Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

nahdlatul-ulama-bendera

Nahdlatul Ulama dalam Pandangan Andree Feillard : Kilas Balik Sejarah dan Pokok Persoalan di Dalamnya



Nahdlatul Ulama dalam Pandangan Andree Feillard : Kilas Balik Sejarah dan Pokok Persoalan di Dalamnya

oleh: Syaiful Anam
(Wakil Ketua I PC PMII Kota Malang)


Nahdlatul Ulama adalah subyek historis. Historisitas NU dikemukakan melalui pelbagai sudut pandang apapun oleh siapapun dengan pelbagai anasir teoritis—dikenakan padanya— dan konsekuensi kesimpulan atasnya. Semenjak berdirinya NU sebagai wadah bagi kaum muslim sunni yang berhaluan Ahlusunnah Wal jamaah pada tahun 1926, bentangan sejarah di dalamnya sangat luas. Lebih daripada alih-alih bentangan Priodik tahun ke tahun. Sebab tahun hanya hitungan waktu secara kuantitaif sebagai sandaran peristiwa-peristiwa kualitatif yang dimensinya lebih luas. Meskipun, priodeisasi memudahkan orang-orang kebanyakan untuk melihat sejarah dalam kurun waktu tertentu. Artikel ini, berbeda dengan penulisan sejarah arus utama, ingin melihat bagaimana gagasan Andree Feillard terhadap NU dengan monografi singkat sebagai model utama.

Andree Feillard, Islam, dan Misi Internasionalisme NU

Andree Feillard adalah seorang berkebangsaan Prancis yang memiliki perhatian terhadap pemikiran Islam serta bentuk-bentuk praktik masyarakat muslim dalam relasinya dengan struktur sosial-politik. Amin Mudzakkir Dalam catatan perjalanan saat berkunjung ke Prancis menuliskan “Bu Andree dikenal sebagai ahli Islam, khususnya NU, di Indonesia. Bukunya NU vis-à-vis Negara adalah buku wajib dalam topik ini. Di negerinya dia juga diminta untuk memberikan nasehat kepada pemerintah mengenai Islam” (Mudzakkir, 2018). Bukunya yang masyhur di kalangan pembaca tentang relasi NU dengan Negara (Baca NU vis-à-vis Negara) menempatkannya dalam urutan literature yang tidak bisa diacuhkan samasekali. NU sebagai ormas muslim dengan beragam dimensi yang coba dikemukaan olehnya.

Feillard melihat dengan jeli posisi islam—pada umumnya— yang memiliki pengaruh besar di dalam pembentukan struktur sosial masyarakat di Nusantara, khususnya peran para kiai beserta kelembagaan agama di dalamnya. Dari kota pelabuhan, Islam berangsur-angsur masuk ke pedalaman dan pada abad XIX, kehadirannya semakin kokoh dengan berkembangya tarekat sufi (Feillard, 1999, p. 3). Berkembangnya Islam, di Jawa khususnya, tidak bisa dilepaskan dari lembaga pesantren dan peran Kiai. Di pesantren, para kiai memegang kekuasaan yang sangat besar. Otoritasnya hanya dapat disangkal oleh kiai lain yang lebih berpengaruh (p. 4). Pesantren sangat signifikan dengan perkembangan masyarakat melalui aktifitas-aktifitas pemberdayaan ekonomi dan dakwah. Sudah barang tentu, pesantren menjadi kekuatan kultural sekaligus politik. Feillard, dalam bukunya NU Vis a Vis Negara, menegaskan bahwa Islam sulit dievaluasi dan memiliki perbedaan pendekatan di masing-masing daerah. Kontur perkembangan Islam di Nusantra sangat heterogen alih-alih tampil dengan satu karakter yang homogen. Hal itu dikarenakan penyesuaian Islam dilakukan dengan kondisi adat istiadat masyarakat yang beragam.

Pada mulanya, munculnya NU disebabkan oleh beberapa faktor. Mulai dari mengemukanya gerakan reformis dengan misi pembaharuan yang lekat di dalamnya hingga faktor politik, runtuhnya Islam Turki Usmani; tapal batas di mana sistem pemerintahan berdasarkan syariah Islam benar-benar dihapuskan dan digantikan dengan sekularisasi—pemisahan agama dari Negara – yang berakibat pada lemahnya control politik umat Islam di dunia.

Reformasi sebagai upaya yang benar-benar serius dilakukan pada abad XIX. Sumatera menjadi salah satu daerah, selain beberapa daerah lainnya di abad-abad berikutnya, memulai dengan serius pembaharuan Islam di dalamnya. Misi pembaharuan Islam yang mengemuka pada waktu itu “bertujuan membawa mereka yang tidak sepenuhnya taat dan lebih dekat dengan adat atau dengan aliran-aliran kebatinan untuk malaksanakan islam artinya lebih sesuai dengan yang diberlakukan di tanah Hijaz” . (p. 5). Di saat bersamaan, Hijaz lebih spesifik lagi di Mekkah, wahabi kentara mendominasi. Merombak tatanan kultur dengan misi puritanisme (pemurnian ajaran Islam) dengan pendekatan yang sangat kaku. Feillard mengaitkan fenomena reformasi islam di Sumatera dengan kecamuk perang padri. Pada titik ini kita melihat bahwa reformasi Islam ditempuh dengan jalan kekerasan yang melibatkan banyak pihak selama kurang lebih 30 tahun, ketegangan meluas disepanjang Sumatera Barat. Ketegangan antara kalangan Islam reformis dengan penduduk kebanyakan akhirnya di akhiri oleh penetrasi yang dilakukan oleh Belanda dan berhasil menaklukan daerah tersebut menjadikan kawasan koloni.

Reformasi gelombang kedua terjadi di Jawa. Syekh, Kiai dan para pemuka Islam dalam jenjang hirarki menjadi target dan sasarannya. Di abad XX adalah priode di mana perseteruan laten antar satu pemikiran dengan yang lain terjadi.  Di bawah pengaruh pergolakan pemikiran yang berkembang di Mesir “Salafiyyah yang berarti kembali ke jalan para leluhur” (p. 6). Reformasi di jawa di tandai dengan berdirinya beberapa organisasi muslim seperti Muhammadiyah tahun 1912, Al-Irsyad 1915, Persatuan Islam 1923.[1]

Feillard memberikan klasifikasi kelompok ideologi, di satu sisi politis, tentang segmentasi kelompok yang semakin menguat di abad dua puluh. Membedakan berdasarkan cara pandang dan kecenderungan sikap dalam menerapkan praktik beragama. “sedikit demi sedikit, perbedaan pendapat itu disebut sebagai perbedaan antara “kaum muda’ (pembaharu , reformis, atau modernis) dan “kaum tua”, atau para penganut tradisi” (p. 7) . pemodelan berdasarkan tipologi tersebut, modernis dan tradisonalis bukanlah identitas yang absolut. Tradisionlis dan modernis hanya cara pandang untuk melakukan identifikasi golongan keduanya. Saat ini batas-batas keduanya menjadi kabur, kecuali cara pandang atas teks dan sikapnya atas materialitas kebudayaan.  Kaum reformis memiliki kecenderungan menerapkan praktik puritan dalam beragama, kalangan tradisionalis memiliki sikap akomodatif terhadap praktik-praktik kebudayaan—masyarakat setempat yang lekat dengan kronik mistisisme— menggunakan mendakatan Fiqih yang lebih elastis dan dinamis. Antara realitas yang bergerak dinamis dengan hukum-hukum normatif agama tidak berjalan bertentangan,melainkan didialogkan menggunakan dalil-dalil fiqih.  Ali Haidar memiliki alegoriyang menarik terkait itu: “pergumulan Islam dengan nilai budaya setempat menuntut adanya penyesuaian tersu menerus tanpa harus kehilangan ide aslinya sendiri. Penghadapan islam dengan realitas sejarah, akan memunculkan realitas baru, bukan saja diakibatkan pergumulan internalnya menghadapai tantangan yang harus dijawab, tetapi juga keterlibatannya dalam proses sejarah sebagai pelaku yang ikut menetukan keadaan zaman” (Haidar, 1994, p. 5)

Segmentasi keduanya semakin kentara di tahun-tahun 1920-an. Perdebatan mengemuka dalam kongres Al-Islam  pada tahun 1922 yang bertempat di Cirebon. Di dalamnya perdebatan ‘kafir’ dan ‘Syirik’ terlontar. Kiayi Abdul Wahab Habullah, putra Kiayi Hasyim Asy’ari, kemudian mengusulkan untuk “membuat sebuah gerakan yang mewakili para ulama tradisionalis. Kiai Hasyim Asy’ari enggan menyetujuinya. Dua tahun kemudian situasi di timur tengah mengubah pandangan itu” (p. 10).

Ada hal yang menarik dari latar berdirinya NU yang perlu ditekankan dan dijadikan pijakan historis oleh kalangan Nahdliyyin pada umumnya. Selain semakin mengemukanya segmentasi pemikiran antara kalangan reformis dan dan tradisionalis yang bersifat lokal, berdirinya NU memiliki misi internasionalisme. Memberikan jalan keluar pertentangan antaradua kubu yang tidak hanya bersifat lokal, melainkan untuk mem-penetrasi dualisme kaum islam di dunia. Hal ini dapat kita terima jika dan hanya jika revivalisme antara keduanya di topang oleh trakyektori global. Pada tahun-tahun itu dan seterusnya, bahkan sampai saat ini, perdebatan tidak bisa dihindari. Konsekuensi logisnya, umat muslim terpolarisasi kedalam identitas yang kerapkali berseberangan.

“tanggapan kaum tradisionalis yang muncul kemudian disebabkan oleh dua peristiwa besar yang menyangkut agama Islam yang terjadi setelah tahun 1924: Penghapusan Khalifah oleh turki dan serbuan kaum wahabi ke Mekah. Timbul masalah mengenai siapa yang akan menjadi penerus khalifah Islam dunia: Kairo atau Makah” (1999)

Penghapusan khalifah di turki adalah representasi semain melemahnya politik Islam. Turki Usmani dalah imajinasi kolketif dalam kekuatan politik islam di dunia. Berakhirnya khalifah di turki adalah tapal batas di mana sistem pemerintahan yang dibangun berdasarkan formalitas agama di dunia berakhir. Hal itu menimbulkan respon umat muslim di dunia untuk mencari alternatif dari model-model kepemimpianan umat Islam. Sedangkan faktor kedua menguatnya gerakan pembaharuan yang diusung oleh sekte wahabi adalah representasi dari pemikiran yang bertolak belakang dengan pola pandangan kaum sunni secara keseluruhan. Dalam tataran praktik, wahabi menolak praktik “membangun kuburan, berziarah, membaca do’a seperti dalail al-khairat, dan ajaran madzhab Syafi’I yang dianut oleh kebanyakan uma islam Indonesia, juga kepercayaan terhadap para wali” (p. 10)

Pada bulan Januari 1926, Kongres Al-Islam berlangsung di Cianjur. Kalangan Islam pembaharu yang berada di dalamya memustuskan untuk mengirim dua utusan untuk dikirim ke Makah. Usulan Kiai Wahab Habullah (representasi kalangan islam tradisionalis) tidak diakomodir, hal ini dikarenakan sebagian besar kalangan islam reformis di dalam Al-Islam sepakat dengan dengan Wahabisme yang berada di Mekah.

Al-Islam telah mewudkan dirinya sebagai representasi gerakan politik kalangan reformis. Kalangan tradisionalis semakin terdesak dan terpaksa harus mencari laternatif lain untuk tetap memperjuangakan nilai-nilai Islam yang mereka usung. Akhirnya dibentuklah ‘Komite Hijaz’ sebagai perwakilan yang menghadap pada raja Ibn Sa’ud. Untuk memperkuat misi internasionalisme ini, sekaligus untuk mempermudah kerja-kerja yang ditempuh oleh Komite Hijaz, dibentuklah organisasi ‘Nahdlatoel Oelama (NO).[2]

Feillard, dalam essai panjanganya Nahdlatul Ulama dan negara: Fleksibelitas, Legitimasi dan Pembaharuan, 1994, menuliskan “Tujuan pertama yang dinyatakan NU pada tahun 1926 adalah untuk menciptakan hubungan antara ulama yang berpegang pada empat madzhab sunni dan meneliti teks agama untuk mengetahui apakah buku-buku tersebut mengandung pikiran-pikiran para reformis. Tujuan-tujuan lainnya adalah untuk melakukan amal, pendidikan, memajukan pertanian dan perdagangan”. Selain, persoalan menekankan kepentingan agama organisasi besar ini juga berperan aktif dalam agenda-agenda transformasi sosil: ekonomi, politik, dan pendidikan. Ini sedikit bertolak belakang dengan inti argumen yang dikemukakan para indonesianis lainnya seperti Ben Anderson dan Mitsuo Nakamura. “Nu pada hakikatnya merupakan suatu organisasi keagamaan yang tidak memiliki gagasan apapun tentang “integrasi regiona, nasionalisasi industri dankebijaksanaan luar negeri, namun paling berkepentingan terhadap isu-isu keagamaan murni dan sangat berhasil dalam membela “kelompok inti (Inner core) mereka sendiri (Anderson 1977, dalam Feirlard 1994)… Nakamura, menegaskan NU lebih tertarik pada isu-isu kegamaan ketimbang isu-isu politik dan menunjukkan meningkatnya keluasannya terhadap politik (Nakamura 1961, dalam Fiellard 1994)”.

Feillard memandang Islam Tradisional Indonesia yang tergabung ke dalam NU sejak tahun 1926 merupakan feomena yang unik di dunia Islam. (Feillard, 1994, p. 12). Pakistan yang hampir mirip dengan Indonesia, matoritas masyarakat Muslim tidak terdapat formasi yang mirip NU, kita bisa lihat di wilayah Negara-negara arab lainnya seperti Mesir, Arab Saudi, Yaman dan sederet lainnya juga tidak terdapat gerakan ulama fiqih seperti NU. Identifikasi yang menarik dari Feillard adalah NU kelompok Tradisional Baralvis dalam persoalan doktrinasi namun lebih dekat dengan kelompok reformis Deobandis dari segi struktur organisasi. “Oleh karenanya NU berada di antara dua gerakan ini” (p.12-13). Kita harus memberikan tekanan di sini, Fiellard sebenarnya memberikan celah yang retak atas tipologi yang dugunakannya yaitu kelompok “reformis” dan “Tradisionalis”. NU bukanlah tradisonalis dalam bentuk. Meskipun sebagian besar orang-orang Nahdliyyin tetap menggunakan turast sebagai hal yang esensial dalam membangun kesinambungan antara agama (mutlak) dan kebudayaan (niscaya).Klaim modernis dan Tradisionalis hanyalah konsekuensi para indonesianis dalam melihat islam di Indonesia dari kecamata ‘etik’nya sebagai peneliti.

Delegasi Komite Hijaz diberangkatkan dua tahun setelah terbentuknya Nahdlatul Ulama. Mandat yang diserahkan pada Raja Arab : 1) Kemerdekaan bermadzhab, 2) Dilakukan Giliran antara imam-imam Shalat Jumaat di Masjidil Haram, 3) Diizinkannya masuknya kitab-kitab karangan Imam Ghazali, Imam Sanusi, dan lain-lain, 4) tetap diramaikannya tempat-tempat bersejarah seperti tempat kelahiran Siti Fatimah, dan meminta 5) penjelasan kepastian tariff naik haji serta penjelasan tertulis mengenai hukum yang berlaku di negeri Hijaz (1999, p. 11). Lima hal yang dimandatkan oleh delegasi komite hijaz ini adalah tanggapan atas fenomena gerakan pembaharuan Islam.

Tahun 1928 dan 1930 adalah periode penting bagi NU. Terdapat dua hal utama, pertama NU menetapkan tujuan untuk mempromosikan anutan yang ketat pada empat madzhab dan “mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan Agama Islam” untuk mencapai itu “diadakan ichtiar” (p.11). adapun isi dari Ikhtiar tersebut.

a). Mengadakan perhoeboengan di antara ‘Oelama’-‘oelama’ yang bermadzhab terseboet dalam Fatsal 2. b) memerikasa kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek menadjar,  soepaja diketahoei apakah itoe dari pada kitab-kitabnja ahli soennah Wal Djama’ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid’ah. c) Menjiarkan Agama Islam di atas Madzhab sebagai terseboet dalam fatsal 2 dengan djalan apa saja yang baik. d) Berictiar memperbanyak Madrasah-madrasah jang berdasar Agama Islam. e) Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan  masjid², langgar², dan pondok², begitoe djoega dengan hal ahwalja anak-anak jatim dan orang-orang fakir miskin. f)mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oerusan pertanian, perniagaan, dan peroesahaän, jang tiasa dilarang oleh sjara’ Agama Islam (1999, p. 12)[3]

Gagasan yang pertama kali ketika NU dibentuk bukanlah dari wawasan politik, melainkan dari wawasan sosial keagamaan. (Haidar, 1994, p. 5). Kita melihat bahwa terbentuknya NU karena didorong oleh dua kenyataan, khususnya dominiasi sekte wahabi di Makah dan merebaknya gerakan islam reformis di Indonesia pada abad 19 dan 20.  Akan tetapi, bukan berarti NU anti-pati terhadap gerakan politik. M. Said Budairy menuliskan tentang dialog antara Kiai Wahab dengan Kiai Abdul Halim. “Tentu, syarat tujuan nomer satu untuk menuntut kemerdekaan Umat Islam tidak leluasa sebelum kita merdeka” (Budairy, -, p. 4). Keterlibatan NU dalam politik terlihat pada tahun 1936 saat muktamar di Banjar masin menetapkan dearah Jawa (Ardu Jawa) dalam arti nusantara sebagai “Dar al-Islam” (p.7). saat Hindi Belanda menguasai Jawa. NU dalam perkembangannya menjadi representasi gerakan keagamaan sekaligus politik yang radikal menentang penjajahan Belanda. Agama dan politik menjadi satu kesatuan integral yang tidak bisa dipisahkan.

Juga sebagaimana ditulisakan oleh Bruinessen saat menuliskan peran dan posisi NU di masa Orde Baru “NU tampak menonjol sebagai golongan Islam yang paling vokal” (Bruinessen, 1994, p. 80). Selain itu, aspek historis cukup memberikan pijakan argumentasi bahwa NU tidak hanya melulu menyikapi persoalan agama lalu kemudian apatis terhap persoalan sosial dan politik. Kiai Wahab membentuk Nahdlatu Watan (kebangkitan tanah air) pada tahun 1916, membentuk Nahdlatut Tujjar Koperasi pedaganag pada tahun 1918, dan Tashwirul Afkar pada tahun 1918. Ketiganya sangat signifikan bagi kerja-kerja dakwah dan gerekan ekonomi-politik di Hindia di persimpangan abad 19 ke 20. Terkuhsus untuk melawan gerakan Islam reformis yang mulai merebak di Jawa. “Sebagai syarat untuk memperoleh tujuan tertib agama, maka tertib sosial itu pun wajib. Kaidah yang digunakan NU untuk memecahkan masalah itu ialah ‘Kewajiban yang tidak dapat dijalankan dengan sempurna kecuali denan syarat tertentu maka itu wajib. Dengan logika kaidah-kaidah tersebut…NU mencoba memecahkan berbagai persoalan sosial, politik, maupun keagamaan yang dihadapi umat islam dan bangsa pada umumnya” (Haidar, 1994, p. 10)

NU memiliki rerangkai dimensi historis yang luas. Tumbuh berkembangnya kalangan muslim pembaharu (reformis) di abad 19 dan 20 merupakan gejala global sekaligus lokal yang menimbulkan ketegangan di antara umat islam secara keseluruhan, misi transnasioalisme Islam reformis dijawab oleh kalangan ulama-ulama tradisionalis dengan membentuk komite Hijaz dan didirikannya organisasi Nahdlatul Ulama sebagai dengan misi internasionalisme Islam moderat (istilah ini kemudian menjadi popular di kalangan umat Nahdliyyin belakangan ini). Di sisi lain, Munculnya NU sebagai alternativ gerakan dari  buntunya gerakan-gerakan Islam reformis dalam menghadapi Belanda. Kerapkali mereka bergerak kooperatif alih-alih menolaknya. Resolusi jihad tahun 1945 adalah bukti keterlibatan kalangan Nahdliyyin untuk mempertahankan revolusi dari upaya penaklukan kembali oleh tentara sekutu. Berdasarkan Fatwa Jihad  yang dikemukakan oleh Kiai Hasyim Asy’ari salah satu poin yang cukup penting sebagai penegasan saat itu adalah “Hoekoemnja memerangi orang kafir jang merintangi kepada kemerdekaan kita sekarang ini adalah fardoe’ain bagi tiap² orang Islam jang moengkin meskipun bagi orang fakir” (AM, 2018)

Pada akhirnya kita sampai di usianya yang nyaris se abad (95 tahun). NU telah tumbuh semakin besar dengan massa nahdlyyin yang tersebar rata. Sebagai catatan terakhir, realitas bergerak elastis dengan beragama tantangannya, NU mengambil pendekatan yang cukup fleksibel untuk menjawab tantangan dengan konsekuensi yang berdampak pada kalangan Nahdliyyin, khususnya, dan masyarakat luas pada umumnya.

Daftar Pustaka

AM, A. M. (2018, Oktober 23). Hari Santri: Tinjauan Fiqih atas Fatwa Resolusi Jihad. Retrieved Januari 31, 2021, from nuonline: https://islam.nu.or.id/post/read/97798/hari-santri-tinjauan-fiqih-atas-fatwa-resolusi-jihad

Bruinessen, M. (1994). Kongjungtur Sosial Politik di Jagat NU paska Khittah 26: Pergulatan NU Dekade 90-an. In E. KH.Dharwis, Gus Dur, NU dan Masyarakat sipil (pp. 71-94). Yogyakarta: LKiS.

Budairy, M. (-). Paling mendesak reformasi Internal NU sendiri. In M. S. (Pengantar), Musykilat dalam NU (p. 4). Egyp: KMNU Cairo.

Feillard, A. (1994). Nahdlatul Ulama dan negara: Fleksibelitas, Legitimasi dan Pembaharuan. In E. K. (Ed), Gus Dur, Nu, dan Masyarakar sipil (pp. 12-71). Yogyakarta: LKiS bekerjasama dengan Pustaka Pelajar.

Feillard, A. (1999). NU vis a vis negara: Pencarian Isi, Bentuk, dan Makna. Yogyakarta: LKiS.

Haidar, M. (1994). Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fikih dalam Politik. Jakarta: Gramedia.

Mudzakkir, A. (2018, April 23). Perbincangan dengan Andree Feillard: Islam yang berubah. Retrieved January 29, 2021, from alif.id: https://alif.id/read/amin-mudzakkir/perbincangan-dengan-andree-feillard-islam-yang-berubah-b208594p/


[1] Gerakan reformis yang sangat vokal dari Sumatra Barat telah masuk ke Surabaya, tempat Faqih Hasyim, seorang pedagang, murid pembaru yang sangat terkenal, Haji Rasul (Haji Abdul Karim Amrullah) dari Minangkabau, menjadi salah seorang oratornya yang paling keras dan kontrovensial (p. 9)

[2] Muktamar pertama NU baru diadakan bulan Oktober tahun tersebut dan peniriman delegasi tradisionalis ke Makah dilaksanakan dua tahun kemudian. (1999). Organisasi Jam’iyaah Nahdlatul Ulama yang didirikan tahun 1926 di Surabaya…Dipelopori oleh ulama yang berpusat di pesantren-pesantren, organisasi ini memiliki wawasan keagamaan yang berakar pada tradisi keilmuan tertentu, beresinambungan menelusuri mata rantai historis sejak abad pertengahan, yaitu apa yangdisebut ahlussunnah wal jamaah. Pandangan ini menekankan pada tiga prinsip yaitu mengikuti faham Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang ideology, mengikuti salah satu madzhab empat dalam bidang fikih, dan mengikuti faham al-junaidi dalam bidang tasawuf. Konsep-konsep ini tertuang dalam sejumlah referensi yang sangat luas. Dengan ketiga prinsip ini dapat dikembangkan keagamaan yang utuh dan pada tingkat tertentu pula dalam prilaku politik maupun kultural (Haidar, 1994, p. 5)

[3] Penggunakan kutipan disesuaikan dengan naskah Andree Fierllard yang dikutipnya dari sumber utama Statuten Perkoempoelan Nahdlatoel Ulama, 1926: 3 (Arsip NU, Gresik).

beras