Beritabaru.co Dapatkan aplikasi di Play Store

 Berita

 Network

 Partner

Narasi yang Tergesa: Saat Guru Gembul Salah Membaca Dunia Santri

Narasi yang Tergesa: Saat Guru Gembul Salah Membaca Dunia Santri



Oleh: Zainul Hasan R


Beberapa hari terakhir, kanal YouTube Guru Gembul ramai dibicarakan setelah ia mengunggah video berthumbnail “Pesantren = SDM Rendah”. Dalam video itu, ia menuding pesantren sebagai lembaga yang enggan berubah, fanatik pada masa lalu, dan memusuhi nalar ilmiah. Ucapannya terdengar lantang, tetapi menyisakan kesan keliru—seolah pesantren hanyalah ruang sunyi yang menolak dunia modern.

Saya menulis ini bukan semata untuk membela institusi, melainkan untuk meluruskan pandangan yang timpang. Sebab, saya lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, dan saya tahu bahwa kenyataannya jauh lebih berwarna daripada gambaran hitam-putih yang dilukiskan Guru Gembul.

Pesantren dan Evolusi Nalar

Saya nyantri selama kurang lebih 14 tahun, dari 2007 hingga 2021, di sebuah pesantren besar di Probolinggo, Jawa Timur. Di sana, kitab kuning dibaca bersisian dengan buku filsafat dan metodologi penelitian ilmiah. Di kelas tafsir kami mempelajari logika Aristoteles, sementara di laboratorium komputer sebagian dari kami mempelajari dasar teknologi digital.

Namun tentu tidak semua santri menempuh jalur yang sama. Di tingkat SLTA, terdapat beragam minat dan keahlian: sebagian menekuni bahasa—dari Arab, Inggris, hingga Mandarin—sebagian lain fokus pada ilmu sosial, teknologi, dan kewirausahaan. Bahkan di tingkat SLTP, para santri sudah memiliki majalah terbitan sendiri yang mereka tulis, edit, dan distribusikan secara mandiri. Tradisi literasi itu tumbuh alami dari semangat ingin tahu, bukan dari paksaan.

Itulah wajah pesantren yang saya kenal—dinamis, kreatif, dan terbuka pada ilmu pengetahuan. Di titik itu saya menyadari bahwa pesantren bukanlah antitesis modernitas. Justru di dalam tradisi itulah saya menemukan akar rasionalitas dan spiritualitas yang kokoh.

Guru saya pernah berkata, “Menghafal itu jalan menuju paham; paham itu jalan menuju hikmah.” Kalimat sederhana itu menjadi semacam prinsip epistemik pesantren. Menghafal bukanlah kemandekan berpikir, melainkan latihan disiplin memahami. Tradisi sanad ilmu bukan bentuk feodalisme, melainkan sistem validasi pengetahuan agar tidak terlepas dari sumbernya.

Tradisi yang Hidup, Bukan Fosil

Guru Gembul menuduh pesantren fanatik pada masa lalu, tapi ia lupa: tradisi dalam pesantren tidak mati, melainkan bertransformasi menjadi cara hidup yang lentur. Mengajarkan kitab kuning tidak berarti menolak sains. Mengaji di serambi tidak berarti menolak laboratorium.

Benar kata Al-Ghazali, “tradisi tanpa akal adalah kegelapan, dan akal tanpa tradisi adalah kesesatan.” Maka, pesantren menempuh jalan tengah yang penuh hikmah. Prinsip keterbukaan pesantren sejalan dengan adagium klasik: Al-muhafazhatu ‘ala al-qadimis shalih wal akhdzu bil jadidil ashlah (Memelihara nilai lama yang baik, dan mengambil hal baru yang lebih baik).

Prinsip ini bukan sekadar slogan, tetapi menjadi fondasi etika berpikir santri. Kami belajar menghormati warisan ulama, sekaligus berani menimbang dan mengadopsi pembaruan yang bermanfaat. Ini seperti yang dikatakan Edmund Burke dalam filsafat tradisionalisme modern: “Perubahan yang sejati adalah kelanjutan dari tradisi yang sehat.”

Karena itu, dunia pesantren tidak pernah statis; ia selalu bergerak, beradaptasi, dan berinovasi. Pesantren adalah lembaga pendidikan tertua di Nusantara yang justru berhasil beradaptasi melampaui zaman. Dari masa perjuangan kemerdekaan hingga era digital hari ini, pesantren senantiasa menemukan caranya untuk relevan: ada pesantren technopreneur, pesantren digital, pesantren lingkungan, dan banyak lagi inovasi yang lahir dari akar tradisi yang sama.

Saya masih ingat bagaimana kami diajarkan “nadzar ilmiah”—meneliti sebelum menilai, menimbang sebelum menghakimi. Dalam istilah Karl Popper, itulah bentuk falsifikasionisme epistemologis di level praksis: menguji, bukan menolak; menalar, bukan menuding. Itulah etos ilmiah pesantren yang mungkin tidak dikenal oleh mereka yang melihat dari luar pagar.

Antara Akal, Akhlak, dan Kearifan

Tentu, tidak ada lembaga pendidikan yang sempurna. Kasus kekerasan, penyimpangan, dan penyalahgunaan otoritas memang terjadi di sebagian pesantren. Namun menggeneralisasi seluruh dunia pesantren sebagai “ruang gelap akal sehat” adalah bentuk prasangka epistemik—menilai totalitas dari sebagian kecil cacat.

Justru di banyak daerah, pesantren menjadi ruang etika sosial yang menjaga keseimbangan antara akal dan akhlak. Santri diajarkan hidup disiplin, bekerja keras, dan menghormati perbedaan. Mereka dibentuk bukan hanya untuk menjadi orang pintar, tetapi juga orang beradab.

Pesantren tidak sedang melawan modernitas. Ia sedang mendefinisikan modernitas versi sendiri—modernitas yang tidak kehilangan akar nilai, yang menyatukan ilmu dan iman dalam satu tarikan napas.

Menimbang Kembali Suara Lantang

Guru Gembul mungkin berniat mengkritik. Namun kritik yang baik memerlukan empati dan pengetahuan yang utuh. Mengukur dunia pesantren hanya dengan logika luar bisa berujung pada reduksi intelektual—membaca kompleksitas dengan kacamata tunggal.

Saya memahami mengapa sebagian orang mudah tergoda narasi seperti itu: pesantren sering dianggap asing karena tidak semua terbuka dalam bentuk yang mudah dipahami publik. Namun di balik kesederhanaannya, pesantren menyimpan sistem nilai dan pengetahuan mendalam, hasil akumulasi berabad-abad peradaban Islam Nusantara.

Pesantren memang harus terus berbenah: memperkuat tata kelola, memperbaiki sistem perlindungan santri, dan membuka diri terhadap inovasi. Tetapi menuduh pesantren sebagai ruang gelap adalah kesalahan besar. Ia bukan lembaga yang menolak masa depan—ia sedang menyiapkannya, dengan caranya sendiri.

Menjaga Tradisi, Menguatkan Pengawasan

Karena itu, memperbaiki citra pesantren tidak cukup hanya dengan membantah tuduhan. Ia perlu dibuktikan dengan tata kelola yang baik dan pengawasan yang kuat.

Di sinilah peran lembaga seperti PBNU dan Kementerian Agama menjadi penting—bukan sekadar simbol keagamaan, tetapi penjaga mutu pendidikan dan keselamatan santri.

Jika kalian ingin menjadi santri, carilah pesantren yang baik. Risetlah dulu: siapa kiai-nya, bagaimana tradisinya, dan seperti apa sistem pendidikannya. Baru nyantri.

Sebab, akhir-akhir ini memang banyak pesantren yang tiba-tiba muncul tanpa akar tradisi yang jelas. Lemahnya pengawasan dari PBNU maupun Kementerian Agama membuat sebagian pesantren berjalan tanpa standar pendidikan dan perlindungan santri yang memadai.

Namun mencintai pesantren bukan berarti menutup mata dari kekurangannya. Justru sebaliknya—menjaga agar tradisi luhur itu tetap hidup dengan cara yang benar, jernih, dan bertanggung jawab.

Pesantren bukan ruang gelap akal sehat. Ia adalah pelita yang sedang berjuang menjaga sinarnya di tengah kabut zaman: menggabungkan akal, akhlak, dan kearifan dalam satu napas panjang peradaban.

beras