap kembali menjadi tiruan verbal,” bebernya.
Lewat ketiga kasus tersebut (Dante, Huysman, dan Kalidasa) Manneke menegaskan bahwa mimesis bukan sekadar peniruan realitas, melainkan proses kreatif yang menegosiasikan batas antara kehadiran dan ketidakhadiran, realitas dan representasi.
“Dalam konteks modern, gagasan ini mengajak kita melihat bahwa karya seni dan sastra tidak hanya mencerminkan dunia, tetapi juga membentuk cara kita memahami dan merasakan realitas itu sendiri,” pungkasnya.
Acara dilanjutkan dengan diskusi interaktif antara narasumber dan audiens. Sampai akhir acara, Sekolah Sastra kali ini diikuti sekitar 112 peserta di Zoom Meeting dan telah ditonton 225 kali secara akumulatif di kanal Youtube HISKI dan Tribun Network.
Sekolah Sastra yang merupakan salah satu program kegiatan HISKI Pusat untuk meningkatkan kompetensi dan bekal pengetahuan bagi para anggota HISKI yang tersebar dari Aceh hingga Papua, peneliti, dan ilmuwan sastra pada umumnya, tahun 2025 masih akan hadir pada bulan Desember.
Sekolah Sastra ini digelar setiap dua bulan bergantian dengan agenda Tukar Tutur Sastra. Kedua kegiatan tersebut menjadi agenda rutin HISKI Pusat yang dipimpin Prof. Dr. Novi Anoegrajekti, M.Hum.

Rctiplus.com
pewartanusantara.com
Jobnas.com
Serikatnews.com
Langgar.co
Beritautama.co

